Filsafat Kearifan, Filsafat Alex Ferguson

Manajer Manchester United Alex Ferguson (kanan)
berjabat tangan dengan pelatih Barcelona Josep Guardiola


SUNGGUH indah menyaksikan pertandingan sepakbola tadi subuh. Tahun ini, Liga Champion Eropa kembali mempertemukan dua tim kharismatis yang sama-sama perkasa. Tim Barcelona asal Spanyol berhadapan dengan Manchester United (MU) asal Inggris. Keduanya adalah tim legendaris yang sama-sama menjadi buah bibir kesuksesan, sama-sama menggetarkan siapapun lawan yang dihadapinya, sama-sama memuncaki klasemen sepakbola di negara masing-masing.

Di Stadion Wembley, keduanya adalah barisan manusia luar biasa. Saya tidak melihat Barcelona sebagai sekumpulan anak muda boncel dengan teknik tinggi laksana pemain akrobatik. Saya meihat mereka sebagai pasukan pemberani yang memasuki medan laga dengan semangat membara. Sementara MU memasuki lapangan dengan segala kemegahan yang menyelubungi. Mereka berpendar dan penonton serasa menyaksikan pasukan dewa-dewa yang turun dari langit. Pasukan pemberani dan pasukan dewa itu lalu bertarung dengan segala ajian dan kesaktian yang mereka miliki. Pada akhirnya, pasukan pemberani asal negeri Catalan itu sukses membawa pulang supremasi tertinggi di jagad sepakbola Eropa.

Maka sebuah pekik membuncah bersama letusan seribu kembang api ketika Barcelona sukses di Champion Eropa. Strategi serangan ala pasukan Catalan sukses diperagakan para ksatria seperti Lionel Messi, Andreas Iniesta, dan Xavi Hernandez. Mereka sukses mengobrak-abrik formasi serangan setan merah yang diperagakan barisan malaikat itu. Mereka menang dengan mempertaruhkan teknik bertarung terbaik yang mereka miliki. Dan tim Manchester pun meninggalkan lapangan dengan kepala tegak. Mereka sukses menampilkan permainan terberat yang pernah dihadapi Barcelona. Apa boleh buat. Tahun ini bel kemenangan tidak berdentang di Gereja Westminster Abbey, Inggris, melainkan berdentang dengan nyaring di Gereja La Sagrada Familia di jantung kota  Barcelona.

Gelandang Barcelona, Javier Mascherano, saat merayakan kemenangan (foto: AFP)

Sebagai pendukung Manchester United (MU), saya tertegun. Bola sungguh menunjukkan rigoritas kuasanya: Manusia tak bisa memastikan kemenangannya. Di sini jelas, bahwa bukan awal, melainkan akhirlah yang menentukan. Persis, seperti dikatakan Michel Platini, “Dalam bola, siapa yang memberikan segalanya pada awalnya, jarang ia akan memperoleh ganjaran pada akhirnya.” Manusia mengira awal adalah segalanya. Bola mengatakan sebaliknya: akhirlah yang menentukan segalanya.

Maka, bila sudah menggelinding, bola adalah dunia, di mana terjadi peristiwa yang diramalkan filsuf Ernst Bloch: “Genesis atau penciptaan yang sesungguhnya bukan pada awal, tapi pada akhir.” Dalam dunia macam itu, mau tidak mau manusia harus berbicara mengenai sesuatu yang tidak berasal dari usaha, efisiensi, kalkulasi, atau rasionalitasnya. Ya, terhadap dunia modern yang benci terhadap irasionalitas dan nasib ini, bola mengharuskan mereka mau mengakui kuasa keberuntungan yang melawan rasionalitas manusia itu.

Nujuman Bloch itu dirasakan benar oleh tim MU. Bersinar terang bagai bintang adalah awal yang kemudian menjadi bencana. Hampir semua bursa taruhan justru meramalkan mereka. Terakhir, seekor gurita bernama Iker juga meramalkan kemenangan MU. Maka jatuhlah MU justru karena mereka sedang berada di titik atas sehingga kehilangan daya untuk refleksi dan menata ulang formasi setan merah yang menjadi darah tim ini. Tapi di atas segala kekalahan ini, MU tetap berhutang prestasi dan pencapaian pada manusia luar biasa di pinggir lapangan bernama Alex Ferguson.


Yup. Alex Ferguson -pelatih MU-adalah kata kunci atas pencapaian hebat sebuah tim. Di pinggir lapangan, pada posisi yang tidak pernah diperhatikan para penonton, ia berdiri dalam jarak yang tidak terlalu jauh dengan Pep Guardiola -pelatih Barcelona. Mereka adalah sosok pelatih kharismatis yang saling beradu strategi. Memang, tak banyak yang memperhatikan mereka, namun mereka adalah sosok penting yang melihat pertempuran sebagai arena untuk mengaktualkan skema-skema berpikir di alam imajinasi, dan menariknya turun ke lapangan hijau. Para pelatih bukan sekadar pengatur strategi, mereka adalah motivator yang membangkitkan asa dan menghangatkan bara permainan hingga membakar sanubari pemainnya.

