Silakan Rubuhkan Sombaopu!!!

MAAFKAN. Saya bukan seorang Bugis-Makassar. Darah saya murni titisan darah para nelayan Buton yang menemukan kesempurnaannya dalam ritus menantang samudera. Namun, ketika mendengar bahwa situs sejarah Benteng Sombaopu hendak dicabik-cabik menjadi waterboom, darah saya seakan mendidih. Saya geram saat membayangkan Sombaopu bakal tenggelam oleh hiruk-pikuk warga kota yang buta sejarah dan berekreasi sambil tertawa-tawa riang di satu sudut restoran yang menyediakan anggur dan whisky di dekat Sombaopu, tepi benteng yang kembali menjadi saksi kebejatan manusia.

Last Day of Sombaopu (foto: Armin Hari)

Saya akan amat kesal melihat warga kota yang pongah dan melihat setiap jengkal tanah di situ sebagai investasi lalu menanam uang untuk kemudian memetik buahnya dan berfoya-foya di tempat sakral itu. Di negeri ini, investasi telah menjadi Tuhan baru yang meletakkan kebanggaan serta kecintaan identitas di atas altar persembahan dan kelak akan dikunyah-kunyah hingga habis tak bersisa. Saya tidak akan pernah rela jika di tempat itu ada gelak tawa orang-orang yang meluncur di waterboom, atau gajah yang setiap pijakannya kian menguburkan situs dan benda bersejarah di situ atau mendengar kicauan lirih burung yang dikerangkeng dalam kandang besi dan hidup merana sebagaimana nasib benteng tua itu.

Maafkan. Saya tidak akan pernah sepakat pada pernyataan bahwa Sombaopu adalah warisan berharga yang dimiliki generasi Bugis-Makassar hari ini. Bagi saya, Sombaopu adalah sebuah warisan sejarah yang dimiliki setiap anak negeri ini, khususnya mereka yang pernah membaca syair bahwa di situ pernah berlangsung sebuah perang kolosal yang tercatat sebagai perang terbesar yang pernah terjadi di negeri ini. Sombaopu adalah milik siapapun, dari suku apapun, dari bangsa apapun, yang hendak mengumpulkan kepingan-kepingan makna dan hikmah yang berceceran tentang suatu zaman ketika harga diri mesti dipertahankan dengan tegak, dengan risiko sebesar apapun. Sombaopu adalah milik siapapun yang setia dan mengikrarkan kesetiaan pada nilai-nilai, bukan milik mereka yang menggadaikannya dengan mengatasnamakan investasi, lalu merobek-robek benteng tua itu.

Maafkan. Emosi saya menggelegak ketika membayangkan bahwa rubuhnya Sombaopu bukan saja rubuhnya sebuah susun batu yang dahulu menjadi tempat perlindungan. Di sini memang pernah terjadi perang kolosal dengan bunga api dan ledakan yang memercik di mana-mana. Di sini pernah terjadi adu kesaktian di mana masing-masing pihak mempertaruhkan nyawa demi mempertahankan prinsip. Memag, di sini memang hanya tersisa susunan batu yang kerap dilihat dengan sinis oleh manusia-manusia angkuh yang disebut Goethe sebagai manusia bebal yang hidup tanpa rasio dan mustahil belajar dari masa tiga ribu tahun. Namun di sini juga terdapat kisah keperkasaan dan keberanian mempertahankan prinsip meskipun risikonya adalah digulung samudera kehidupan.

Maka rubuhnya susuan batu bata itu seakan mengguratkan sebuah luka yang sukar disembuhkan dari sejarah kita. Rubuhnya Sombaopu adalah rubuhnya sebuah masa silam yang kian menunjukkan bebalnya generasi masa kini yang tak pernah bisa belajar dari masa yang telah lewat. Rubuhnya Sombaopu adalah potret ketidakmampuan generasi masa kini menjaga sebuah warisan sejarah, yang tidak sekadar berupa susunan batu yang merepresentasikan suatu masa, akan tetapi warisan tentang kisah-kisah yang abadi mengalirkan kebijaksanaan sebagaimana kisah manuskrip kuno, serta prasasti benteng sebagai saksi dari bergulirnya zaman.

