Apakah KH Ahmad Dahlan Sang Pencerah?

“Allaahu Akbar…. Allaahu Akbar….”

MASSA bergerak sambil membawa obor di tangan. Dengan mengenakan pakaian khas seorang kawula di Jawa, mereka lalu menyerbu Langgar Kidul. Mereka berteriak-teriak menyebut asma Tuhan sembari menyerbu masjid kecil itu. Mereka beringas. Mereka merubuhkan semua tembok dan membakar hingga tersisa puing-puing. Di atas langgar yang sudah tinggal jejak itu, mereka lalu berteriak-teriak bahwa ini demi menegakkan agama, demi merubuhkan yang kafir. Namun benarkah ada kekafiran di situ? Ketika di langgar itu selalu didengungkan asma Tuhan, apakah layak jika kita sebut kekafiran?

poster film
Film Sang Pencerah menggambarkan adegan ini dengan menyayat. Suara biola mengiris-iris. Emosi massa tersulut saat pemilik langgar KH Ahmad Dahlan memprotes arah kiblat Masjid Besar Kauman, sebuah masjid yang menjadi sumbu kekuasaan Islam di Yogyakarta. Masjid Besar Kauman bukan saja tempat beribadah, namun menjadi symbol dari sentrum kekuasaan Islam tradisional Jawa, sebagaimana diwariskan turun-temurun sejak masa penguasa Islam pertama di Jawa yang dikawal oleh Sembilan wali bijaksana (Wali Songo). Dan memprotes kiblat masjid itu ibarat mengobrak-abrik tatanan tradisional yang terlanjur diberlakukan. Itu sama dengan membongkar tradisi.

Dahlan memang seorang reformis. Ia terpengaruh ide modernisasi pemikiran Islam yang dibawa Muhammad Abduh dan Jamaluddin al Afghani pada tahun 1800-an. Ia melihat realitas keislaman Yogyakarta yang penuh dengan takhayul. Melalui ide Abduh, ia hendak memurnikan keberislaman itu sehingga membawa rahmat bagi umat. Untuk itu, ia harus melabrak tradisi. Ia berdakwah dengan tegas dan tanpa kompromi. Cara berpikirnya hitam putih. Ketika sesuatu salah, maka salah. Ketika sesuatu benar, maka benar. Ia tak mengenal negosiasi dan kompromi demi sebuah keyakinan. Ia kepala batu. Semuanya demi keyakinan.

Saya sendiri banyak termenung saat melihat film ini. Saya tidak pernah membaca biografi Ahmad Dahlan. Saya hanya menyaksikan film ini dan menduga-duga. Dalam pahaman saya, film ini menampilkan sosok yang merasa benar dan menyalahkan orang lain. Ah, jangan-jangan saya yang terlampau naïf melihat cara berpikirnya. Tapi saya justru menemukan paradoks. Pada saat ia mengkritik letak kiblat, maka ia sesungguhnya sedang menjadi formalis. Namun saat mengajar dengan mengenakan pakaian ala barat, maka ia sangat substantif. Bukankah paradoks?

Tradisi, Pribumisasi, dan Dialog

Bagi saya, tradisi adalah endapan dari kebiasaan-kebiasaan yang terus berulang-ulang. Tradisi adalah sebuah proses pelembagaan. Di saat Sunan Kalijaga membawa Islam, ia mengikis –tanpa bermaksud menggantikan—tradisi Hindu yang sudah lebih dulu ada. Andaikan ia menggantikan Hindu, maka pastilah ajaran Islam akan ditentang. Inilah proses pribumisasi atau negosiasi yang cerdas untuk membawa masuk ajaran yang secara kultural lahir di tanah Arab. Sekian puluh tahun, pribumisasi itu berjalan mulus hingga menimbulkan interpretasi yang disebut Dahlan sebagai Islam mitos. Dan ia lalu melabrak keras tradisi itu yang disebutnya kesesatan.

adegan film
Salah satu adegan yang paling saya sukai adalah ketika Dahlan mengundang para kiai besar dan berpengaruh di Yogya. Ia mempresentasikan letak kiblat yang keliru jika dilihat dengan ilmu falak. Saya suka kalimat seorang kiai tradisional. Ia mengatakan bahwa Tuhan bisa dijangkau dari mana saja, baik utara selatan atau timur barat. Hal terpenting adalah kalbu serta niat yang suci dari seseorang untuk “menemui” Tuhannya. Sang kiai tak pernah menyebut kutipan pendapatnya. Tapi saya sangat yakin kalau ia mengutip ajaran tasawuf yang melihat doa sebagai sesuatu yang personal dan menyangkut relasi manusia dan Tuhannya.

