Pernikahan Ajaib

SERING saya berpikir bahwa kesediaan untuk menikah antara dua insan adalah sesuatu yang ajaib. Betapa tidak, dua manusia yang terlahir dengan asal-usul berbeda tiba-tiba saja bersedia dipersatukan dalam satu jalinan kasih, bersama membangun konsensus untuk saling menjaga dan mengasihi, serta menguatkan komitmen untuk menumbuhkan cinta di hati masing-masing. Bukankah ajaib dan luar biasa tatkala dua insan dari latar yang berbeda tersebut tiba-tiba langsung mengkristal jadi satu? Bukankah ajaib ketika tumbuh kesediaan untuk saling menjaga, melahirkan generasi baru dan meniti di atas sebuah janji untuk sehidup semati hingga waktu menelan?


Hingga kini --bahkan menjelang nikahpun-- saya tetap merasa bahwa kesediaan itu adalah hal yang amat ajaib. Mungkin Anda atau siapa saja boleh punya alasan sendiri. Tapi sampai detik ini saya tak punya alasan. Bahkan sampai kepala ini dipaksa berpikir menemukan jawaban, tetap saja tak ada jawaban yang melintas. Semuanya terjadi begitu saja secara alamiah.

Namanya Dwiagustriani. Wanita Bugis yang dari a sampai z amat berbeda dengan saya. Titik kesamaan kami adalah kami sama-sama suka bercanda dan menulis. Kami sama-sama blogger dan terbiasa menuangkan pikiran melalui media online. Saya membangun blog pribadi, sementara dia DI SINI. Saat Kompasiana mulai hadir, kami lalu sama-sama bergabung dan meramaikan dunia kepenulisan DI SINI. Saya memilih jenis tulisan yang populer, sesuai selera pasar, namun tidak kehilangan muatan filosofis. Tidak dengannya (akunnya DI SINI). Ia masih setia dengan tulisan gaya reflektif khas dirinya. Pada titik inilah kami bertaut. Saya tak mau mendiktenya. Toh, melalui menulis kita sama-sama merayakan kebebasan.


Kami juga sama-sama menyukai petualangan. Kami suka jalan-jalan mengunjungi bangunan tua, ataupun tempat-tempat wisata yang banyak bertebaran di senatero Makassar. Meskipun saya pernah berdomisili di Jakarta dan Depok selama beberapa tahun, tetap tidak menghalangi jalinan kasih yang kami rajut sama-sama hingga kokoh. Nah, blog dan internet menjadi tempat kami bertemu, menyelami labirin pikiran masing-masing dan menemukan kalau-kalau rajutan kasih itu masih bertaut.

Sungguh, saya tidak menyangka bisa tiba pada titik ini. Di saat pernikahan kami tinggal menghitung hari, masih banyak misteri antara saya dan dia yang hendak saya sibak. Saya masih saja bertanya-tanya, mengapa pula saya harus memilih dia dan mengapa pula dia dengan entengnya bersedia menjalani hidup dengan saya. Saya bukan seorang borju, satu kelas sosial yang disebut Karl Marx sebagai kelas berpunya. Justru saya adalah seorang proletar yang saban hari sudah mengais-ngais rezeki demi melihat matahari pagi. Saya adalah seorang manusia yang tidak seberuntung mereka yang mengumpukan butir demi butir berlian. Saya hanyalah pengumpul receh demi receh untuk mengganjal hidup sehari dan keesokan harinya harus mencari-cari lagi.

Pernah suatu malam, saya sengaja memeriksa bagian belakang kepalanya. Kata seorang teman, jangan-jangan dia pernah jatuh di kamar mandi sehingga ada bagian yang korslet di otaknya. Buktinya, kok tiba-tiba saja dia mau seperahu dengan seorang pria dekil, miskin, jelek, dan hancur seperti saya. Maaf, saya tidak bermaksud untuk merendah sebab semuanya adalah fakta tentang diri saya (hiks..).

Tadinya saya pikir teman itu sedang bercanda. Tapi semakin lama dipikir, saya jadi penasaran. Jangan-jangan dia pernah jatuh sehingga mempengaruhi kejernihannya dalam berpikir serta menjatuhkan pilihan. Suatu hari, saat saya bersama dengannya, saya lalu minta izin memeriksa belakang kepalanya, pada bagian yang ditutupi rambut. Aneh, saya tak menemukan benjolan di situ.

Padahal, saya berharap teman saya benar kalau ada bagian yang korslet. Jika ada benjolan, saya bisa tahu alasan mengapa dia memilih saya. Tapi dengan tidak adanya bejolan itu, maka alasan apa pula yang kira-kira menggerakkan hatinya untuk memilih saya? Ah... saya tak punya satupun jawaban selain kata ajaib. Iya khan?


Dia memilih saya karena ada sesuatu yang ajaib telah menggerakkan hatinya, menggoyahkan imannya, menggetarkan seluruh jiwa raganya, membersitkan sesuatu dalam batinnya bahwa sayalah sosok terpilih yang bersamanya kelak akan mengucap janji suci di atas altar pernikahan. Ada sesuatu yang ajaib telah berbisik dalam jiwanya bahwa sayalah yang akan menemaninya menerabas semua onak dan duri-duri kehidupan untuk menemukan satu jalan yang lempang tempat dirinya mengukir sebuah prasasti keabadian sebagai pertanda kepada zaman mendatang bahwa dirinya pernah ada.

Bahwa sesuatu yang ajaib itu pulalah yang menggerakkan dirinya untuk menentukan semua pilihan. Sesuatu yang ajaib telah menuntunnya untuk tiba pada satu pilihan bahwa sayalah yang kelak membantunya menelusuri labirin kehidupan, dengan lentera yang sama kami pegang, meskipun sesekali tertatih dalam kegelapan. Perahu cinta kami akan melewati hadangan dan gelombang samudera kehidupan, dan akan diuji sejauh mana daya tahan kami melalui semuanya. Kami adalah nakhoda kehidupan yang bermodalkan nekad namun berani mengarungi samudera dengan komitmen kecil yang kami ikrarkan di pantai sebelum menaikkan layar.

Alam semesta (terserahlah jika kamu hendak menyebutnya Tuhan) telah mengatur semuanya. Kasih kami bertaut, membelit, dan disuburkan oleh keajaiban-keajaiban kecil. Kini, tanaman cinta yang dahulu hanyalah sebuah kecambah, telah memasuki fase yang amat membahagiakan. Kami telah tiba pada titik ini yakni membangun sebuah komitmen dalam altar suci pernikahan. Wow,…. Bukankah ini sesuatu yang ajaib?

2 komentar:

Anonim mengatakan...

kapan acara di bau-bau ?

Meike Lusye Karolus mengatakan...

Seorang Poseidon yang akhirnya bersatu dengan Perahu Kertasnya...^^

Posting Komentar