Seberani Matahari, Sebening Embun

SAYA bukan seorang yang melankolis. Bukan pula tipe pria yang gampang bersedih. Tapi, sebuah kejadian hari ini membuat saya tak sanggup berkata-kata. Saya amat terharu. Seorang sahabat mengajarkan saya bagaimana membuat keputusan terbaik di tengah pilihan yang serba sulit. Seorang sahabat mengajarkan saya kekuatan hati dan kedewasaan, serta bagaimana menjadi manusia seteguh batu karang, tanpa terombang-ambing oleh oportunisme serta hasrat untuk mengumpulkan materi.


Kisahnya cukup panjang jika diurai di sini. Namun ijinkanlah saya mengisahkannya secara singkat. Saya mengenalnya sebagai salah satu sahabat yang cerdas dengan bahasa Inggris yang sangat fasih. Di tangan sahabat itu tergenggam tiket untuk memasuki beberapa kampus bergengsi di negeri jauh. Ia memegang sesuatu yang didambakan jutaan orang yang dikepung hasrat petualangan dan melangkahkan kaki di negeri-negeri yang dihembus angin dingin dan kabut salju. Jutaan orang berebut akses demi hasrat berkelana serta mereguk pengetahuan dari mata air yang mengalir di negeri-negeri yang setia menjaga sungai pengetahuan. 

Namun sahabat itu lebih memilih untuk membatalkan tiket tersebut. Ia memilih sesuatu yang jauh lebih penting sebagai udara yang mengisi napasnya. Ia memilih bersama keluarga demi menuntaskan tanggung jawab sebagai perempuan sekaligus menunjukkan bahwa di luar keinginan untuk merengkuh altar ilmu pengetahuan, terdapat tanggung jawab besar yang mesti ditunaikannya. Ia memilih menunaikan kewajiban dengan penuh keyakinan kalau dirinya memilih jalan yang terbaik. 

Yang luar biasa mencengangkan, ia tak menyisakan sedikitpun keraguan. Ia percaya bahwa jalan terbaik telah dipilihnya sembari merapal keyakinan bahwa kelak dirinya akan menuai makna-makna yang dipetik dari hikmah-hikmah perjalanan hidup yang penuh lika-liku. Ia bisa belajar banyak dari kehidupan, justru di saat-saat di mana orang lain tak sanggup memetik hikmah-hikmah dari perjalanan hidup. Ia memilih sesuatu yang agung, sesuatu yang jauh lebih penting daripada timbunan kisah-kisah tentang kehebatan negeri lain, sebagaimana sering dituturkan sejumlah manusia yang hanya bisa mengagumi negeri lain, tanpa menyuburkan ikhtiar untuk menguatkan negeri sendiri. Duh!... Betapa kagumnya saya dengan sahabat tersebut.

Saya menyebutnya sebagai keteguhan sekaligus keperkasaan seorang perempuan. Pilihan untuk menumbuhkan nilai bukanlah pilihan yang simpel sebagaimana membalikkan telapak tangan.  Mungkin kalangan feminis --khususnya kaum feminis liberal dan radikal-- akan sinis memandang pilihan sahabat tersebut. Mereka yang menyebut dirinya feminis adalah mereka yang besar dengan gagasan-gagasan ideal tentang persamaan hak kaum perempuan sehingga mendorong mereka untuk sesegera mungkin memasuki ruang publik. 

Para feminis liberal, sebagaimana pernah diulas filsuf Mary Wollstonecrat, meyakini bahwa perempuan terpasung dengan nilai dan keyakinan kaum tradisional bahwa posisi perempuan adalah di rumah, tanpa menjelajah ke dunia luar. Mereka kukuh kalau perempuan sedang terkungkung, tanpa pilihan. Kata mereka, perempuan telah lama mejadi tawanan dunia sosial yang mendefinisikan atau mengkonstruksi konsepsi tentang sejauh mana peran mereka. Namun benarkah demikian?

Hari ini, sahabat itu mengajarkan banyak hal. Ia menjungkirbalikkan tesis kaum feminis liberal tentang posisi perempuan. Ia berani memilih sesuatu di tengah pilihan menggiurkan untuk kemana-mana. Saya tahu kalau dirinya tidak sedang memasung diri. Ia sedang mempersiapkan jalan bagi langkah-langkah kecil yang dituntunnya secara perlahan-lahan, yang disuburkannya dengan kasih sayang, dan dibesarkannya dengan cinta kasih. 

Pada akhirnya, hidup adalah perkara memilih dari berbagai jenis pilihan yang terpapar di depan mata. Meskipun di tangan sahabat tersebut terdapat segala akses untuk memasuki dunia luar, secara sadar, ia mengabaikannya sebagai konsekuensi dari keyakinannya tentang pilihan yang jauh lebih penting. Bagi saya, ia telah memilih keputusan tepat. Ia telah memenangkan sesuatu yang berharga. Bukan tiket gratis ke mana-mana, melainkan kekuatan hati serta keberanian untuk menjatuhkan pilihan. Ia tak hanya seberani matahari saat memilih, namun juga sejernih embun saat memikirkan hikmah-hikmah positif dari perjalanannya. Mungkin ia memilih mundur di masa kini, namun saya yakin ia sedang menanam buah untuk masa depan yang kelak akan dipanennya dengan penuh suka cita. Dan jika saat itu tiba, saya akan menjadi pihak yang sangat berbahagia, sebahagia dirinya.(*)



Jakarta, 3 April 2011
seusai Pre Departure Orientation (PDO)
Terimakasih atas pencerahan hari ini

2 komentar:

nyomnyom mengatakan...

saya bukan feminis, tapi jika bisa keduanya -keluarga dan karir, mengapa tidak?..

wijatnikaika mengatakan...

Tulisanmu polos sekali, Bang.

Posting Komentar