Suku Bajo dalam Bingkai Eksotika Wakatobi

SEBAGAIMANA sudah saya perkirakan sebelumnya, film The Mirror Never Lies bukanlah jenis film yang bisa ditonton sembari bersantai dan melepas penat. Sebagaimana film-film yang dibuat Garin Nugroho, film ini adalah jenis film yang membuat kening berkerut, dan ketika film usai, kita masih bertanya-tanya, sebenarnya apa yang hendak disampaikan oleh sutradara? 

Memang, film ini tidak dibuat oleh Garin Nugroho, melainkan anaknya Kamila Andini. Namun, saya bisa merasakan aura Garin yang sangat kuat dalam film ini. Ciri khas film Garin yang sering saya temukan adalah eksplorasi yang detail pada suatu wilayah, lanskap alam yang indah sempurna, karakter warga lokal yang masih setia dengan kultur, serta –entah kenapa-- alur cerita yang disajikan susah untuk dimengerti. Saya bisa menyebutkan beberapa film Garin yang pernah saya tonton yakni Surat untuk Bidadari (film tentang Flores), Bulan Tertusuk Ilalang (Jawa Tengah), Daun di Atas Bantal (Yogyakarta), hingga Aku ingin Menciummu Sekali Saja (Papua). 

Film-film itu bukan dibuat untuk disaksikan pasar yang luas dan berasal dari berbagai segmen masyarakat. Tapi film tersebut dibuat untuk konsumsi berbagai festival film di panggung internasional. Dan jika berbicara tentang festival, Garin adalah yang terbaik di bidangnya. Ia adalah pembuat film yang kemudian jadi spesialis juara di festival-festival film. Resepnya sederhana yakni eksplorasi atau deskripsi yang luas tentang kebudayaan, hubungan antar karakter yang unik, serta dilemma manusia tradisional yang tiba-tiba saja dipertemukan dengan tatanan modern.

Film The Mirror Never Lies bisa diteropong dari perspektif ini. Kekuatan film ini adalah lanskap alam yang indah dan menakjubkan. Sepanjang scene, kita bisa menyaksikan demikian kayanya Wakatobi dengan segala rupa sumber daya alam serta panorama bawah laut yang sempurna. Sebagai warga pulau yang terbiasa melihat pasir putih dan laut biru, saya tidak terlalu surprise dengan pemandangan yang tersaji dalam film. Namun, saya bisa membayangkan, betapa kagumnya mereka yang lahir dan besar di wilayah urban, tiba-tiba menyaksikan lanskap Wakatobi yang indah dengan segala keanekaragaman hayati yang tetap terjaga. Sebagai bagian dari promosi Kabupaten Wakatobi (yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Buton) dan kampanye lingkungan WWF, film ini sukses mengeksplorasi sisi-sisi indah yang dimiliki kabupaten tersebut. Beberapa orang yang saya temani saat menonton film ini, langsung memasukkan Wakatobi sebagai satu destinasi yang mesti dikunjungi.

Diskursus tentang Bajo


Film ini akan mengajak kita masuk mengamati kehidupan masyarakat suku Bajo dari posisi yang sangat dekat. Sejauh ini, nyaris belum ada film yang khusus membahas tentang Bajo. Padahal mereka adalah suku laut yang tersebar luas di Indonesia, Malaysia, Filipina, hingga Thailand.  Sejauh ini, sejarah kita tidak banyak mencatat Bajo sebagai satu etnis besar yang unik sebab berumah di atas laut. Sehingga sejarah dan pengetahuan tentang Bajo berada di lapis pinggir dari bangunan besar pengetahuan kita tentang kebudayaan negeri ini. 

Sejarah Bajo sebagai bagian dari pulau-pulau sejarah yang terpinggirkan (history of neglected island), meminjam istilah antropolog Marshal Sahlins. Mungkin ini disebabkan oleh fakta bahwa Bajo tidak pernah membangun satu imperium besar yang kemudian ekspansif ke sana-sini. Bajo hanya membentuk satu komunitas kecil yang didalamnya warga memiliki kebebasan untuk saling memencar di sepanjang pesisir laut demi sebuah keyakinan bahwa Bajo berumah di atas lautan mana saja. Mungkin atas alasan ini pulalah sehingga tidak banyak informasi tentang Bajo. Belakangan, beberapa peneliti telah menjelaskan dinamika Bajo dalam berbagai perpspektif. Kajian ini kian menambah khasanah perbendaharaan pengetahuan banyak orang tentang etnis Bajo. Bahkan keberadaan film The Mirror Never Lies ini menjadi medium yang sangat strategis untuk memperkenalkan Bajo pada banyak pihak. 


