Teror Bom, Teror Kemanusiaan

paket yang meledak di kantor JIL, di Jalan Utan Kayu (foto: kompas)


SERING saya tidak sepakat dengan sikap Jaringan Islam Liberal (JIL) yang berdakwah dengan menentang kaum Islam mayoritas. Tapi saya menghargai mereka sebagai bagian dari sesama saudara sebangsa dan setanah air. Makanya, ketika mendengar ada bom yang dikirim buat mereka, saya mengutuk siapapun pelakunya. Bahkan siapapun yang mengatasnamakan Islam dalam tindakannya. Saya akan membela JIL yang teraniaya. Bukan membela mereka secara ideologis. Tapi saya ingin membela mereka sebagai rekan sesama anak bangsa yang seyogyanya dilindungi semua hak-haknya sebagai warga negara. 

Negeri ini mulai terasa tidak aman. Di sini, perbedaan pendapat tidak dijamin. Ketika Anda berbeda pendapat, maka bersiap-siaplah untuk menerima kemurkaan dari orang lain. Ketika Anda berpikir lain, maka bersiap-siaplah menerima nasib seperti para sahabat JIL yang menerima paket kiriman bom. Negeri ini terjebak dalam banalitas atau kedangkalan berpikir yang kian parah dan menikam jantung penghargaan pada keragaman berpikir di negeri ini.

Negeri ini tidak pernah bisa belajar dari masa silam, pada masa-masa ketika founding father kita mengalami perbedaan, namun bisa dieliminir demi tujuan yang sama yakni kemerdekaan. Di masa itu, Sukarno dan Hatta bisa membangun sintesis yang amat aduhai tentang kebangsaan dalam bingkai persatuan yang kemudian menjadi pilar utama kenegaraan. Negeri ini dibangun di atas pilar kemanusiaan, namun betapa sulitnya menyaksikan penghargaan atas kemanusiaan. Di negeri ini, transformasi pengetahuan berjalan setengah-setengah. Semuanya serba tanggung!

Terdapat begitu banyak orang pintar dan bergelar sarjana, namun kepintaran justru membawa kesempitan. Terdapat banyak ulama dengan gelar mentereng, namun tetap saja ada begitu banyak penganiayaan pada yang berbeda agama. Terdapat banyak orang yang bergelar haji, namun jumlahnya  sebanding dengan seberapa banyak kasus terorisme yang mengatasnamakan pembelaan atas agama. Terdapat banyak orang alim, namun banyak pula mereka yang rela bunuh diri demi melukai yang lain. Inilah negeri yang serba paradoks.

Lantas, apa yang bisa dibayangkan tentang masa depan bangsa ini? Nampaknya kita mesti bekerja keras untuk membangun penyadaran. Kita mesti tetap setia membangkitkan kesadaran hingga menjadi matahari yang menerangi semua. Kita mesti belajar bagaimana menjadi oase yang memberikan kesejukan bagi siapapun. Barangkali kita harus belajar, sebagaimana puisi Rendra, "Kesadaran adalah matahari//  kesabaran adalah bumi//  keberanian menjadi cakrawala// dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata.."

1 komentar:

Patta Hindi Asis mengatakan...

saya mengutip GM : kemenangan selalu mengandung kekalahan. Yang absolut tak ada di dunia...perang tak akan cukup, pembunuhan tak pernah memadai...

nice posting kanda yus...

Posting Komentar