Pengalaman Ikut GRE

HARI ini saya menjalani tes Graduate Record Examinations (GRE). Bagi siapapun yang hendak melanjutkan pendidikan ke Amerika Serikat (AS) wajib untuk mengikuti tes GRE. Biayanya juga cukup mahal, sekitar 150 dollar AS, yang jika dikonversi ke uang rupiah, sekitar satu juta lima ratus ribu rupiah. Mahal khan? Untunglah, semua biaya untuk mengikuti tes ini ditanggung oleh sponsor beasiswa.

Bagi saya, GRE adalah salah satu tes paling sulit. Menurut informasi beberapa sahabat, bahkan seorang yang lahir dan besar di AS sekalipun akan kesulitan mengerjakan soal GRE. Tes ini hanya diperuntukkan bagi sekolah-sekolah non bisnis. Jika tertarik mendaftar sekolah bisnis jenis tes yang mesti diikuti adalah GMAT.

Tujuan tes ini adalah untuk mengetahui sejauh mana minat serta kemampuan seseorang sebelum mengikuti perkuliahan. Nah, problemnya adalah kita disamakan dengan calon mahasiswa luar negeri yang rata-rata punya kemampuan bahasa Inggris yang hebat, serta penguasaan matematika yang kuat. Nah, bahasa Inggris dan matematika adalah dua kelemahan saya. Makanya, sejak mendaftar tes ini, saya agak pesimis, namun mesti menguatkan diri sebab tes ini dianggap penting sebagai syarat untuk mengikuti perkualiahan di AS. GRE ini diniatkan sebagai tes yang mengukur kemampuan semua calon mahasiswa pascasarjana di AS. Jadi, bisa kita bayangkan bagaimana sulitnya sebab kita masuk pada standar internasional.

Saya mengikuti tes GRE di kantor IIEF di lantai 28, Menara Imperium, Jakarta. Tempatnya sangat representatif dan memadai. Dibandingkan dengan tes IBT yang saya jalani minggu lalu, maka tempat tes di IIEF sangat eksklusif. Pelayanannya juga profesional.

GRE terdiri atas tiga bagian: verbal (30 pertanyaan dalam 30 menit), quantitative section (28 pertanyaan dalam 45 menit), dan analytical writing (dua esai dalam 75 menit).  Nilai maksimal untuk verbal dan quantitative adalah 800, sedang analytical writing diberi nilai maksimal 6. 

Kata teman di AS, bagian quantitative (matematika) biasanya tidak terlalu menjadi masalah. Tapi bagi saya, sama saja. Kesulitannya luar biasa. Sebab sejak lulus SMA, saya tidak pernah lagi belajar matematika. Tiba-tiba mesti menjawab soal matematika. Mestinya, ada tes yang didesain khusus untuk peminat ilmu-ilmu sosial, sebab sejak sekolah menengah hingga kuliah di universitas, saya tidak belajar matematika. Terhadap teman-teman, saya sering berseloroh, meskipun soal ini disajikan dalam bahasa Indonesia, saya tetap akan mengalami kesulitan besar. Apalagi jika disajikan dalam bahasa Inggris.

Bagian selanjutnya adalah verbal. Inilah bagian yang lebih menantang. Kesulitan umum bagi kita yang bukan penutur Inggris terutama pada penguasaan vocabulary. Jangan bayangkan vocabulary pasaran yang akan keluar dalam tes, melainkan kata-kata yang mungkin kita baru tahu saat itu. Belum lagi struktur kalimat soal yang dibuat rada memutar hingga memerlukan tambahan waktu untuk memahami maksud soal tersebut. Sebagai perbandingan, orang yang bertutur Inggris sekalipun normalnya akan mendapatkan nilai verbal lebih rendah dibanding nilai quantitative. Bagaimana dengan kita yang sehari-hari berbahasa Indonesia atau malah bahasa Buton?

Bagian terakhir GRE adalah analytical writing. Di bagian ini peserta akan diberi satu kasus, dan berdasar kasus itu peserta diminta menuliskan tanggapan dan argumennya. Respon dari kasus bisa setuju ataupun tidak, yang penting argumen yang disusun mesti sistematis dan meyakinkan.

Waktu yang diberikan untuk mengerjakan tes tentu saja terbatas. Akan sangat membantu jika sebelum tes kita melakukan simulasi dengan mengerjakan soal dalam kerangka waktu tes sungguhan. Ini akan memberikan sense bagaimana cara membagi waktu dalam pengerjaan nantinya. Jangan pernah terpaku mengerjakan satu soal sulit, karena bobot soal sulit dan mudah tidak dibedakan.

Satu lagi yang penting, tes ini berformat komputer. Artinya, peserta tidak akan diberi lembar soal dan lembar jawaban. Peserta mesti membaca soal dan memberikan jawaban langsung di layar komputer. Bagi yang tidak terbiasa ini bisa menimbulkan kesulitan tersendiri. Satu lagi kelemahan tes berformat komputer, peserta mesti menjawab soal secara urut. Soal yang dianggap sulit tidak bisa dilompati untuk kemudian dikerjakan ulang nanti. Ini menjadi semakin membuat penting manajemen waktu. 

Saya benar-benar kesulitan mengerjakan tes ini. Khususnya pada kemampuan verbal dan kuantitatif. Tapi, sesulit apapun tes itu, saya telah menjalaninya. Muloanya saya agak panik. Sesaat sebelum tes, saya bertemu seorang senior penerima beasiswa IFP dari Cohort 5. Ia baru saja kembali dari Massachusets. Menjelang masuk tes GRE, ia seperti mengetahui kepanikan saya dan teman-teman. ia lalu membisikkan kalimat yang memadamkan kepanikan itu. "There is a magic word. You'll be fine! Go ahead!"


Jakarta, 21 Maret 2011

8 komentar:

Putu mengatakan...

Salam kenal mas! :) boleh tau belajar persiapannya hanya menggunakan buku panduan atau ikut prep?
Kalau boleh tau, pake bukunya apa? boleh pinjam bukunya ngga? berhubung saya juga mau ikut tes GRE.
Trims sebelumnya! :)
Salam

mila mengatakan...

perfect..magic words-nya ternyata ampuh ya? menyentak psikologis.. thanks.

Anonim mengatakan...

gmn hasil tesnya mas? Bagi2 donk ilmunya :D

Yusran Darmawan mengatakan...

hasilnya pas-pasan. Gak layak untuk ngasih nasehat2. hehehe...

Anonim mengatakan...

Terima kasih sudah share..

Unknown mengatakan...

pengalaman yang menarik mas, setidaknya memberikan gambaran buat saya yang pengen ikutan tes juga hehehe

Unknown mengatakan...

apakah di bandung ada penyelenggara tes GRE?

Unknown mengatakan...

Boleh tau hasil tes nya keluar kapan ya? jarak berapa hari setelah tes?

Posting Komentar