From Athens With Love

depan kampus Ohio University

TADI siang aku kembali berbincang dengan seorang wanita Jepang. Ini adalah pertemuan untuk kesekian kalinya. Dan setiap bertemu, mataku selalu saja menangkap matanya yang memancarkan terang laksana kejora. Di depan Alden Library, Athens, Ohio, kami kembali bertemu dan mulai bercerita tentang banyak hal. Ia menjelaskan tentang betapa indah negaranya yang penuh sakura-sakura. Yang mengejutkanku, ia juga bercerita tentang betapa perbedaan antara imajinasi dan realitas yang disaksikannya di Amerika Serikat. Usai berbincang, ia menitipkan kado kecil sembari bertanya, seperti apakah imajinasi dan pandanganku saat ini tentang Amerika Serikat?

***


IMAJINASIKU tentang Amerika Serikat (AS) adalah sebentuk puzzle yang disusun oleh kepingan-kepingan kecil informasi yang kemudian membentuk bangunan utuh bernama ingatan. Informasi tersebut disusun dari pengalaman demi pengalaman yang didapatkan melalui majalah, buku, film, ataupun komik-komik Amerika yang kugandrungi pada satu masa.

Jauh sebelum ke Amerika, aku membayangkan suasana perkotaan yang padat, manusia yang berjuta-juta orang dan hilir mudik dari gedung pencakar langit yang satu ke gedung pencakar langit yang lain. Pernah pula kubayangkan tentang lorong-lorong bawah tanah yang kerap menjadi saluran air, sebagaimana pernah didiami Master Splinter dan muridnya Ninja Turtles demi menyusun kekuatan dan melawan musuhnya Schredder.

Amerika Serikat kubayangkan sebagai negeri megah dengan fasilitas amat modern. Di sinilah gedung-gedung tinggi berdiri tegak dan di sela-selanya ada Peter Parker atau Spiderman yang sedang bergelantungan. Amerika Serikat kubayangkan seperti sebuah kota Gotham di mana Batman atau Bruce Wayne setia berjaga demi membela kebenaran. Atau seperti Kota Metropolis, tempat Clark Kent setia menjalankan tugas jurnalistiknya, dan sesekali beralihrupa menjadi Superman yang melesat tinggi terbang ke langit. 

Saat pertama tiba di Kota Athens, Ohio, aku menemukan satu kenyataan yang berbeda. Athens bukanlah satu perkotaan padat yang ke manapun mata memandang adalah bangunan megah dan mentereng. Bukan pula sebuah kota dengan tingkat kriminalitas tinggi, yang di dalamnya terdapat banyak gang motor atau pemakai narkoba yang sesekali menjabret dan menikam tanpa alasan jelas. 

salah satu bangunan di Athens
paduan klasik dan modern

Athens adalah sebuah kota kecil bersahaja yang jantungnya adalah universitas, dan manusia-manusia di dalamnya seakan mengelilingi episentrum universitas. Athens adalah sebuah lanskap pedesaan yang dipenuhi hutan-hutan rimbun, rumah bermain para binatang, yang di sela-selanya terdapat gedung perkuliahan. Athens adalah bangunan kecil yang menyuplai oksigen demi menjaga kelangsungan hidup sekitar 21.000 penduduknya yang separuh di antaranya adalah para mahasiswa pendatang.

Pertama melihat kota ini, aku sudah jatuh cinta dengan apa yang nampak. Hampir semua rumah memiliki halaman asri dan di situ terdapat tumput-rumput hijau. Kota ini dikepung oleh pebukitan liar yang sering dilewai kawanan sapi atau rumput liar. Menurut seorang sahabat, penduduk dilarang menembak rusa itu sehingga sesekali mereka terlihat di tepi kota. Jika suatu saat penduduk berkendara dan tanpa sengaja menabrak rusa yang kemudian tewas, ia  berhak untuk memiliki dagingnya. Namun untuk menembak, tidaklah semudah itu. Ia mesti melalui prosedur yang rumit dan disesuaikan dengan populasi rusa yang dikontrol pemerintah setiap tahunnya.

suasana kampus Ohio University
salah satu apartemen dekat kampus

Saat memasuki kampus Ohio University, aku sempat terkejut ketika menyaksikan tupai-tupai berkeliaran bebas dan mencari makanan di rerumputan. Aku tak bisa bayangkan jika tupai itu berkeliaran di Indonesia. Pastilah tupai itu langsung disate atau tersaji dalam bakso para pedagang. Di Athens, tupai-tupai itu hidup bebas, tanpa ada yang hendak mengejar atau membunuhnya. Mereka ikut memiliki kampus megah ini dan menjadi bagian tak terpisahkan. Melihat tupai itu, saya tiba-tiba menemukan satu gambaran harmonis tentang konsep kemenyatuan antara manusia hewan, dan nuansa ekologis.

Di Athens, aku menyaksikan begitu banyak bangunan tua. Bahkan bangunan barupun didesain dengan konsep bangunan tua yang megah jika dilihat dari luar. Saat mengelilingi Ohio University, aku serasa memasuki sebuah konsep kastil abad pertengahan berupa bangunan dengan bata merah menjulang tinggi, rumah-rumah kayu khas nuansa pedesaan, menara runcing gereja abad pertengahan, atau jalan-jalan yang dihiasi tempat duduk yang terbuat dari logam dan dicat hijau klasik. Aku serasa melihat para ksatria keluar dari kastil merah itu sembari menyandang pedang, kemudian gadis-gadis dengan gaun berkorset akan muncul dari jendela-jendela di kastil itu. Athens adalah teladan sempurna dari transformasi masa silam di abad modern. Para pencinta bangunan tua, pastilah menyenangi Athens yang klasik namun modern itu.  

