Dodolit.... Dodolit.... Dodolibret

CERITA pendek (cerpen) pilihan Kompas tahun 2010 telah diterbitkan. Cerpen terbaik adalah Dodolit Dodolit Dodolitbret yang ditulis Seno Gumira Adjidarma. Seingatku, beberapa cerpen Seno terpilih sebagai cerpen terbaik. Dulu, juara penghargaan ini selalu diraih Kuntowijoyo, sejarawan masyhur di Yogyakarta yang produktif menulis cerpen. Setelah Tuhan menjemput Kuntowijoyo, kini tahta itu menjadi milik Seno, sastrawan tanah air yang paling produktif saat ini.

Sengaja aku menyebut nama Kuntowijoyo sebagai pembanding. Sebab bagiku, cerpen berjudul Dodolit ini terasa seperti karya Kunto. Biasanya cerpen Seno agak abstrak sehingga alurnya sering melayang-layang, dalam artian sukar dipahami. Sementara cerpen Kunto justru mengangkat kenyataan sehari-hari, dalam bahasa sederhana, namun jika direnungi betapa sarat makna di dalamnya. Kita seolah sedang membaca karya antropologis, tapi disajikan dalam bahasa kebanyakan orang sehingga kening tak perlu berkerut untuk memahami maknaya. Dalam kejadian sederhana itu, seakan-akan terbuka ruang yang cukup luas untuk direnungi, ditafsir dan diselami. Dalam bahasa lain, cerpen Kunto memberikan insight teoritik yang bisa direfleksi untuk menjelaskan satu gejala.

Cerpen Dodolit mengisahkan seorang guru yang selalu ingin membenahi cara berdoa orang lain. Ia gelisah melihat cara berdoa yang dianggapnya salah sebab bisa mendatangkan kutukan. Tapi di saat bersamaan, ia meyakini kalau berdoa yang benar bisa membuat seseorang berlari di atas air. Dikarenakan ia belum sanggup melakukan itu, makanya ia menganggap hal itu hanyalah mitos. 

Suatu hari, sang guru singgah di satu pulau. Ia gelisah melihat sembilan warga pulau itu punya cara berdoa yang salah. Ia mati-matian mengajari mereka cara berdoa yang benar agar terhindar dari azab. Hingga akhirnya ia yakin mereka telah berdoa sesuai caranya. Suatu hari, ia ingin meninggalkan pulau itu dengan perahu. Tiba-tiba saja, tukang perahu menunjuk sembilan warga pulau itu yang berlari di atas air dan menemuinya lalu meminta penjelasan ulang tentang cara berdoa yang benar sebagaimana telah diajarkannya.

Kisah ini terkesan sederhana. Akan tetapi betapa kisah sederhana itu penuh makna. Kisah itu menggambarkan banyak orang di masyarakat kita yang percaya kebenaran tunggal, memandang tindakan orang lain amat sesat, dan tiba-tiba terkejut dengan kenyataan bahwa mereka –yang dianggapnya sesat itu—ternyata mencapai derajat makrifat yang tidak pernah bisa digapainya. 

Mungkin selama ini ia mengklaim kebenaran. Sementara mereka yang dianggapnya sesat, yang berdoa dengan cara sederhana, justru mencapai hal yang hanya bisa diimpikannya. Saya tersentak. Cerpen ini seakan hendak membumikan beberapa teori tentang interpretasi, aspek experience dalam agama, serta realitas antropologis masyarakat  Indonesia.

Membaca cerpen Seno, saya tiba-tiba haus untuk membaca cerita yang sederhana namun sarat makna. Cerita yang digali dari pengalaman sehari-hari, yang menyimpan kearifan, serta membayang-bayangi teori sosial yang selama ini dipelajari di menara gading ilmu pengetahuan. Mungkin kita tak perlu berrumit-rumit dengan bahasa. Cukup sesuatu yang sederhana tapi menohok.(*)


3 komentar:

Anonim mengatakan...

cerita tentang guru yang mengajarkan doa kepada murid2 biasa yg kemudian bs berjalan di air itu sementara sang guru ttp tdk bs berjalan di atas air ini sdh saya dengar hampir dua puluhan tahun yang lalu. ini diambil dari hasanah kesufian islam klasik. apakah seno menyebutkan ini sebagai hikayat, ataukah mengisyarkatkan cerita ini dari dirinya?

Patta Hindi Asis mengatakan...

menarik memang ceritanya kanda...terlepas kritikan atasnya yang katanya mirip cerita dari Tolstoy - 3 pertapa. tp seno adalah sumber ilham dari cerpen2 Indonesia (salah satunya) yang juga saya kagumi...

Anonim mengatakan...

memang mirip banget sama seritanya si Tolsoy (lawas banget).. bukan ilham lagi kalo mirip.. tapi niru (bisa menang penghargaan lagi)..

Posting Komentar