Kisah besar yang terekam di balik lapisan batu Sombaopu adalah kisah tentang ketamakan manusia yang setinggi langit. Tamak atas materi, tamak atas perdagangan, tamak atas hasil bumi, dan tamak atas gila hormat dan memperbudak bangsa lain. Hari ini Sombaopu akan kembali mencatat episode ketamakan manusia modern, generasi terkini bangsa kita yang dahulu berjuang menegakkan kehormatan, namun di masa kini telah bertindak sebagai pencabut kehormatan.

Silakan jika Anda hendak merubuhkan Sombaopu! Namun, Anda tak akan pernah bisa merubuhkan catatan rapi yang tereakam abadi dalam sejarah bangunan itu. Sombaopu akan tetap mencatat satu episode penting masa kini, semacam catatan sejarah bahwa ketamakan dan kepomgahan adalah dua suku kata yang silih berganti hadir di bumi Sulawesi Selatan. Bahwa generasi masa silam melawan dengan mengucurkan darah, dan generasi masa kini hanya bisa sinis sembari berkata, “Maaf, zamannya berbeda. Dulu anda mempertaruhkan darah. Kini, kami akan memaksimalkan apa yang anda wariskan sebagai uang yang akan memperkaya di kami.”

foto: Armin Hari

Silakan jika Anda hendak mengkalim sebagai pemik benteng itu. Bagi saya, benteng itu adalah adalah milik semua bangsa, tempat menemukan identitas sekaligus bercermin bahwa masa silam tidak selalu kisah tentang kegemilangan dan kejayaan di atas penindasan bangsa lain. Masa silam adalah ruang tempat berkaca dan menemukan diri kita di masa kini. Baik masa silam dan masa mini hanya terpaut ruang dan waktu. Ketamakan dan keperkasaan menjadi dua kosa kata yang selalu berulang dalam berbagai bentuk. Dahulu, Cornelis Speelman mengincar Bandar Makassar. Kini, anak cucu Speelman kembali hadir atas nama investasi, yang lahir di tengah anak negeri. Jika dahulu Sultan Hasanuddin menjadi representasi keteguhan dan kesetiaan pada prinsip, kini kita sama ragu kalau-kalau semangat hasanuddin yang bikin merinding itu masih bisa ditemukan jejaknya pada pemimpin di masa kini?

Tatkala manusia modern hidup tanpa kehormatan dan menanam uang di mana-mana, maka Sombaopu kian menjadi prasasti sunyi yang tak lagi menggetarkan. Tatkala manusia modern, generasi Bugis-Makassar hari ini, menghancurkan batu terakhir Sombaopu, maka manusia tak akan pernah sanggup menghancurkan sebuah catatan rapi yang tersimpan di balik benteng itu, diawetkan dalam sejarah, diwariskan secara terus-menerus, dan menjadi gelora yang memberi isyarat tentang ketamakan itu hingga kapanpun.

Silakan jika Anda hendak merubuhkan Sombaopu. Tapi Sombaopu tetap akan abadi dalam sejarah. Sombaopu akan abadi dalam pemikiran kami, menjadi api yang membakar kesadaran kami hari ini.(*)

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Bergidik bulu romaku......

Armin Mustamin Toputiri mengatakan...

Sebuah ulansan yg sangat memikat, meskipun kata penulisnya menulis dgn sedikit emosional, tapi tak sedikit pun muincul nada emosionil. Malah justru yg muncul ungkapan renungan penuh yang mendalam. Saya suka sekali dengan kata mendalam ini... "Silakan jika Anda hendak merubuhkan Sombaopu! Namun, Anda tak akan pernah bisa merubuhkan catatan rapi yang tereakam abadi dalam sejarah bangunan itu"..... itu renungan yang sangat cerdas...!

Posting Komentar