Saat Lebaran di Rumah Mertua

BANYAK hal baru yang saya rasakan pada Lebaran besok. Biasanya, saya melewatkan Lebaran di rantau, atau paling sering di kampung halaman bersama seluruh keluarga yang mengasihi sebagai warga rumah. Tahun ini, saya akan melakoni sebuah episode baru. Saya akan berlebaran dengan status sebagai seorang suami. Lebarannya bukan di kampung atau tanah rantau. Tapi Lebaran di tempat mertua. Maafkan jika saya deg-degan dengan situasi ini.

Saya selalu merasa asing dengan suasana baru. Saya sering takut salah. Saya sering takut mengecewakan siapapun. Saya memang pria dewasa. Tapi ada saat di mana diri saya serupa bayi yang masih harus merangkak di altar kehidupan. Saya butuh seseorang yang menuntun tangan kecil ini sehingga tidak tertatih-tatih. Saya butuh cahaya yang menyinari dan membuat saya tidak berjalan ke sana ke mari. Saya butuh kompas agar kaki ini tidak terantuk-antuk.

ilustrasi

Susahnya karena banyak pihak yang terlanjur berharap agar saya serupa prajurit yang selalu siap ke medan laga. Sementara di titik ini, saya masih harus belajar banyak dari siapapun. Saya takut mengecewakan. Saya takut kalau keluarganya akan mencobir dan berkata, "Wah... saya tidak bisa membayangkan anak saya akan menghabiskan waktu dengan pria itu."

Mungkin ini hanya ketakuan saja. Seringkali ketakutan menjadi pecut yang menggiring langkah kita menuju satu arah tertentu. Saya mesti perkasa dan mengendalikan ketakutan itu. Tapi sekali lagi, saya butuh bantuan banyak pihak untuk beradaptasi saat melewati semuanya. Saya butuh kekuatan untuk melewati banyak hal. Dan hal paling penting, saya butuh saat-saat untuk beradaptasi atau menyesuaikan diri. Saya ingin dibantu melewati saat-saat awal namun amat penting bagi keluarga kecil yang sedang saya tumbuhkan tunasnya.

Maafkan jika pikiran saya masih seperti seorang pria yang bebas melanglangbuana ke mana-mana. Tapi hari ini saya tersadar bahwa sebagai seorang suami --yang memimpin sebuah keluarga--, saya mesti belajar untuk tidak lagi memutuskan sesuatu seorang diri. Saya telah memiliki seorang istri yang akan membantu saya untuk menetapkan sesuatu. Inilah konsekuensi pilihan hidup untuk berkeluarga.

Saya mengidap problem yang sama dengan istri. Kami harus sama-sama beradaptasi pada situasi yang berubah. Pernikahan bukan saja mempertemukan dirimu dengannya, namun juga mempertautkan seluruh keluarga besar di mana diri kita adalah bagian dari semesta itu. Pada titik ini, kami sama-sama harus menjaga keseimbangan langkah agar tidak terjerembab saat bersikap di satu tempat.

Tapi bukankah saya dan dia bisa sama belajar melewatinya? Saya selalu meyakini bahwa pikiran yang jernih, jiwa yang terang dan penuh kasih sayang, serta rasa welas asih yang menggunung adalah cahaya terang yang akan menuntun ke satu titik. Kami sama-sama pembelajar yang tak akan pernah berhenti belajar. Mungkin kaki-kaki kami harus tegak untuk melangkah sendirian di jalan kehidupan. Bukankah kelak kitapun akan sendirian?

2 komentar:

dwia mengatakan...

menangis ma sekarang...malas ma baca postingan ta. selalu bikin menangis. tapi tenanglah, rumahku selalu menyenangkan seperti diriku.

Alvidha Septianingrum mengatakan...

seperti inikah rasanya kalo mau ke rumah mertua?
wah wah..

@kak dwi: suit suit :D

Posting Komentar