Arung Palakka, Sang Penjelajah Buton

BEBERAPA hari ini saya berusaha menulis tentang sosok Arung Palakka di Tanah Buton. Ini bukan pekerjaan mudah sebab sumber-sumbernya tidak terlalu banyak. Tapi saya berusaha untuk tetap menulisnya. Saya berusaha keluar dari gaya penulisan para sejarawan yang terlampau ketat dengan sumber dan literatur hingga aspek cerita terabaikan. Makanya, saya tidak ingin menggapai kebenaran historik, tapi saya ingin mencapai pemahaman tentang konteks dan masa itu serta berempati pada apa yang dipikirkan seorang tokoh di masa silam.

Sebenarnya, yang ingin saya tulis bukan Arung Palakka. Saya ingin menulis lanskap kota kuno Buton, namun meminjam mata dan pikiran Arung Palakka. Saya berimajinasi tentang apa yang dipikirkan Arung palakka saat memasuki tanah Buton dan di saat bersamaan saya lalu menggambarkan detail dan lanskap kota yang saat itu berpusat di pebukitan, pada daratan yang sekarang dikelilingi Benteng Keraton Wolio.

Ini bukan sesuatu yang mudah. Sebab pada akhirnya yang muncul adalah tulisan imajinatif, serupa fiksi, tapi data sejarahnya ada dan tersaji dengan kuat. Tulisan ini saya niatkan sepanjang 30 halaman dengan spasi satu. Dan saat ini sudah berjumlah sekitar 24 lembar. Nah, sebagai bocoran, saya tampilkan dua paragraf awal tulisan tersebut. Silakan menyimak!


.....................
INI tahun 1660. Terik masih membakar tatkala perahu pria bernama Arung Palakka itu menyusuri Sungai Baubau menuju tepian. Lelaki perkasa berambut panjang yang ditahbiskan sebagai pahlawan Tanah Bugis itu, memasuki Negeri Buton demi harapan akan keadilan. Ia bukanlah seorang pecundang yang jauh melarikan diri ke negeri seberang. Perjalanannya didorong hasrat humanisme dan kecintaan kepada tanah air. Ia tidak melihat daerah ini sebagai negeri yang jauh dari negerinya, melainkan sebuah negeri yang persaudaraannya dengan nenek moyang Bugis sedekat dan sepenting urat leher bagi manusia. Ia tidak sekadar berkunjung sebagaimana penjelajah Eropa yang mencari jalan menuju pusat rempah-rempah. Ia sedang pulang ke tanah leluhur yang telah mewariskan napas dan detak jantung baginya. 

Nenek moyang Bugis dan nenek moyang Buton telah membuat prasasti persaudaraan abadi untuk saling menjaga kehormatan masing-masing. Leluhur Bugis menyimbolkan persaudaraan itu dalam kalimat “Bone ri lau, Butung ri aja.” Bone di Barat dan Buton di timur. Ini  adalah simbolisasi dari persaudaraan yang sesungguhnya telah memintas batas geografis. Jarak antara dua bangsa adalah jarak atas kategori dan apa yang tampak. Tapi darah yang sama telah mengaliri nadi masing-masing sehingga bertaut sebagai dua saudara sekandung. Hikayat kuno tanah Luwu –yang disebut-sebut sebagai bangsa tertua di jazirah selatan Celebes—juga mengisahkan tentang orang Wolio –sebagai bagian dari Buton-- sebagai saudara orang Luwu. Bahkan, lembaran lontarak kuno La Galigo juga menyebut nama Wolio dalam peta kuno yang menjadi panduan dalam memahami realitas geografi di masa silam.
..................
..................
..................
BACA JUGA

Arung Palakka, Sang Jagoan Batavia


4 komentar:

Dwi Ananta mengatakan...

Akan menjadi sebuah buku kak? Menarik! Kakak menuliskannya novel fiksi sejarah seperti Eiji Yoshikawa? Atau seperti Pramoedya? Ditunggu kak :) *selalu tertarik dgn sejarah*

Yusran Darmawan mengatakan...

nda ji. saya cuma menulis catatan pengantar pada buku yang sedang ditulis teman2 di buton

Anonim mengatakan...

sangat menarik buku itu. saya sudi membelinya.

ikadaengtene@gmail.com mengatakan...

Padahal saya mengira dah jadi buku ni Daeng..mau nimbrung baca.

Posting Komentar