Dalam dialog ini, saya tidak menemukan jawaban yang substantif dari Ahmad Dahlan. Justru para kiai itu yang sangat maju cara berpikirnya. Dahlan hanya mengulang-ulang dalil dari ilmu falak atau ilmu bumi. Ia juga hanya berkata sekilas bahwa Masjidil Haram tetap saja bagian terpenting dan Rasulpun menghadapkan wajahnya ke situ. Sayang sekali karena ia tidak membantah pendapat kiai itu dengan dalil yang juga digali dari khasanah pemikiran Islam. Dan film ini dengan sederhananya memosisikan Dahlan sebagai pemenang atau protagonist. Sementara para kiai tradisional –yang disebut bau dan tidak bersepatu itu—justru menjadi sosok penghalang kemajuan. Apakah memang kenyataan sesederhana itu?

Bagi saya, film Sang Pencerah bukan sekadar kisah biografi KH Ahmad Dahlan, pendiri persyarikatan Muhammadiyah yang kini amat besar dan kaya. Film ini lebih dari itu. Film ini sedang memotret pergolakan dalam Islam Jawa pada masa-masa peralihan ketika modernisasi sedang berjalan merambat. Film ini hendak memotret pelapisan sosial masyarakat, bagaimana Islam diterjemahkan sebagai lembaga kuasa, hingga dinamika interpretasi atas ajaran Islam. Pada titik inilah muncul sosok Ahmad Dahlan yang menjadi pencerah, sebagai penerang yang memisah terang dari gelap. Ia menunjukkan bahwa keberislaman masyarakat diselubungi aneka mitos dan takhayul sehingga mengaburkan makna Islam yang disebutnya “agama yang membawa ketenangan dan keindahan bagi siapa saja.” Namun, saat ditanya apa ketenangan dan keindahan itu, ia hanya memainkan biola dan menyuruh muridnya meresapi. Saya sendiri jadi geli sebab agama seolah sesuatu yang meninabobokan orang-orang. Saya jadi ingat kata Marx, mustahil seseorang beragama ketika perutnya lapar.

Keping Realitas

Sayangnya, film ini bukanlah sebuah documenter atau etnografi sejarah. Sebagai penonton, kita tak pernah tuntas memahami persoalan. Kita hanya melihat kilasan adegan ketokohan seorang Ahmad Dahlan dan keberaniannya menerobos sekat berpikir umat yang saat itu didominasi Islam ala Masjid Besar Kauman. Buat masyarakat awam, mungkin akan dengan mudahnya terseret logika film. Namun bagi yang jeli, tentunya akan menemukan beberapa keping ralitas kejanggalan, sebagaimana yang saya temukan.

adegan film
Pertama, bagian awal film menyebutkan bahwa saat Dahlan lahir, Islam Jawa sangat dipengaruhi ajaran Syekh Siti Jenar yang sesat. Islam dipenuhi mitos, pengkultusan dan sesajen. Saya bukan sejarawan. Tapi saya mempertanyakan pernyataan ini. Justru Jenar dihabisi oleh Dewan Wali Songo. Bukankah islam Jawa saat itu adalah sintesa yang dilakukan Sunan Kalijaga dengan sejumlah tradisi Hindu yang masih berdenyut di masyarakat? Bukankah pula ajaran tasawuf yang diperkenalkan Jenar justru mengajarkan kebersatuan manusia dan Tuhan, tanpa harus melalui ritual, apalagi sebuah sesajen.

Kedua, film ini memotret pergolakan Islam, namun hanya menampilkan setengah-setengah. Film ini menampilkan tiga lapis kelompok yang berkonflik yakni Islam modern (sebagaimana yang dibawa Dahlan), Islam tradisional (yang diwakili para kiai), serta Islam priyayi (yang diajarkan di sekolah Belanda). Dahlan adalah sosok yang bersahabat dengan kelompok modern dan kiai, namun bermusuhan dengan tradisional. Sayangnya, perbedaan paham itu terlampau sederhana dipotret. Kita hanya melihat Islam yang modern dan berbaju ala Eropa versus Islamnya para kiai yang tradisional. Lagi-lagi ini bukan perbedaan substansial. Dan mengapa harus Dahlan yang memenangkan perbedaan pendapat itu?

Ketiga, posisi Sultan Hamengkubuwono VII cukup sentral untuk menengahi konflik antara Dahlan dan Kiai Penghulu. Saya melihat Sultan menjadi figur bijaksana yang bisa menengahi konflik tersebut. Yang saya herankan, kemanakah Sultan saat massa merubuhkan masjid kecil milik Dahlan? Apakah ia juga terprovokasi Kiai Penghulu, sebagai ‘menteri agama’ Kesultanan Yogyakarta?

