PRIA itu meneteskan air mata saat duduk berdoa di satu kamar penjara di Mexico. Narapidana kasus narkoba itu tidak sedang mengenakan baju. Lengannya berotot dan nampak sebuah tato bergambarkan sosok seperti elmaut bersenjatakan arit. Sang elmaut itu memakai jubah yang menutupi kepalanya, namun menampakkan wajahnya yang seram. Wajahnya adalah tengkorak yang sedang menyeringai. Pria itu sedang berdoa di hadapan patung seram itu, patung La Santa Muerte, sang Dewa Kematian.
Saya tidak sedang menyaksikan langsung saat-saat ketika pria itu berdoa. Saya hanya membaca artikel tentang pria tersebut dalam edisi terbaru National Geographic (Mei 2010). Dalam tulisan berjudul Jiwa Yang Terusik karya Alma Guillermoprieto, terselip kisah-kisah tentang para narapidana Mexico yang menciptakan Tuhan baru demi merestui dan melindungi semua aktivitas yang mereka lakukan. Mereka adalah pedagang dan bandar narkoba. Mereka menciptakan dan menyembah sosok La Santa Muerte, sosok yang diyakini membawa mukjizat, melindungi mereka dari bahaya, dan tidak bersedia menyiksa mereka di hari akhir nanti.
Saya tersentak membaca liputan ini. Saya lebih terkejut lagi saat membaca reaksi warga Mexico yang melihat fenomena itu sebagai fenomena yang biasa saja, tanpa harus meributkannya sebagai bentuk penyimpangan atas religiusitas yang disahkan negara. Saya bisa membayangkan apa yang terjadi jika “penyimpangan” tersebut terjadi di negeri ini. Pastilah amarah massa akan segera mengalir. Dan pemerintah akan segera menjadi pahlawan yang hendak meluruskan ajaran sembari memenjarakan mereka yang punya pikiran berbeda tersebut.
Patung La Santa Muerte, Dewa Kematian yang disembah orang Mexico |
Artikel itu cukup mengejutkan. Malah, dalam artikel itu juga disebutkan sososk-sosok lain yang disembah para pedagang narkoba, seperti sosok Jesus Malverde hingga St Yudas. Mereka menciptakan sosok baru di luar pakem agama resmi, kemudian menjadikannya sebagai Tuhan yang selalu membenarkan semua aktivitas yang mereka lakukan. Mengapa ini bisa terjadi? Penulis artikel lalu mengutip pernyataan seorang antropolog Jose Luiz Gonzalez, “Tekanan emosional dan ketegangan hidup saat krisis menyebabkan orang mencari tokoh simbolis yang dapat membantu mereka menghadapi bahaya.”
Mungkin masyarakat modern sedang tertekan secara emosional. Keinginan kuat untuk hidup sejahtera serta beban hidup untuk lepas dari belenggu kemiskinan adalah kekang baru atas diri manusia modern. Dalam keadaan tertekan tersebut, nabi-nabi atau santo abad pertengahan mulai kehilangan suara yang menggetarkan. “Mereka hanya mengajarkan kepasrahan,” kata seorang warga. Tuhan yang disebut dalam aneka kitab suci tidak lagi merestui jalan kejahatan yang mereka pilih. Mereka lalu menciptakan Tuhan baru, Tuhan yang melindungi mereka, apapun yang mereka lakukan. Tuhan yang bersedia memberikan jalan keselamatan, meskipun jalan yang mereka pilih adalah jalan yang dikutuk para penganut agama resmi yang disahkan negara. Namun, bukankah agama terletak di hati yang senyap? Bukankah agama adalah suara-suara yang selalu membisikkan bahagia dalam sanubarimu ketika sedang tertekan?