Dan betapa kontrasnya jika harus membandingkannya dengan negeri kita sendiri. Setahun silam, Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan memberikan izin kepada seorang  investor untuk membangun waterboom di dekat Benteng Sombaopu, benteng yang menjadi saksi keberanian bangsa Makassar menentang kolonialisme Belanda. Saat itu, beberapa sahabat menentang keras pembangunan waterboom karena hanya akan membuat benteng nampak sebagai  warisan masa silam yang kusam dan tersaput oleh waktu. Sebelumnya, pernah pula kami menyesalkan bangunan kuno kantor balai kota yang tiba-tiba saja dibangun menara tinggi di tengahnya. Bersama para sahabat, aku tidak sedang mempersoalkan bangunan. Kami meradang atas kekhawatiran akan punahnya sejarah masa depan dikarenakan para pemimpin hari ini tidak menghargai apa yang  telah menjadi warisan kebudayaan masa silam.

tempat jogging dan bersepeda di kampus Ohio University

Mungkin, atas dasar keinginan membentuk perkotaan yang modern itu, kota-kota di Tanah Air dibangun tanpa visi yang jelas. Pemerintah berambisi membangun sesuatu yang modern dan nampak canggih, namun di saat bersamaan tidak pernah memikirkan dampak serta fungsi kota sebagai tempat yang nyaman bagi warga. Mereka tidak memiliki visi bahwa sebuah kota mesti dibangun sebagai kontinuitas panjang dari lintasan sejarah serta tanggungjawab untuk menjaga sejarah itu pada memori kolektif warga.  Maka tumbuhlah generasi yang tidak paham sejarah. Generasi yang hanya melihat kota sebagai tempat berhura-hura, tanpa memikirkan sesuatu yang jauh lebih substansial, tanpa mengeja aksara sejarah demi menemukan sukma yang menjaga kelangsungan masa kini.

Aku teringat berbagai literatur tentang studi ingatan. Sebuah kenangan kadang hadir dengan utuh, namun kadang pula hadir dengan penggalan-penggalan. Ketika manusia membangun monumen atau tugu peringatan, maka monumen itu bermakna sebagai jembatan yang menautkannya dengan masa silam, atau suatu peristiwa atau seseorang yang demikian penting bagi dirinya. Simbol itu menjadi technologies of memory (teknologi ingatan) yang menjaga kelangsungan ingatan dan mewariskannya dari satu generasi kepada generasi yang lainnya.

Athens adalah kota kecil yang menjaga kontinum ingatan dan perjalanan panjang kota. Di sini tak hanya terdapat pegunungan yang di atasnya terdapat apartemen asri, namun di sini juga terdapat banyak prasasti yang mengingatkan orang akan masa lalu kota ini sebagai daerah pertambangan. Baru melintas beberapa hari, aku sudah mendapatkan gambaran bahwa kota ini dahulu merupakan tempat bernaung bangsa Indian sebagai bangsa asli Amerika, yang kemudian juga ditempati para imigran Inggris pada tahun 1797. Mereka pulalah yang kemudian berinisiatif membangun Ohio University pada tahun 1804.

berpose depan apartemen di kampus

***

Ah, Athens memang teramat romatik. Kubayangkan betapa indahnya melewati masa dua tahun di kota kecil ini. Belakangan kutahu pula kalau kota ini kerap disebut kota cinta. Ah, mungkin informasi keliru sebab tak pernah kutemukan dalam ensiklopedi atau informasi tentang kota ini. Tapi gadis Jepang bermata binar dan berambut lurus yang kutemui di Alden Library telah meyakinkan diriku tentang makna kota cinta itu sembari memberikan kado kecil sebagai hadiah. Katanya,kado itu harus dibuka saat tiba di apartemen. Malam ini, aku merenungi seberapa benar kalimat tersebut. Perlahan kubuka kotak itu. Di situ terdapat sebuah prasasti kecil yang  bertuliskan ”From Athens with love.”



Athens, 12 September 2011
Saat susah tidur di malam hari


6 komentar:

ririn mengatakan...

subhanallah,,keren sangat, Pak Yusran,, mohon danya supaya saya juga bisa ke US, amiin (sekarang ini saya sedang mengambil program double degree kerja sama UMS dan Minnesota, semoga IELTS saya mencukupi)

tahukah Bapak, bahwa tulisan Bapak selalu menginspirasi saya,,,?

iQko mengatakan...

Dan saya kira Athens itu adalah Athena! Dhuaar! Sejak kapan kita ke Eropa? Huhuhuhuhu, iri melihat postingan ini. Suatu saat saya akan kesana juga!

Anonim mengatakan...

harapan selanjutnya?"

Dian Kelana mengatakan...

wow...... sudah berangkat rupanya Anda, sejak terakhir kita bertemu di Ancol saya kira Anda masih di Jakarta....

OK selamat menuntut ilmu hingga ke puncak pencapaian

apunk pakot mengatakan...

doakan bisa menimba ilmu disana, pembeeritahuaan ini adalah insfirasi yg baik. semoga saja!

Rizal Falih mengatakan...

amazing bang...
tapi aku tergelitik dengan si gadis jepang dan hadiahnya..
hayoooo.... :D

Posting Komentar