Mereka yang Tinggal di Kuburan

BOCAH kecil bernama Ros (5) itu tiba-tiba saja mengantuk. Sang ayah, Daeng Kulle (45) lalu menggendongnya dan membaringkan pada sebuah kuburan yang beratap di kompleks Pekuburan Kristen di Panaikang, Makassar. Ia sempat menunggui anaknya selama beberapa saat, kemudian kembali bergabung dengan istrinya yang memegang karung plastik putih. Mereka baru saja menyusuri kawasan sekitar Panaikang demi mengumpulkan sedikit demi sedikit gelas plastik aqua. Mereka adalah pemulung -- dalam bahasa Makassar disebut payabo—yang saban hari mengais-ngais sampah demi menemukan benda yang bisa dijual.


Hari ini saya bertemu dengan Daeng Kulle saat singgah membeli es teler di dekat pekuburan Panaikang itu. Saya duduk tidak jauh darinya yang sedang mengaso bersama anak istri. Kami lalu berbincang akrab seolah sudah lama saling mengenal. Ia bercerita tentang pekerjaannya sebagai pemulung yang sering dituduh mencuri sandal. Pernah pula ia dikejar warga kompleks Maccini karena dikira mencuri jemuran. Padahal ia tidak pernah mencuri apapun. Setiap hari ia berkeliling di seantero Kota Makassar demi memeriksa semua sampah, kalau-kalau ada benda berharga yang bisa dijualnya. Ketika sore menjelang, ia lalu kembali ke Panaikang dan berkumpul kembali dengan anak istrinya, termasuk Ros, si bungsu yang paling dikasihinya.

Saya masih terkejut menyaksikan adegan ketika ia menidurkan anaknya di kuburan itu. Saat tanya di mana ia bermalam bersama Ros dan istrinya, Daeng Kulle tiba-tiba terdiam. Mulanya ia tak mau menjawab. Setelah saya bertanya lagi, barulah ia mau buka suara. Ia menjawab lirih. Saya terkejut. Mereka tinggal di kompleks Pekuburan Panaikang itu. Mereka tidur di atas makam yang diatapi.

Kali ini saya yang terdiam. Saya membayangkan bahwa negeri ini telah puluhan tahun merdeka. Telah berulang kali berganti pemimpin yang sarat dengan retorika tentang kesejahteraan rakyatnya. Konstitusi kita juga mengamanahkan peningkatan kesejahteraan rakyat. Bahkan pemimpin di Sulsel ini sudah berganti-ganti dan sama-sama membawa retorika kesejahteraan. Namun ternyata masih ada juga sosok seperti Daeng Kulle yang rumahnya adalah kuburan. Masih ada juga sosok yang hidup miris dan bekerja sebagai pemulung. Masih ada pula sosok Daeng Kulle yang mengais-ngais sampah demi sesuap nasi yang entah, apakah itu cukup sebagai nafkah keluarganya atau tidak. Tiba-tiba saja, saya berempati dengan Daeng Kulle. Saya bisa merasakan kehidupan yang dijalaninya.

Saya melihat sekeliling. Kompleks kuburan Panaikang ini terdiri atas tiga bagian. Pertama adalah taman makam pahlawan. Konon, di situ telah dikuburkan para pahlawan yang dahulu mendedikasikan hidupnya untuk orang banyak. Makanya, kompleks taman makam pahlawan itu tampak rapi, berpagar tembok dan senantiasa tertutup. Kedua, kuburan Islam. Di sinilah terbaring para rakyat biasa. Dan di antara rakyat biasa itu, tersembul makam Jenderal M Jusuf, mantan Panglima TNI yang menolak dikuburkan di taman makam pahlawan. Ketiga, kuburan Kristen dan kuburan Cina yang terletak di seberang jalan.


Di antara ketiga kuburan tersebut, hanya kuburan Kristen dan kuburan Cina yang kebanyakan makamnya diatapi. Malah, banyak pula makam yang dipagari. Entah, apakah ini merupakan adat ataukah bukan, yang jelas, makam berpagar dan beratap ini telah menjadi tempat berteduh bagi para pemulung dan para pengemis yang bertebaran di banyak ruas jalan Kota Makassar. Menurut Daeng Kulle, ia menempati salah satu kuburan di situ belum terlalu lama. “Baru sekitar setahun,” katanya.