Keempat, film ini terlalu ambisi untuk memotret Dahlan secara utuh, mulai dari guru, imam, aktivis ssoial, aktivis pergerakan. Saking utuhnya membuat adegan-adegan terasa berkejar-kejaran. Akhirnya kita kehilangan kedalaman. Simaklah bagaimana Dahlan bicara tentang tahlilan, yasinan, selametan dan sesaji tanpa sekali pun kita melihat ada scene tahlilan, yasinan, selametan dan sesaji itu sendiri. Tema tentang bid’ah itu, yang kelak justru menjadi “sengketa” yang laten dan berusia lebih panjang ketimbang perkara arah kiblat, hadir tak ubahnya senarai kutipan, sejenis monolog, bukan sebuah peristiwa yang punya darah dan daging. Saya jadi bertanya-tanya, dengan menyaksikan film durasi dua jam ini, apakah Dahlan memang seorang pencerah? Bantulah saya untuk menjawabnya.

Kelima, ketegangannnya jadi berkurang karena ekspresi Dahlan datar-datar saja saat dimaki sebagai kafir atau disoraki para pemain rebana. Kita juga kehilangan kejutan karena kita tidak menemukan sebuah ancaman terhadap keselamatannya setelah mengkritik otoritas tradisional islam. Yang banyak diulang adalah teriakan kafir, namun tak satupun ancaman yang pernah dialami Dahlan secara fisik. Ia melalui semuanya dengan santai.

Keenam, agak aneh karena ada adegan ketika murid-murid Dahlan tiba-tiba mengepalkan tangan dan berikrar untuk setia di belakangnya. Saya merasa sutradara film tidak terlalu yakin bahwa adegan yang dirangkai sejak awal telah menancapkan kesan kuat bahwa para murid dahlan adalah manusia yang tahan banting menghadapi ancaman apapun.

***

Apapun itu, film ini sangat layak diapresiasi sebab sukses mengangkat satu sosok inspiratif di negeri ini. Saya paling suka adegan ketika Langgar Kidul roboh. Orang-orang bertakbir. Murid Dahlan gelisah saat obor mendekat. Adegan yang luar biasa muncul ketika Dahlan datang di tengah hujan dan mendapatkan langgarnya sudah runtuh menjadi puing-puing.

Nyai Dahlan lantas menyambutnya tanpa kata-kata dengan sebuah payung dan berakhir dengan pemandangan yang simbolik: tangan kanan Dahlan menggenggam tasbih yang diam dan tangan kiri memegang obor yang sudah padam karena basah air hujan.

Tasbih itu menjadi pernyataan bahwa pijar iman yang cerah tak sanggup menghadapi massa yang bertakbir, namun tiba-tiba beringas dan menghancurkan tenpat ibadah. Obor yang padam dan basah karena air hujan adalah symbol dari semangat yang menyala-nyalaakan padam dengan swndirinya ketika menemui peristiwa memalukan seperti itu. Dahlan tampil sebagai manusia, bukan malaikat. Ia punya sisi bimbang dan ketakutan akan gagal. Inilah sisi manusiawi seorang manusia yang juga takut kalah dan gagal.

Sayangnya, saya masih tidak puas dengan ending-nya. Ketika Kiai Penghulu berjabat tangan dengan Kiai Dahlan, maka itu adalah symbol dari titik kompromi yang dibangun dari sesame Islam yang berbeda metodologi. Mereka lalu berbicara hal-hal yang substansial tentang makna Islam. Maka damailah pertentengan itu. Inilah bentuk kompromi yang cukup menyederhanakan kenyataan. Interpretasi berbeda itu tiba-tiba mengerucut pada satu substansi. Entah, apakah di realitas memang selalu demikian.

Terakhir, film ini mengingatkan saya pada pandangan bahwa sejarah laksana spiral yang sering mengalami pengulangan-pengulangan. Kekerasan pada masa lalu, bisa jadi akan terjadi lagi pada masa datang, dengan metode yang berbeda. Jika masa lalu ada perang dengan busur-panah, maka di masa depan, muncul perang dengan bom atom atau nuklir. Tapi substansinya tetap sama yakni peperangan. Inilah guna belajar sejarah. Agar kita tidak terjerembab pada kebodohan yang pernah terjadi pada suatu masa. Bukankah demikian?

1 komentar:

lowongan_kerja mengatakan...

anda tau gak kalo pada akhirnya, kbilat masjid besar kauman itu akhirnya digeser, bertahun-tahun kemudian.

tapi sudahlah, tak kenal maka tak sayang.... :P

Posting Komentar