Filsafat Kearifan

“Seorang pelatih jenius adalah seorang yang belajar dari setiap permainan, “ demikian kata mantan pelatih timnas Argentina, Cesar Luis Menotti. Ferguson, lelaki kelahiran Glasgow, Skotlandia itu, adalah manusia paling hebat yang pernah menduduki tampuk kepelatihan di kota Manchester. Sungguh menggetarkan melihat adegan ketika Sir Alex -demikian ia biasa disapa-justru datang berjabat tangan dengan Pep Guardiola. Tanpa sedikitpun berkilah, Sir Alex mengakui kehebatan tim Barcelona. Inilah sikap ksatria yang mengapresiasi keunggulan lawannya. Sir Alex menerapkan code of ethics atau standar etik bagi ksatria Skotland untuk mengakui kehebatan lawannya. Pada titik ini, kemenangan sudah tidak penting. Sebab yang penting adalah bagaimana seseorang bisa mengasah dirinya dari setiap kekalahan.

“Kami kalah. Tak ada cara lain untuk menjelaskan situasi itu. Kami dikalahkan oleh tim fantastis tentunya. Namun, saya berharap kami berbuat lebih baik. Akhirnya, kami akan mengakui bahwa kami kalah oleh tim yang lebih baik,” ujar Ferguson. Ia tidak mau mencari-cari alas an kekalahan sebagaimana sering dilakukan tim-tim di negeri yang jauh, yang ketap menyalahkan wasit atau hakim garis. Secara ksatria, Ferguson mengakui kekalahan itu. Ia memberi jempol kepada dewa bola asal Argentina Lionel Messi. “Mereka menyerang Anda dengan sangat kuat dengan permainan umpan dan kami tak pernah betul-betul mengendalikan Messi, sekalipun banyak orang mengatakan itu sebelumnya,” katanya dengan tenang.

Pelatih Barcelona Pep Guardiola dengan terang-terangan menyampaikan kekagumannya pada Ferguson. Ia justru angkat topi atas segala capaian kakek asal Skotland itu. Baginya, sungguh tak mudah membentuk sebuah tim dan menjaga performa selama lebih dari 25 tahun menukangi sebuah industri sepakbola. “Itu adalah cara yang berbeda. Buat dia, jadi manajer selama 25 tahun dan membentuk tim baru dan tim baru yang dia miliki adalah sesuatu yang saya kagumi. Saya tahu itu sulit,” tambahnya. Terhadap level permainan MU, Pep dengan rendah hati menjawab, “Sejarah Manchester United mengatakan kepada kami bahwa kami akan mengalami kesulitan (melawan mereka). Mereka bermain di level tinggi dan berhasil menyamakan kedudukan begitu cepat setelah kami mencetak gol pertama. Saya pikir, kami harus gembira karena kami sangat kompetitif hari ini.”

Tapi Ferguson justru balik menjawab, “Saya pikir, mereka adalah tim terbaik yang pernah kami lawan. Mereka berada di titik terbaik dari siklus mereka dan Anda mendapatkan tim yang menaikkan diri mereka sendiri ke status itu dan saya pikir Barcelona adalah tim itu,” tuturnya.

Sir Alex Ferguson

Maka sepakbola kemudian tidak lagi menjadi panggung perebutan gelardan kehormatan. Sepakbola menjadi panggung yang mempertontonkan kearifan dan kebesaran jiwa. Di tangan Ferguson dan Guardiola, sepakbola adalah permainan yang mengasah karakter dan kerendahhatian. Mereka berdua adalah penganut filsafat kearifan yang tak pernah mau berhenti belajar. Kekuatan mereka bukanlah pada sesumbar sebagaimana Jose Mourinho. Kekuatan mereka adalah pada ketenangan, sikap terbuka, dan pada kesediaan untuk terus belajar dari segala yang dialami dan ditemui. Kerendahan hati itu adalah buah yang dipetik dari pengalaman Ferguson selama bertahun-tahun ditempa di lapangan sepak bola. Ia memahami bahwa bola bukan sekedar permainan belaka, melainkan panggung filsafat yang menempa kematangan seorang pemain maupun pelatih. Bola adalah field untuk mengasah kepekaan sebagai manusia di panggung kehidupan.

Kerendahan hati di sini adalah “kunci” dari semuanya. Khususnya dalam hal memanfaatkan “waktu”. Sepakbola tak harus dipandang sebagai “pemain-pemain yang berlari-lari.” Tapi sekaligus juga bermain-dalam- “diam”,–yang bagi Guus Hiddink disebut sebagai “mengambil-posisi” alias: positioning. Jadi, bukan soal berlari sebanyak-banyaknya, yang membuat seorang pemain jadi maestro. Tapi bagaimana justru otot bergerak, sambil intuisi dan naluri serta otak, membuat seluruh lini lapangan menjadi “panggung” keindahan. Si pemain tiba-tiba bermetamorfosis menjadi “seniman”. Penonton dan lapangan hijau kemudian menjadi momen upacara bersama, di mana sarkasme kalah menang, takluk di bawah “daulat” upacara bersama itu. Dan si pelath adalah para filsuf yang saling mengasah dirinya, mentransformasikan segala yang terjadi di lapangan demi memperkaya filsafat kearifan yang bersemayam dalam diri. Bagi saya, Ferguson bukanlah pelatih. Ia adalah seorang filsuf!


Baubau, 29 Mei 2011

meski kalah taruhan, saya tetap mengucapkan selamat buat Barcelona. Congratulation!


1 komentar:

restoran jepang mengatakan...

walaupun w kalah taruhan,tapi overall w suka sportifitas football europe di banding negeri sendiri yang kagak berprestasi tapi banyak gaya

Posting Komentar