Cukur Madura Versus Cukur Salon

UNTUK pertama kalinya saya memangkas rambut di satu salon di Jakarta. Biasanya, saya selalu memotong rambut pada anggota PERCUMA (Persatuan Cukur Madura). Dalam hal cukur, saya gak mau ribet. Makanya saya butuh yang simple sehingga lebih suka ke anggota Percuma. Namun hari ini saya ingin mencoba sesuatu yang berbeda. Makanya, saya lalu berkunjung di satu salon demi merasai bagaimana sensasi bercukur di satu salon. Nah, dari pengalaman tersebut, saya bisa menuliskan apa saja perbedaan antara cukur ala Madura dengan cukur versi salon. 

tukang cukur madura
Pertama adalah penampilan sang tukang cukur. Di salon, saya dilayani seorang perempuan muda yang cantik dan enak dipandang mata. Ia tidak sekadar mencukur, tapi juga mengajak berbincang banyak hal. Sebagai pelanggan, saya merasa betah sebab disapa dan diajak ngobrol. Lain dengan anggota Percuma yang rata-rata adalah laki-laki. Entah apakah ini terkait gender, tapi saya tak pernah menemukan pendukur Madura yang jenis kelaminnya perempuan. Mungkin pula ada semacam konsensus untuk tidak banyak ngomong. Mereka lebih fokus mengerjakan tugasnya dan tidak terlalu suka ngobrol. Tapi dari sisi hasil, saya tidak melihat perbedaan signifikan. Malah banyak aggota Percuma yang punya kualitas hebat. Saya selalu merasa lebih ganteng kalau dicukur mereka.

suasana sebuah salon di satu mal

Kedua adalah kebersihan. Bicara soal kebersihan, salon jelas jauh lebih baik daripada cukur Madura. Kebanyakan ruangan yang dipakai untuk cukur Madura adalah ruangan kecil yang kebersihannya tidak terlalu diperhatikan. Hal yang paling menganggu saya adalah kain yang digunakan untuk disampirkan di badan. Saya sering kesal dalam hati saat sang tukang cukur.tiba-tiba saja menyampirkan sebuah kain yang baunya bikin mual untuk menyelubungi badan untuk melindungi badan dari rambut yang berjatuhan. Saya sering protes, kok tiba-tiba kain lap disampirkan ke badan saya? Saya juga terganggu dengan gunting yang digunakan untuk mencukur, lalu pisau untuk memotong rambut di leher. Saya takut kalau pisau itu pernah digunakan seorang penderita HIV dan hepatitis, sehingga berpotensi untuk menularkan penyakit tersebut. Selain itu, saya juga gak nyaman ketika usai dicukur, sang pencukur lalu mengeluarkan kuas (lagi-lagi kuas yang gak pernah dicuci) dan dicelup di satu cairan, kemudian dioleskan ke tengkuk dan cambang. Cairan itu disimpan di wadah yang agak bau sehingga mempengaruhi kenyamanan.

pemandangan di satu salon
Ketiga adalah prosedur bercukur. Kalau di cukur Madura, begitu datang, langsung dicukur. Tak peduli apakah kita datang dalam keadaan rapi atau kotor. Sementara di salon, kita terlebih dahulu dikeramas. Kita merebahkan badan di satu kursi khusus. Lalu sang karyawan salon mulai membilas rambut. Setelah itu kita lalu duduk di kursi khusus dan mulai dicukur. Setelah dicukur, rambut juga langsung dibilas, kemudian dikeringkan dnegan hair dryer. Keluar dari salon, badan juga langsung segar. Sementara ketika keluar dari cukur Madura, maka saya harus langsung mandi demi menetralisir bau serta ketidaknyamanan.

Demikian pengalaman saya saat dicukur di salon. Bukan berarti bercukur di salon lebih baik, sebab saya sering menemukan langganan pencukur Madura yang memahami selera saya. Tapi, ada hal-hal yang membuat para pelanggan merasa lebih nyaman ketika bercukur di salon. Akan sangat baik jika para anggota Percuma bisa meng-upgrade pelayanan dan memperhatikan banyak hal. Mulai dari kebersihan, prosedur bercukur, hingga senyum yang ramah saat bercukur.(*)


BACA JUGA:


maukah anda dicukur gadis ini?




1 komentar:

Unknown mengatakan...

Kecewa

Posting Komentar