Mulanya, ia adalah seorang petani garam di Jeneponto, salah satu kabupaten di Sulsel yang berjarak beberapa puluh kilometer. Dikarenakan penghasilannya yang minim, ia lalu banting setir ke Makassar dan mencoba berbagai pekerjaan. Ia bukan seorang tipe pemalas yang saban hari cuma duduk diam di rumah. Mulanya ia menjadi tukang becak. Selanjutnya ia menjadi kuli bangunan. Terakhir, ia menjadi pemulung dengan penghasilan sebesar Rp 10.000 per hari. Perbincangan kami lalu berakhir.

Malamnya, saya singgah ke kompleks pekuburan ini. Saya ingin melihat langsung bagaimana suasananya di malam hari. Baru memarkir motor, saya sudah disapa seorang waria yang berpenampilan menor. “Om, marimi. Nda mahalji,” katanya dengan logat Makassar yang kental. Lho, ini kan kuburan? Apa gak takut? “Kalau Om mau, nanti kita bisa main di kuburan sana,” katanya manja sambil menunjuk ke satu titik.

Ternyata, kuburan Panaikang bukan saja menjadi tempat bermukim para pengemis dan pemulung. Tapi para waria juga memanfaatkannya sebagai tempat membuka praktek prostitusi. Ada begitu banyak orang yang melewatkan malam di kuburan ini. Tempat ini tidak saja untuk mengubur kerabat yang sudah meninggal, namun sekaligus menjadi tempat yang memberikan penghidupan bagi sedemikian banyak orang termasuk para pemulung, para pengemis, dan para waria. Mereka-mereka yang sudah meninggal dan dikubur di sini, masih memiliki andil untuk menyelamatkan yang hidup, pada saat mereka yang berkuasa tidak peduli dengan nasib sebagian warganya. Kuburan ini menjadi tempat berdiam, menjadi saksi dari kemiskinan warga Makassar, yang tengah mengklaim dirinya sebagai gerbang kawasan timur nusantara.

Sekitar dua tahun lalu, semua media mencatat tragedi ketika seorang perempuan bernama Daeng Basse tewas bersama bayi yang dikandungnya gara-gara tidak makan selama tiga hari. Ini adalah tragedi yang memalukan. Memalukan karena terjadi di Makassar, kota yang menjanjikan banyak peluang dan kesempatan bagi warga. Makassar telah dipilih oleh Basrie, sang suami, untuk mempertaruhkan nasibnya dengan bekerja sebagai tukang becak. Istrinya yang telah meninggal akhir pekan lalu, Daeng Basse, sehari-hari bekerja sebagai tukang cuci. Mereka meninggalkan desanya di Kabupaten Bantaeng dengan harapan di Makassar hidupnya yang dikungkung kemiskinan teratasi.

Tragedi keluarga Basri tidak semata kagagalan Makassar memberinya kesempatan memperoleh beras dan sayur untuk bertahan hidup. Tragedi keluarga Basri menjadi ironi terhadap institusi pemerintahah dan segala aparaturnya yang gagal mendeteksi sebuah keluarga yang tidak makan selama tiga hari akibat ketidakmampuan membeli beras dan sayur.

Beberapa tahun lalu, saya pernah membaca buku etnografi warga miskin Brazil berjudul Death Without Weeping karya Nancy Scheper Hughes. Buku itu berkisah tentang kekerasan dan perlawanan yang dihadapi warga miskin Brazil dalam bertahan hidup. Diceritakan pula tentang tempat bermalam para warga miskin itu di kuburan-kuburan para mafia yang rata-rata beratap di Brazil.

Sungguh, saya tidak menyangka bahwa fenomena demikian bisa pula ditemukan di Kota Makassar. Kemiskinan menjadi sesuatu yang amat menggiriskan, namun sering ditampik dalam retorika pemerintah yang sering berakrobat data-data statistik. Malam ini, saya menyaksikan langsung satu fragmen kemiskinan. Saya juga menyaksikan langsung siasat bertahan para warga miskin yang memilih untuk bermalam di kuburan. Mereka bertahan hidup di kuburan itu sembari menganyam harapan tentang para pemimpin yang lebih peduli dengan nasib mereka.(*)


Makassar, 9 Mei 2010

0 komentar:

Posting Komentar