Sudahkah Anda Berfesbuk Hari Ini?

BERAPA kalikah Anda membuka fesbuk? Jangan tanyakan ini pada istri saya. Hari-harinya adalah fesbuk. Tak peduli siang, malam, atau subuh, ia akan selalu membuka fesbuk pada kesempatan pertama. Ia tak sabar melihat apa komentar terbaru dari teman-temannya, bertukar kabar, serta saling bergosip tentang banyak hal. Secara fisik mereka terpisah jauh, namun fesbuk telah memutus jarak, mendekatkan, dan mempertemukan mereka dalam suasana hati yang sama. Fesbuk merajut kembali hubungan-hubungan yang dipisahkan oleh batasan geografis, mendekatkan yang jauh, dan menyatukan yang dekat.

istriku berpose di Pantai Lakeba, Bau-bau

Mungkin inilah fenomena hadirnya media baru (new media). Melalui media baru --saya mendefinisikannya sebagai perangkat elektronik yang meng-connect-kan Anda dengan seseorang, maka jarak sudah tidak menjadi masalah. Ketika Anda menuliskan alamat tempat tinggal, maka itu hanya sebatas tanda yang tidak seberapa penting. Di dunia fesbuk, Anda bisa menyebut berasal dari mana saja. orang-orang sudah tidak peduli karena yang terpenting adalah sejauh mana interaksi yang anda bangun dengan orang lain. Meski Anda tinggal sekota atau dekat secara fisik dengan seseorang, apalah artinya kedekatan itu ketika Anda saling berjauhan secara emosional?

Saya sering berpikir bahwa di zaman seperti ini, sudah tidak relevan kekhawatiran akan terpisah jauh. Sudah beberapa kali saya tuliskan bahwa di belahan manapun Anda berada, bahkan di ujung dunia sekalipun, Anda tidak sedang terpencil, sepanjang koneksi Anda dengan dunia global masih bisa dilakukan. Ini adalah zaman ketika ruang tidak lagi penting. Zaman yang disebut-sebut para sarjana sosial telah melahirkan borderless society, masyarakat tanpa batas. Tak perlu jauh-jauh untuk membuktikan fenomena ini. Istri saya --yang semula dikhawatirkan keluarganya karena akan pisah jauh-, justru dengan entengnya memajang foto-fotonya dan men-tag saudaranya yang saat itu juga berkomentar. Lantas, apa pentingnya bicara jarak? Saya jadi ingat kalimat sebuah pamflet yang saya lihat di Unhas, "Sudahkah Anda berfesbuk hari ini?"

Dulu, setiap kali ada yang hendak merantau, maka seluruh keluarga akan menangisinya sebab membayangkan komunikasi yang terputus. Pada masyarakat Bugis-Makassar, hingga kini masih hidup tradisi bertangisan saat mengantar keluarga yang hendak naik haji. Dulu, naik haji ibarat menempuh perjalanan berbahaya yang penuh risiko. Bayangkan, dulu orang-orang harus menempuh perjalanan dengan kapal laut, dan tiba di Mekah dalam waktu enam bulan. Perjalanan yang cukup panjang, khsusunya buat orang berusia lanjut. Inilah sebab mengapa saat mengantar keluarga yang naik haji, bertangisanlah orang-orang yang engantarnya sebab mengira akan pisah lama.

Pada masa kini, tradisi itu masih bisa ditemukan jejaknya. Saya sering geli menyaksikannya. Apa yang harus ditangisi kalau setiap saat sang calon haji bisa saling telepon untuk menanyakan kabar? Bahkan setiap jam, seorang calon haji bisa menelepon untuk menanyakan anaknya. Melalui video call, kita bisa dengan mudahnya memantau kesehatannya di sana. Jika ia sakit, dengan segera kita bisa mengontak ketua rombongan atau petugas kesehatan. Hal-hal semacam ini ibarat mimpi bagi generasi masa silam. Tapi anehnya, tradisi bertangisan saat mengantar haji, tetap dipertahankan. What? Bukankah zamannya telah lama bergeser?

Nah, kembali ke istri saya. Ketika ia memilih tinggal di sini, namun setiap detik ia bisa saling terkoneksi dengan audaranya, bisakah kita menyebut dirinya sedang merantau? Saya kira tidak. Ia sedang berpindah tempat, akan tetapi tetap terhubung dengan semua sahabat maupun keluarganya. Ia tidak sedang ke mana-mana, sebab setiap detik ia akan online dan menyapa siapapun. Setiap detik ia akan men-tag orang-orang untuk melihat foto terbarunya. Setelah itu ia cekikikan dan saling berdialog lewat fasilitas chatting.

Melihat fenomena yang dialaminya, saya sering memikirkan bahwa berbagai macam definisi dalam ilmu sosial sudah saatnya ditinjau ulang. Sudah waktunya para akademisi memikirkan ulang apa makna lokalitas, spasial (ruang), serta makna kebudayaan yang selalu dihibungkan dengan site di mana seseorang berpijak. Sudah saatnya mendefinisikan kebudayaan sebagai sebuah struktur perasaan dan pengetahuan yang menautkan semua orang baik di manapun maupun kapanpun.

Upss….!!!,… tulisan ini belum tuntas. Saya masih ingin online. Tapi di samping, sudah ada istri yang mendelik sambil berkata, “Awas! Sekarang waktunya saya yang online. Gantian! Minggir!”

3 komentar:

dwi mengatakan...

hiks....kau menjadikan diriku sebagai sampel penelitianmu. tapi atas nama cinta biarlah....

Rabani mengatakan...

he....he....karena FB kita bisa saling "menemukan" meski kita satu propinsi atau dulu satu kabupaten. Mbah Google juga cukup membantu saat itu, makasih suguhannya yang santai, Semoga segera merubah kultur masa lalu masyarakat kita yang suka menangis karena berpisah dan jarak.

nyomnyom mengatakan...

sy baru-baru ikut symposium ttg new media di london..wah riset mereka ttg fesbuk dan apa yg remaja-remaja lakukan dgn fesbuk sungguh amat jauh dr apa yg saya lakukan waktu remaja dulu, hehehe..
Digital natives...

Posting Komentar