Bahaya Otoritarianisme

SIKAP merasa diri paling benar adalah benih-benih otoritarianisme yang tumbuh di sanubari. Sikap ini menihilkan dialog, menutup telinga dari kebenaran lain, serta cenderung memandang enteng mereka yang berbeda sikap dengan kita. Pandangan ini berangkat dari asumsi yang hanya meyakini satu kebenaran yakni kebenaran yang berangkat dari dalam diri.


Bahaya dari cara berpikir otoriter ini adalah ketika memberangus semua pemikiran lain yang berbeda. Sebab  kebenaran ditafsirkan secara tunggal, sesuai dengan apa yang kita yakini dan percayai. Benar juga apa yang dikatakan Karl Marx yakni kita selalu melihat kebenaran sesuai dengan apa yang ingin kita lihat. Maka mau tak mau, interpretasi kita akan selalu dominan dalam melihat kebenaran. Ketika melihat sesuatu, kita mungkin meyakini bahwa inilah fakta, tapi pada tataran realitas, apa yang kita lihat tidak lebih satu sudut pandang atas realitas, yang kemudian kita generasilisasi sebagai realitas tunggal. Lantas, bagaimanakah mendefinisikan kebenaran dalam ranah sosial?

Peter L Berger menawarkan gagasan untuk melihatnya dari berbagai sudut pandang. Sebab apa yang kita sebut kebenaran adalah satu tafsir atas kenyataan. Orang lain bisa memiliki tafsiran yang berbeda atas kenyataan itu. Inilah sebab mengapa dalam riset sosial, seorang peneliti mesti mendengarkan suara-suara yang berbeda. Tapi tesis Berger tidak mudah untuk dipraksiskan. Tesis ini mesti diikuti dengan sikap rendah hati untuk bersedia mendengar semua pendapat berbeda, meskipun pendapat itu justru amat berbeda dengan pendapat kita sendiri. Kita mesti terbuka dan meyakini sesuatu itu benar dengan cara mengumpulkan berbagai opini yang berkembang. Melalui benturan opini, rantai dialektis akan muncul, dan kebenaran akan lahir dari tarikan argumentasi serta bukti yang berseliweran.

Dalam rentang panjang sejarah manusia, otoritarianisme adalah produk berpikir yang selalu lahir dan mengiringi peradaban. Dan otoritarianisme selalu membutuhkan sebuah rezim untuk menjaga dan mengamankannya. Mungkin inilah sebab muncul adagium terkenal: bahwa setiap rezim selalu menciptakan sejarahnya masing-masing. Namun otoritarianisme gagal memprediksi bahwa sebuah pemikiran yang ditolak oleh rezim cenderung mencari kaki-kakinya sendiri untuk bergerak. Mustahil untuk memberangus sebuah ide sebab ide akan selalu menemukan jalannya, menemukan hulu ledaknya sendiri-sendiri.

Saya pikir, langkah terbaik adalah kesediaan untuk saling mendengarkan, kesediaan untuk berdialog dan memahami yang lain. Ini memang tidak mudah, sebab melihat kebenaran tidak sebagai es batu yang keras, namun sebagai air yang mengalir dan selalu menemukan jalannya. Pada titik ini, saya lebih mengapresiasi keberadaan demokrasi. Sebab demokrasi menawarkan sikap rendah hati untuk mendengarkan gagasan yang lain. Demokrasi yang saya pahami bukanlah mayoritas menentukan minoritas, sebab ini sama saja dengan rezim otoritarianisme. Yang saya pahami sebagai demokrasi adalah kesediaan untuk mendengarkan, kesediaan untuk tidak menjadi tironi mayoritas, juga kesediaan untuk mengapresiasi perbedaan pendapat. Namun, sanggupkah kita melakukannya?

1 komentar:

Almin Jawad Moerteza mengatakan...

Menurut kak Yus, apakah sikap pluralisme dapat menghapus paling tidak menekan laju sikap otoritarianisme?

Posting Komentar