Selamat Datang di Dunia Fana Anakku Sayang!






MESTINYA hari ini aku mengucapkan selamat ulang tahun kepada Dwi, istri tercinta. Ini sudah menjadi rutinitasku sejak lebih lima tahun lalu, sejak pertama mengenal dirinya. Tapi hari ini dan hingga tahun-tahun mendatang, aku tak hanya mengucapkan selamat buat satu orang terkasih, melainkan dua orang sekaligus. Hari ini, buah cintaku bersama Dwiagustriani lahir dengan selamat melalui persalinan normal.

Setiap kali merenunginya, aku merasakan sebuah keajaiban. Betapa tidak, antara ibu dan anak memiliki tanggal lahir yang sama. Anakku adalah seorang perempuan yang memiliki tanggal lahir dan zodiak yang sama dengan ibunya. Meski aku tak begitu percaya pada astrologi, namun andaikan itu benar, betapa anak dan ibu akan memiliki sifat yang identik. Mungkin suatu saat mereka akan berebut baju yang sama, ingin makan di tempat yang sama, atau kompak untuk menjahili diriku dengan cara yang sama. Duh, betapa senangnya membayangkan saat-saat indah itu.

Hari ini, 2 Agustus 2011. Perasaanku campur aduk. Sehari sebelumnya, saat bangun pagi, tiba-tiba ada sebercak darah di celana Dwi. Awalnya, semuanya berjalan biasa-biasa. Kami masih sempat jalan-jalan ke satu mal. Tapi di sore hari, usai berkonsultasi dengan dokter ahli kandungan, Dwi langsung diminta dokter untuk segera masuk rumah sakit malamnya. Ia mesti siap-siap untuk sebuah proses persalinan. Ia mesti bertarung nyawa demi melahirkan buah hati yang telah sembilan bulan mendekam di balik perutnya yang buncit.

Aku mulai bersiap-siap. Istriku telah menyiapkan semua pakaian dan keperluan di rumah sakit ke dalam satu koper besar. Kebetulan pula, kakaknya –yang berprofesi sebagai dokter—datang berkunjung ke Makassar. Mereka kuminta ke rumah sakit dengan taksi. Aku sendiri pergi dengan motor karena aku yakin bahwa akan banyak hal yang mesti disiapkan sehingga keberadaan motor sangat penting untuk bergerak. Malam itu, Dwi masuk ruang persalinan.

Semalam berlalu. Tidurku hanya sekitar setengah jam di kursi tunggu pasien. Belum juga ada kemajuan. Di pagi hari, aku mendapat telepon dari lembaga pemberi beasiswa. Ia memintaku mengisi formulir pengurusan Visa ke Amerika Serikat (AS) serta mengirimkan foto standar untuk Visa. Aku mulai panik sebab semua dokumen yang dibutuhkan ada di rumah kami di Sudiang. Kembali aku memacu motor untuk ke Sudiang dan mengisi semua dokumen. Jarak lebih 20 kilometer kutempuh demi menyelesaikan urusan. Setelah itu kembali ke rumah sakit. Saat menemani istri, modem internet kuaktifkan demi mengirimkan semua data tersebut. Tak lebih sejam, datang telepon yang menyatakan bahwa foto untuk standar Visa memiliki ukuran tersendiri yang berlaku khusus untuk Amerika Serikat. Artinya, aku harus foto ulang.

Di siang terik itu, dalam keadaan berpuasa, aku kembali memacu motor dan menyusuri beberapa studio foto besar di Makassar. Tak ada satupun yang tahu standar foto untuk visa Amerika. Akhirnya balik lagi ke rumah sakit. Tiba-tiba saja ada seorang teman yang memberi alamat studio foto yang bisa memotret dengan ukuran demikian. Kembali aku bergerak ke situ.Saat hendak dipotret, aku menyentuh dagu dan kurasai ada jenggot yang cukup tebal. Terpaksa aku pontang-panting mencari pencukur jenggot, biar tidak dikira penganut paham tertentu. Tiba-tiba SMS Dwi datang. Ia mulai kesakitan.

Aku segera menyelesaikan urusan foto, lalu kembali ke rumah sakit. Anda bisa membayangkan betapa lelahnya diriku yang harus berpindah-pindah. Jam tiga sore, aku mulai duduk di samping ranjang di mana Dwi terbaring. Mulai saat itu, ia menolak jika diriku meninggalkannya. Aku harus duduk di tepi ranjang untuk menemaninya. Ia mulai kesakitan. Pukul 05.30 sore, sakitnya mulai bertambah. Beberapa kali ia merintih, namunlebih sering ditahannya. Diriku yang ada di situ menjadi sasaran pelampiasan sakitnya. Di saat sakitnya memuncak, ia mulai mencakar lenganku. Kubiarkan semuanya dengan harapan agar dirinya merasa plong. Pukul 07.30 malam, dokter mulai datang. Persalinan dimulai.

Aku di luar ruangan dan naik ke lantai tiga demi mengurus kamar VIP. Setelah kembali ke lantai dua, teman-teman Dwi sudah berdatangan. Mereka member selamat kepadaku yang akan memiliki seorang bayi. Kami melongok ke ruang bayi, dan ada satu bayi mungil yang dibawa dari ruang persalinan. Bayi itu dipasangi popok dan selimut yang sama persis dengan selimut yang kusiapkan untuk bayik kelak. Langsung aku masuk ruangan dan menanyakan apakah itu bayi yang dilahirkan Dwi. Susternya mengiyakan. Aku lalu mendekat dan hendak menggedongnya.

Rumah Sakit Pertiwi, tempat anakku lahir

Seperti mengenali, bayi itu menatapku lurus. Tak bisa kukisahkan betapa terharunya diriku. Aku sedang menyaksikan keajaiban penciptaan manusia. Tuhan bekerja dengan cara yang amat misterius. Lima tahun silam, cinta itu tumbuh. Kini, cinta itu telah bertunas. Lima tahun silam, hanya ada rasa yang tumbuh di hatiku dan hatinya. Kini, rasa itu telah berkecambah, beranakpinak, dan sebuah tunas baru telah muncul di sela-sela rindangnya pohon cinta. 

Hari ini, 2 Agustus 2011, dirimu hadir di muka bumi. Engkau memulai titik nol dalam hitungan harimu. Sementara hari ini ibumu genap berusia 25 tahun. Tak ada kenduri besar untuk menyambut hadirmu. Tak ada genderang dan pekik terompet. Tak ada pesta tujuh hari tujuh malam. Yang ada hanya seembun bahagia di hati kami yang menyaksikanmu. Yang ada hanya senyum bahagia, wajah-wajah yang penuh keceriaan, serta rasa riang yang lepas ke udara. Semua gembira. Dirikupun gembira dalam diam. Diriku tak banyak berkata-kata. Tapi hati ini telah melepas ribuan kupu-kupu pengharapan sebagai tanda terimakasih atas kehadiranmu. 


Selamat datang ke dunia fana Anakku sayang!


2 komentar:

ningsyafitri mengatakan...

Pak, bayinya masih merah euyyy...
Siapa namanya, Pak???
Selamat ya, Pak... :)
Mantap dahhh...

Cihuy. cihuy. cihuy...
Alhamdulillah...

Meike Lusye Karolus mengatakan...

Sarasvaty cantikkkk....;D

Posting Komentar