Bermain Layang-Layang di Lapangan Monas

PERNAHKAH anda kembali melakukan hal-hal yang pernah dilakukan di masa kecil? Sesekali cobalah melakukannya. Pasti sangat menakjubkan. Saya sudah melakukannya dalam beberapa minggu terakhir. Minggu lalu, saya mulai gemar bermain futsal, yang dulunya kerap dilakukan waktu kecil. Meskipun kali ini dilakukan dalam ruangan indoor atau tertutup (karena di Jakarta nyaris tak ada lapangan), namun keriangannya sama dengan ketika saya lakukan di masa kecil yakni di pasir putih di tepi pantai.

berpose sebelum bermain layangan

Hari ini bertambah lagi hal yang dilakukan sewaktu kecil. Tadi saya bermain layangan di lapangan Monas, Jakarta. Layangannya saya beli pada penjual dengan harga yang murah yakni lima ribu rupiah, lengkap dengan segulung benang nilon. Kenikmatannya luar biasa. Serasa memutar ulang kenangan dan kenikmatan yang naris hilang dalam suasana yang berbeda. Saya terkenang kembali episode kehidupan yang lama lewat di Kota Baubau di Pulau Buton, khusunya bagian ketika saya bermain layangan di masa kecil.

Dulu, bermain layangan adalah aktivitas yang sangat menyenangkan. Biasanya, saya membeli rangka layang-layang yang terbuat dari bambu di warung seorang penjual yang bernama La Basari. Selanjutnya saya lalu menyobek kantong plastik dan memasangnya di rangka tersebut. Saat itu, saya sudah menyiapkan lem khusus, yang diambil dari getah pohon kelor. Sehari sebelumnya, saya mengiris batang pohon kelor, sehingga keesokan harinya penuh dengan getah yang berfungsi sebagai lem. 

Saat itu, saya melakukannya seorang diri. Anda bisa membayangkan betapa mandirinya anak-anak di masa itu sebab menyiapkan segalanya seorang diri. Menyiapkan layang-layang adalah bagian dari keahlian seorang anak kecil di kampung saya. Setelah plastik direkatkan di rangka tersebut, selanjutnya adalah menimbang dengan benang. Benang saya ikat di tengah layang-layang lalu ditimbang. Kalau layang-layang itu miring ke kiri, artinya saya mesti memasangkan ekor di sayap kanan biar balance (seimbang). Demikian pula sebaliknya. Kalau miring ke kanan, maka saya akan memasang ekor di sayap kanan. kami menyebutnya ekor. Padahal sesungguhnya itu hanya cabikan kain agar layangan itu seimbang.

Selanjutnya adalah menerbangkan layangan. Nah, di kampung saya, permainan layangan adalah permainan kolektif. Kami anak-anak kecil memainkannya secara bersama. Biasanya, saya akan meminta seorang anak kecil untuk memegang layangan dari kejauhan. Saya mengulur benang, lalu setelah dirasa cukup, saya lalu menariknya. Maka terbanglah layangan tersebut diiringi sorak-sorai semua anak-anak.


Pada masa itu, sering ada kompetisi dalam hal bermain layangan. Sejumlah anak kecil membuat benang gelasan yakni benang khusus yang dilumuri dengan pecahan kaca serta getah kayu tertentu. Benang itu akan lebih tebal, kuat serta sanggup menyobek benang lain hingga putus. Ketika ada terjadi duel, kami anak kecil menanti-nanti dengan harap-harap cemas. Biasanya ada pengumuman kalau ketika ada layangan yang putus, maka siapapun yang menemukannya, berhak memilikinya. Makanya, kami berlarian sekuat tenaga demi mendapatkan layangan tersebut.

Saat ini saya tidak pernah menyaksikan anak-anak berlarian mengejar layangan putus. Dulu, pemandangannya sangat ramai. Sebab rata-rata anak kecil membawa tongkat yang diatasnya dipasang ranting kayu demi meraih layangan putus itu. Nah, seorang anak akan memiliki dua misi penting. Selain segera mendapatkan layangan pada kesempatan pertama, ia juga harus mengamankan layangan itu dari anak-anak lain yang ingin merusaknya. Mungkin anak-anak itu berpikir zero sum game, di mana semuanya sama-sama kalah. Namun biasanya, sang pemenang akan mengamankan layangan itu serupa benda berharga. Ia akan mengancam anak-anak lain yang hendak merebutnya.

Tadi sore, semua kenangan itu menari-nari di pelupuk mata. Saya bermain layangan di tengah banyak orang yang juga bermain layangan. Kami tak saling mengenal, sebagaimana kenangan indah di waktu kecil. Kali ini tak ada anak-anak yang menanti kalau-kalau ada duel sehingga mereka bisa berebut layangan putus. Tak ada juga anak kecil yang membantu memegang layangan di kejauhan hingga saya menariknya dan terbang tinggi.

Tapi setidaknya, saya menemukan keriangan yang nyaris hilang. Saya kembali menemukan sensasi ketika menerbangkan sesuatu, dan saat-saat menegangkan ketika layangan itu menukik hingga kembali mengangkasa. Dan saya serasa melihat masa lalu yang menari-nari pada layangan terbang itu.(*)


Jakarta, 15 Februari 2011

5 komentar:

Anonim mengatakan...

jakarta masih punya lapangan bola yang luas koq, salahsatunya lapangan banteng depan istiqlal, samping gereja kathedral

Dwi Ananta mengatakan...

Jadi rindu bermain layang-layang :) kira-kira saya masih bisa tidak ya menerbangkannya?
Dulu saya tidak pernah membeli layang-layang, saya spesialis penangkap layang-layang ta’pu’ :p

Dulu sering main di lapangan kompleks rumah sambil nyanyi:
“Bermain... bermain.... bermain layang-layang. Bermain ku bawa ketanah lapang... hati gembira dan senang...”

Yusran Darmawan mengatakan...

Jakarta memang punya lapangan bola seluas lapangan banteng. namun, betapa jauhnya untuk mencapai lapangan itu

@dweedy: ternyata kita sama-sama punya hobi main layangan. kapan-kapan kita maen layangan bareng yuk.. hehehehe

hidayat mengatakan...

mainan saya waktu kecil

Layanganplastikbekas mengatakan...

wah , ternyata emang buanyak yang waktu kecil cinta layang-layang , sekarang dah gedhe di Jakarta bingung mo main layang-layang nya dimana , di Ancol tiap minggu sore juga banyak yang main layang-layang Mas , tapi emang bayar masuk kesono-nya, salam
http://layanganplastikbekas.multiply.com/

Posting Komentar