Film ini menyajikan kenyataan tentang Bajo dari dekat. Kita bisa merasakan gejolak emosi serta kegelisahan satu keluarga yang kehilangan sosok pemimpin di keluarganya. Sang bapak pergi melaut dan entah apa alasannya, tidak pernah kembali. Sang Ibu, Tayung (Atiqah Hasiholan) terkesan begitu pesimis bahwa suaminya tidak akan pernah lagi kembali dari laut, meskipun ia masih menganyam harapan kelak keluarganya bisa utuh lagi. Sementara anak perempuan satu-satunya, Pakis (Gita Novalista) sangat merindukan ayahnya. Itu sangat terlihat dari sikapnya yang selalu murung dan kehilangan senyum. 

Pakis merindukan seorang ayah. Harapan bertemu ayah selalu dibawa kemana pun ia pergi, dalam wujud sebuah cermin yang tidak lain adalah pemberian sang ayah. Terkadang jika dia begitu rindu dengan ayahnya, Pakis akan menghempaskan tubuhnya ke laut, mencurahkan isi hatinya dan berharap laut bisa menyampaikan ceritanya kepada sang ayah.

Dalam film, Pakis sangat sentimental dan seakan tidak rela jika kehilangan ayah. Sepengetahuan saya, warga suku Bajo tidaklah sesentimentil apa yang digambarkan dalam film ini. Mereka memang seorang petualang hebat di laut yang selalu berjanji akan kembali, namun mereka juga selalu menyerahkan semua jalan nasib kepada lautan itu sendiri. Sementara keluarga di rumah juga selalu bersiaga dengan berita kemalangan. Sebab mereka meyakini bahwa kehidupan akan terus berjalan sebagaimana pasang naik dan pasang surut. Saya sering memperhatikan beberapa anggota keluarga saya yang menikah dengan warga Bajo. Bagi penduduk suku Bajo, kehilangan bukanlah sesuatu yang diratapi dengan penuh sedu sedan. Tapi kehilangan dihadapi sebagai fenomena hidup yang kerap terjadi di masyarakat. 


Kita bisa mengatakan bahwa film ini adalah sebentuk interpretasi atas Bajo. Meskipun dalam pandangan saya, karakter tokoh di dalamnya tidak murni Bajo, namun gambar-gambar yang disajikan sangatlah membantu pemahaman atas Bajo. Apalagi, akting ketiga anak asal Bajo –yang beberapa dialognya menggunakan bahasa Bajo—kian menambah daya tarik film ini. Pada akhirnya, film ini sukses menyajikan lanskap kebudayaan bajo secara umum, meskipun alur ceritanya agak njilmet untuk dipahami masyarakat luas, termasuk orang Bajo sendiri.(*)

4 komentar:

Anonim mengatakan...

Sangat menarik bang. Saya pikir memang hampir semua komunitas yang hidup dekat dengan alam (meramu, berburu, di darat dan di laut) sangat tidak sentimentil. Mereka siap dan pasrah ke mana alam membawa hidup mereka. Namun, dalam film ini saya melihat perspektif berbeda ketika Pakis hadir dengan perasaannya yang intense terhadap ayahnya yang hilang. Bukan karakter bajonya yang diangkat, tapi universal emotion, ikatan yang kuat antara anak dan ayah. Emotion yang bisa kita jumpai dalam hampir semua budaya. Dan karena Pakis seorang bajo dan seorang anak, dua hal ini memperkaya karakter yang dimainkannya.
Kita perlu lebih banyak film-film seperti ini ya bang :).

tabik,
indah

Yusran Darmawan mengatakan...

saya rasa apa yang disampaikan indah benar. emosi antara anak terhadap ayahnya adalah sesuatu yang universal. demikian pula obsesi seornag anak pada sosok mirip ayahnya

Atyra mengatakan...

wah..sayangnya saya belum nonton film ini kak,kehidupan suku bajo banyak memberikan pelajaran. kehidupan yang tegar karena Alam membawanya tuk belajar seperti itu. setegar karang dilaut ..:) ada DVD atw CDnya kak?pinjem..:)

Anugerah (ugha) mengatakan...

Dan lagi-lagi setelah saya menonton film ini, Wakatobi dan suku Bajo masuk list next destination Saya, setelah di tahun 2004 untuk pertama kalinya Saya menonton Surat untuk Bidadari (Flores-Sumba/Sumbawa. Di kepala Saya selalu berputar-putar keinginan untuk menjelajahi Flores. :)

Entah kapan, diamini saja :D

Posting Komentar