Surat buat Kekasih

Kekasih …. Cinta ini adalah milik kita. Bukan milik mereka yang selalu mempertegas tentang status sosial dan gengsi. Kitalah yang merasakan indahnya cinta. Bukan mereka yang hanya bisa mempertentangkan ukuran-ukuran dirinya. Kita terkepung oleh dua tradisi serta keyakinan yang berbeda. Kita adalah pelanduk di tengah dua gajah kebudayaan yang bertarung. Kita hanya penonton dari mereka yang saling unjuk gigi dan meneriakkan kata aku hingga memekakkan telinga. Kita adalah penonton yang setiap saat bisa terjepit dan lemas di tengah. Saya mengkhawatirkan perasaan kita yang sama-sama akan jadi korban dari pergulatan ini.

Kekasih …. Kita tak mesti membenci mereka semua. Mereka menyayangi kita dengan caranya sendiri-sendiri. Kita dan mereka sama-sama dipandu oleh logika dan rasionalitas masing-masing. Logika dan rasio telah mengalami pendefinisian ulang. Toh, apa yang disebut logika tak lebih dari pengabsah atas konsep berpikir kita masing-masing. Entah apa mereka paham tentang logika kita. Dan entah, apakah kita juga paham dengan logika mereka.

Yang pasti, kita adalah anak kandung dari dua tradisi yang sedang berhadapan. Tapi kita punya dunia sendiri. Kita hidup dalam sebuah rasa. Semesta indah semerbak yang menganak sungai dan di dalamnya berenang ikan-ikan kebahagiaan yang berkecipak di dasar hati kita. Kita sama-sama tumbuh dalam tunas-tunas cinta yang kuncupnya merekah di pagi hari dan semerbak dengan keharuman tiada tara. Keharuman yang hanya bisa kita rasakan dan nikmati sama-sama.

Kekasih …. Mungkin tak ada yang memahami apa yang sesungguhnya berkecamuk dalam diri kita, apa rasa yang mengalir di sela-sela hati ini. Bukankah dulu tak ada juga yang sanggup memahami apa yang menjalar di hati San Pek ketika melihat Eng Thay? Atau saat Jayaprana melihat Layonsari, atau saat Syamsul Bahri memandang Sitti Nurbaya? Merekalah para martir yang mendedikasikan hidupnya di jalan cinta. Merekalah pencinta yang tidak dipahami oleh zamannya. Di dasar hati mereka mengendap sebuah sungai yang hanya bisa dimaknai mereka sendiri. Bukankah rasa bahagia itu untuk dipendam dan tak pernah benar-benar bisa dibagi?

Kekasih … izinkan aku untuk tetap menyayangimu dalam segala ketidakberdayaan ini. Izinkanlah aku mencintaimu dalam segala mati rasa dan lumpuh yang menjalari kakiku. Biarlah kita sama-sama menjadi abu atas apa yang menyala dalam diri kita. Biarlah kita sama-sama menjadi awan yang tersaput oleh hujan hingga tak berbekas.

Kekasih… aku merinduimu…


3 komentar:

dwi mengatakan...

dwi di sini dan selalu mencintaimu.....

atun mengatakan...

saya turut sedih kakakku, tapi yakinlah jika semua jalan sudah menanjak maka dibelokan yang berikutnya pasti akan menurun.

Anonim mengatakan...

sabar ya..moga kanda yusron dan mbak dwi akan segera merengkuh kebahagiaan itu..

Posting Komentar