Minggu ini saya beberapa kali membaca artikel tentang fenomena agama baru ini. Saya juga membaca artikel di Majalah Total Film tentang para penganut agama The Force yang terinspirasi dari film Star Wars. Dalam film besutan George Lucas ini, para ksatria Jedi –jagoan dalam film ini—meyakini adanya The Force sebagai kekuatan yang menggerakkan alam semesta. Sosok jagoan dalam film ini seperti Obi Wan Kenobi, Master Yoda, hingga Anakin Skywalker adalah sosok-sosok yang meyakini bahwa The Force adalah penyangga dari mesin besar bernama semesta. The Force mengalirkan energi tak terbatas pada diri setiap orang, memberikan kekuatan, dan mengalahkan kelaliman. Saya terkejut saat mengtetahui bahwa di Inggris, terdapat 390.000 fans film Star Wars yang mendaftarkan ‘The Force’ sebagai agama mereka dalam sensus tahun 2001. Jumlah ini jelas lebih besar dari pemeluk Yahudi, Sikh, ataupun Buddha. Para penganut The Force sering menggelar pertemuan yang mencakup meditasi, teori Jedi, hingga latihan menggunakan lightsaber. Ciri mereka adalah seragam berupa kaos dan celana jeans warna hitam.
Master Yoda dalam film Star Wars |
Entah, apakah ini disebut agama atau sekte. Saya sendiri tak terlalu paham perbedaan keduanya. Saya hanya melihat ini sebagai fenomena global. Tak hanya terjadi di luar negeri saja, namun banyak terjadi di negeri kita sendiri. Kita sering menemukan agama baru dan nabi baru, yang segera ditumpas oleh negara. Yang menarik adalah mengapa sampai lahir keyakinan baru? Apakah juga karena tekanan hidup serta tiadanya jawaban dari agama-agama resmi atas problem kehidupan dan upaya untuk mengatasinya? Kita bisa mengajukan banyak hipotesis untuk menjawabnya. Tapi fenomena agama baru jelas menunjukkan tumbuhnya religiusitas dan jiwa-jiwa yang senantiasa ingin menemukan kebenaran, namun tidak menemukan janji keselamatan pada agama-agama tradisional yang terlanjur ada. Ternyata ada sesuatu dalam diri manusia yang mengidealisasi kesempurnaan dalam keyakinan-keyakinan serta kepercayaan yang datang, meskipun keyakinan itu disaksikannya hanya dalam film seperti Star Wars.
Tumbuh dalam Peradaban
Sejatinya, apa yang kita lihat sebagai keyakinan baru ini juga tumbuh dalam rentang panjang peradaban manusia. Sosiolog Emile Durkheim pernah mengamati agama suku Aborigin di Australia. Dalam buku The Elementary Forms of the Religious Life, Durkheim menemukan aspek penting dalam agama yakni pemisahan antara dunia—akhirat dan pembedaan antara hal-hal yang suci (sacred) dan hal yang nyata (profane). Tapi ia menolak pandangan yang melihat kesucian itu adalah spiritualitas. Buktinya, kata Durkheim, beberapa masyarakat Aborigin justru menyembah kanguru, sesuatu yang nyata dan bisa disaksikan.
Pada akhirnya, apa yang disebut agama berpulang pada tafsir yang menyejarah pada diri seorang individu. Ada satu dimensi dalam agama yang sukar dijelaskan yakni kepercayaan dan keyakinan. Sebab dimensi ini tak melulu lahir dari rasionalitas atau ikhtiar menemukan kebenaran. Anda bisa menetrtawakan masyarakat Aborigin yang menuhankan kanguru sebab kanguru sendiri adalah hewan yang penuh keterbatasan. Tapi, anda tak akan pernah bisa memahami logika berpikir tersebut hingga anda menjadi warga Aborigin dan meyakini bahwa kanguru punya sesuatu yang dahsyat dalam konsepsi mereka. Kita hanya bisa berempati, tanpa memahami persis sebab terhalangi batas rasionalitas yang sebagai konsepsi yang memandu cara berpikir kita sendiri.
Nah, Tuhan sebagaimana diyakini para bandar narkoba ini adalah sesuatu yang bisa sangat spiritual sebagaimana La Santa Muarte atau Dewa Kematian. Bisa juga Tuhan dalam pengertian sosok bandar legendaries yang pernah terbunuh seperti Jesus Malverde. Semuanya adalah jalan keselamatan yang sengaja dipilih demi menentramkan hati, menguatkan keyakinan bahwa di tengah masalah seberat apapun, Tuhan selalu menemani. Mereka yakin bahwa Tuhan tak pernah meninggalkan mereka sebab Tuhan berdiam dalam hati.
Makassar, 7 Mei 2010
0 komentar:
Posting Komentar