Nagabumi II: Buddha, Pedang, dan Penyamun Terbang

BEBERAPA hari ini, saya sering singgah ke Toko Buku Gramedia untuk melihat-lihat kalau-kalau ada buku terbaru. Saya sudah lama merindukan bacaan berupa fiksi yang kalimat-kalimatnya mengalir deras serupa anak sungai. Saya merindukan fiksi yang tidak cuma membakar sanubari kita serupa kertas tipis hingga menyala-nyala, namun fiksi yang sanggup membekukan, lalu mencairkan hati kita perlahan-lahan. Namun sayang sekali, saya belum bertemu kisah fiksi yang sanggup membakar sekaligus mengembun.

Nagabumi II

Hari ini, saya membaca website yang menginformasikan bahwa karya terbaru Seno Gumira Adjidarma yang berjudul Nagabumi II: Buddha, Pedang, dan Penyamun Terbang Sudah beredar. Saya tersentak dan tidak sabaran. Tiba-tiba saja adrenalin saya terpacu untuk segera memiliki buku itu. Setahun lalu, saya telah membaca Nagabumi I: Jurus Tanpa Bentuk. Novel ini adalah genre silat yang sudah lama saya nanti-nantikan. 

Saat membaca Nagabumi I, saya membayangkan para pendekar yang tidak cuma digdaya saat bertarung cepat bagai kijang, dengan tubuh seringan capung saat menapak di atas daun, namun para pendekar yang menemukan filsafat dan kesempurnaan hidup melalui setiap detail pertarungan yang dilewati. Saya menemukan kisah pendekar yang mencapai kebijaksanaan, pendekar yang memperlakukan sebuah pertarungan laksana puisi yang kadang merobek-robek, namun sesekali serupa angin lembut yang menghampar.

Nagabumi I berkisah tentang pendekar tanpa tanding yang tak terkalahkan. Ia tak bernama sehingga disebut Pendekar Tanpa Nama. Ia berkelana di masa-masa ketika Candi Borobudur hendak berdiri. Ia lahir dari rakyat jelata, dan tidak memanggul tugas suci sebagaimana kisah pendekar yang serupa para rasul. Ia manusia biasa yang bisa salah dan bisa benar, namun tidak hendak tunduk pada siapapun. Ia berkelana sesukanya, mencari kesempurnaan hidup, dan menghadapi silih-berganti pendekar yang hendak mengalahkannya dalam adu pertarungan agar tersohor di rimba persilatan.

Sepintas, Tanpa Nama seperti kisah Kenji Himura, tokoh dalam serial kartun Samurai X, atau seperti Pedang Patah, dalam film kolosal Hero. Tanpa Nama hendak mengasingkan diri dari rimba persilatan. Namun, ia terus dikejar-kejar para pendekar yang ingin tersohor karena mengalahkannya. Maka berkelanalah ia menjangkau jantung peradaban Jawa, menjangkau tanah Sumatra, hingga ke Campa (Vietnam), Burma, dan negeri Tiongkok. Ia memulai petualangan di dunia yang manusianya saling menjajal kesaktian. Di sini tersaji petualangan, angkara murka, cinta kasih, serta hasrat kuat untuk menemukan kesempurnaan. 

Rahasia Nagabumi II

Seperti apakah kisah Nagabumi II? Dalam website pribadi milik seno, di situ terdapat sinopsis kisah. Di situ tertulis sebagai mana uraian di bawah:

Mengikuti hasrat pengembaraan, Pendekar Tanpa Nama dari Javadvipa tiba di Tanah Kambuja pada tahun 796. Perjumpaan dengan seorang perempuan pendekar, membuat ia terlibat berbagai pertarungan maut yang setiap kali nyaris mencabut nyawanya. Bersama perempuan pendekar itu, ia bergabung dengan pasukan pemberontak An Nam yang melawan penjajahan, yang kemudian membuatnya wajib melakukan perjalanan rahasia ke Negeri Atap Langit untuk membongkar persekongkolan.

Kesetiaan dan pengkhianatan, sihir dan nalar, silat dan filsafat, cinta dan birahi, mengharubiru petualangan Pendekar Tanpa Nama yang harus mengatasi tantangan alam luar biasa antara dongeng dan kenyataan. Mengapa ia terdampar di kampung pelarian Pemberontakan An-Shi? Bagaimana caranya Pendekar Tanpa Nama mengatasi gungfu Perguruan Shaolin? Apa yang membuat perjalanannya berbelok ke Shangri-La dan terpaksa menghadapi para penyamun terbang? Nagabumi, autobiografi Pendekar Tanpa Nama, yang ketika menuliskannya selalu diganggu para pembunuh bayaran!

Wow! Saya tak sabar membacanya. Sayang sekali, harganya cukup mahal untuk ukuran kantong saya. Namun, untuk apa membahas masalah harga buku jika kepuasannya serupa meminum sebuah ramuan yang menguatkan jiwa, menghadirkan imajinasi yang melayang-melayang, hingga tubuh yang terus bergerak dan menemukan kesempurnaannya? Bukankah semuanya itu tak ternilai oleh materi?

BACA JUGA:



5 komentar:

Saladin mengatakan...

Betul mas. mari kita ke gramedia dan membeli bukunya. Hidup produk dalam negeri. dan Hidup bang Seno untuk karyanya.

Anonim mengatakan...

Saya juga baru beli Mas, cuma belum saya baca. Kalau di Yogya, beli saja di Toga Mas, ada diskon 20% lumayan.
Asli Jogja

Anonim mengatakan...

sudah pegang bukunya hampir sebulan terakhir, tapi belum berhasil tamat, setengah aja belum. isinya padat merayap, hehehehe :)

bela-belain merogoh kocek dalam-dalam. soalnya sudah baca nagabumi I, penasaran dengan nagabumi II, tapi yang pasti, bersambung lagi, hahahahaha..

-kasman-

Anonim mengatakan...

kalu mau peroduk dalam negri naik daun harganya ya jgn mencekik leher rakyat jelata

Anonim mengatakan...

Saya baru selesai membaca Naga Bumi 1 sekitar 3 bulan yang lalu dan sekarang kesusahan mencari Naga Bumi 2. Gramedia di Sumatra Utara sudah tak ada stoknya lagi. :/

Posting Komentar