Orang Korea di Bau-Bau

SELAMA beberapa minggu ini, kota kecil Bau-Bau dibanjiri warga Korea Selatan. Hari ini saya datang menghadiri Festival Perairan pulau Makassar (FPPM). Saya terkejut menyaksikan banyaknya pemuda dan pemudi korea yang menghadiri acara tersebut. Mereka cantik-cantik dan menyolok. Kulitnya putih bersih, dan banyak di antara gadis-gadis yang mengenakan celana pendek. Napas saya sempat tertahan melihat seorang gadis Korea yang sepintas wajahnya mirip Sandra Dewi. Cantik sekali. 


Mereka juga tidak sombong. Mereka siap dipotret dengan siapa saja. Bahkan, saat menghadiri acara pesta adat Cia-Cia, mereka juga tak malu-malu mencicipi makanan yang disajikan di talang haroa . Seorang teman menjelaskan kalau mereka adalah mahasiswa Korea yang sedang melakukan tugas lapangan di Bau-Bau. Jumlahnya 90 orang. Mereka didampingi sejumlah professor dan dosen senior. Sayangnya, saya belum sempat ngobrol banyak dengan mereka. Saya hanya memotret saja.

Saya teringat, sekitar tiga minggu lalu saya diwawancarai Professor Song Seung Won, perempuan muda yang menjadi professor sejarah di Sogang University. Orangnya sangat energik dan penuh dedikasi. Minggu ini kembali saya menemani pria Korea bernama Fernando Ahn, seorang jurnalis di Yonhap News Agency. Baik Prof Song maupun Ahn sama-sama muda dan penuh dedikasi pada pekerjaannya. Dari mereka, saya bisa belajar banyak hal.

Prof Song mengajarkan saya akan dedikasi pada proses ilmiah. Bahasa Indonesianya lancar. Saya melihat langsung bagaimana kerja kerasnya untuk mengumpulkan data, menganalisis fakta-fakta yang dia temukan, hingga membantunya mengumpulkan beberapa literature. Ia mewawancarai banyak orang dan dengan openuh disiplin, ia mentranskrip semua catatan tersebut. Tak tanggung-tanggung, ia mengkopi beberapa referensi yang saya miliki, termasuk tesis saya yang membahas tentang stigmatisasi orang Buton sebagai anggota PKI. Beberapa kali saya membuat janji dengannya. Dan ia selalu menepati janji. Bahkan, saat ia memperkirakan akan terlambat lima menit dari janji awal, ia akan menelepon saya untuk memberitahu situasinya.

Demikian pula dengan Ahn yang kemarin saya temui. Awal perkenalan dengannya unik juga. Ia sedang mengambil gambar acara Mata’a di Sorawolio. Ia memakai kopiah serta baju koko. Mulanya saya mengira ia adalah jurnalis Koran nasional. Saat itu, saya pun datang memotret. Saya bertanya, “Apakah acara ini sudah lama?” Ia lalu menunjukkan raut wajah tak mengerti. Ia mengajak saya berbincang dengan bahasa Inggris. Saya lalu meladeninya. Ia mengambil alat tulis dan mulai mewawancarai saya. Sebagai mantan jurnalis, saya paham betul kalau ia suka dengan hal-hal yang controversial. Mulailah saya melempar ide-ide gila. Saya katakan bahwa saat ini ada semacam kekhawatiran tentang tergerusnya budaya Buton oleh budaya Korea. Ia tersentak. Ia melihat saya seperti pandangan seorang jurnalis yang melihat peristiwa besar dan layak menjadi headline.

Ia mewawancarai saya selama dua jam. Ia senang dengan jawaban saya yang terbuka dan tidak serta-merta menerima sesuatu secara apa adanya. Saya juga suka dengan pandangan-pandangannya. Ia memprotes relasi yang menurutnya tidak seimbang antara Buton dan Korea. Mestinya, kata Ahn, orang Korea juga belajar banyak hal tentang Buton. “Masak, di acara pesta adat mata’a, gadis-gadis korea itu malah ngerumpi. Pakaiannya juga seksi. Padahal ini acara Islam. Acara kultural yang semestinya dihormati sebagaimana layaknya,” katanya dalam bahasa Inggris dengan aksen Amerika.

Saya cepat akrab dengan Ahn. Ternyata, ini adalah penugasan pertamanya ke luar negeri. Dan ini juga adalah pengalaman pertamanya menginjakkan kaki di Asia Tenggara. Makanya, ia merasa surprise saat pertama ke Bau-Bau. Tak seperti warga Korea lainnya –yang mungkin tak mau mengkritik secara terbuka--, Ahn banyak mengkritik suasana di Bau-Bau. Mulai dari jalanan yang penuh motor dan semrawut, hingga kesejahteraan warga yang menurutnya harus ditingkatkan. Tapi ia juga fair saat mengkritik perilaku warganya sendiri yang kadang tak menghargai adat setempat.

Malamnya, kami kembali janjian di hotel. Kali ini saya mengajak Nasruddin, seorang sahabat yang akan diwawancarai mengenaik kerjasama Korea-Baubau. Ahn memperkenalkan saya dengan dua temannya. Seorang di antaranya mirip Park Ji Sung, pesepakbola andalan Korea Selatan. Saat wawancara, ia menyalakan kamera. Katanya, hasil rekaman tersebut akan tayang di televisi Korea. Wah, saya sumringah juga saat membayangkan kalau wajah ini akan tampil di tivi Korea. Hehehe…

Selama wawancara, Ahn menulis dengan cepat di laptopnya. Ia menuliskan setiap detail yang saya dan Nasruddin kemukakan. Pertanyaannya kritis dan beberapa kali buat saya terdiam. Kesulitan saya adalah kadang-kadang ada kosakata tertentu dalam bahasa Inggris yang belum saya kuasai. Tapi secara umum, wawancara itu sukses dan berjalan lancar, meskipun ada saat di mana kami tidak saling memahami karena problem bahasa. Setelah ngobrol selama kurang lebih dua jam, saya lalu pamit pulang.

Nah, kali ini saya menemukan kesamaan dengan Prof Song. Ia meminta waktu untuk mentraktir saya di rumah makan yang bebas saya pilih di mana saja. Dulu, Prof Song juga ingin mentraktir usai wawancara. Sekarang Ahn juga melakukan hal yang sama. Dengan senang hati, saya menyanggupinya. Pulang dari situ, saya membayangkan hendak makan di mana. Ah.. bingung nih. Pokoknya saya ingin ditraktir di temppat yang paling enak dan mahal. Namanya juga traktir. Hehehe…


Senin, 19 Juli 2010

1 komentar:

dwi mengatakan...

nanti kenalkan y sama temen2 koreanya....

Posting Komentar