Pelacur yang Rajin Salat

ilustrasi

MUSIK masih hingar-bingar dan berdentam keras di ruangan itu. Sebegitu kerasnya hingga gendang telinga ini serasa ditusuk-tusuk. Saya masih duduk di satu sudut bar yang cukup populer di Makassar bersama Max (28) --sahabat sesama warga timur Indonesia. 

Kami berdua ditemani Ningsih, salah satu kekasih Max di bar itu. Entah, saya tak pernah menghitung ada berapa jumlah kekasih Max di sejumlah diskotik yang selalu dikunjunginya. Kata teman, di setiap diskotik, Max punya kekasih. Saya sudah pernah menuliskan pengalaman menemani Max. Lihat DI SINI.

Di kota Makassar ini, diskotik banyak berserakan di sekitar pelabuhan yang hiruk-pikuk. Keberadaan diskotik dan bar menjadi nadi warga kota, khususnya mereka yang lelah dengan rutinitas melelahkan di siang hari untuk mengumpulkan uang. Di tempat seperti ini, saya sering mengingat sosiolog Daniel Bell. 

Katanya, manusia punya kontradiksi. Di siang hari bekerja keras dan efisien demi uang, namun di malam hari, manusia bisa menghabiskan uang dengan mudahnya. ”Ini kontradiksi antara ekonomi dan budaya yang cenderung butuh pelepasan," kata Bell. 

Bagi saya, Bell hanya melihat para pengunjung bar atau diskotik. Ia tidak melihat bahwa bagi wanita seperti Ningsih, malam hari adalah arena untuk mengumpulkan pundi-pundi uang dari pria hidung belang seperti Max.

Ini adalah pertama kalinya saya mengenal Ningsih. Kulitnya putih bersih, pertanda ia rajin merawat tubuh. Saya selalu menahan napas setiap melihat pakaiannya yang minim dan menampakkan keseksiannya. Kakinya menyembul. Dadanya membusung. Putih. Saya tak mau memandang ke arah dada itu. Rambutnya sebahu dan nampak terawat. Lurus memanjang dan menutupi lehernya yang jenjang.

Dandanannya jauh dari kesan menor, tanpa polesan di wajahnya yang putih. Dalam pelukan Max yang hitam legam itu, ia sesekali curi pandang ke arahku. Saya pun sesekali memandangnya, namun pandangan segera dialihkan ke sejumlah pria tua bangka yang tanpa malu berjoget di tengah bar tersebut. Saat Max pergi berbincang dengan seorang teman di situ, Ningsih lalu merapat. Tapi saya berusaha tetap menjaga jarak. Kami lalu berbincang.

Usianya baru 23 tahun, namun sudah menyandang status janda. Suaminya selingkuh dengan gadis lain, sehingga Ningsih nekad minta cerai. Anaknya lalu dititip pada orangtuanya, dan setiap bulan ia menyisihkan penghasilannya untuk biaya perawatan anaknya. 

Tanpa saya minta, ia terus berceloteh tentang jalan nasib yang tak pernah disangkanya. Tapi, ia menerimanya sebagai takdir yang tak terelakkan. Saya salut dengan keberaniannya menantang nasib. Setidaknya, ia bisa mandiri di tengah berbagai cibiran orang lain atas profesi yang sedang digelutinya.

Kami mulai akrab. Seakan mulai terbangun jembatan kesepahaman di antara kami. Saya tak mau latah membenci perempuan seperti Ningsih. Malam ini, saya memberanikan diri untuk menggenggam jemarinya yang sedingin es. Ia tersenyum riang saat sesekali menatap ke mata saya. Ia menghembuskan rokok ke wajah saya hingga beberapa kali terbatuk-batuk. Ia lalu cekikikan melihat tingkah saya.

Entah kenapa, kami tiba-tiba saja membahas tentang agama. Ia langsung bersemangat, namun tiba-tiba saja ia tersentak. Tema pembicaraan menjadi hambar. Ia gelisah dan sesekali melihat penunjuk waktu di lengannya. 

Sejurus kemudian, ia lalu minta izin beberapa menit untuk keluar ruangan. Sekitar 20 menit berikutnya ia datang. Wajahnya berseri dan nampak lebih cerah.

"Dari mana?" tanyaku.
"Dari salat,"
"What? Apa saya tak salah dengar?”

”Tidak Bang. Saya serius.”

”Jadi, kamu masih tetap menjaga salat?"
"Iya. Meski sering bolong-bolong, tapi saya tetap berusaha untuk salat selagi sempat,"
"Trus, kalau kamu salat, apa kamu tahu kalau profesi ini sangat jauh dari sikap salat itu?"
tanyaku dengan sok moralis.
"Iya saya tahu. Tapi, saya tak punya pilihan. Tanpa beginian, saya dan anak saya akan makan apa?" tanyanya.

Saya lama terdiam sembari memainkan jemarinya. Saya tak mampu menjawab pertanyaan terakhirnya. Mungkin inilah yang disebut paradoks. Antara salat dan profesi sebagai ladys night di satu bar --yang setiap malam minum minuman beralkohol serta melayani nafsu pria seperti Max-- adalah dua sisi kutub yang saling berjauhan. 

Tapi, Ningsih tetap menjaga keduanya dengan seimbang. Bekerja di bar adalah ladang mencari nafkah. Namun, kewajiban salat tetap dijaganya, meskipun ia tahu konsekuensi dosa atas pekerjaannya. 

Tiba-tiba saja, saya jadi bertanya pada diri saya sendiri, apakah gerangan yang disebut dosa? Bisakah disebut dosa ketika seseorang memilih suatu profesi demi memberi kehidupan bagi manusia lain? Bukankah Ningsih sedang menyakiti dirinya sendiri dengan profesi itu?

”Abang masih sering salat?” tanyanya.
”Saya lama tak salat,”
”Kenapa Bang?”

”Entahlah. Saya tahu itu penting. Tapi tubuh ini seolah kaku untuk salat,”

”Abang gak takut dosa?”
”Saya tak tahu apa itu dosa,”

”Ningsih takut dosa. Tapi, saya kan juga butuh hidup,” katanya

Kembali saya terdiam. Saya lalu merenungi diri saya. Pertanyaan Ningsih adalah tudingan yang membuat saya tak berkutik. Mungkin, saya sudah terlampau jauh dari Tuhan sehingga sudah jarang menegakkan perintah-Nya. Mungkin saya terlampau jauh berjalan mengembara dan berkubang di ranah pemikiran berbagai ideologi, tanpa sempat menegakkan lagi pilar keyakinan yang saya peluk sejak kecil. Saya jauh tersesat.

Malam ini, Ningsih menjadi embun yang membasahi dasar hati saya yang kering. Sungguh saya tak menyangka bahwa di tempat yang hingar-bingar seperti ini, spiritualitas adalah sesuatu yang bisa ditemukan pada jiwa-jiwa yang memang mencarinya. 

Saya tak hendak mendefinisikan spirituaslitas sebagai setumpuk doktrin dan keyakinan yang harus dilaksanakan dengan patuh. Saya mendefinsikan spiritualitas sebagai mercusuar yang secara perlahan memandu seseorang untuk tetap menemukan jalan pedang kebenaran. 

Bagi perempuan seperti Ningsih, spiritualitas adalah sesuatu yang memandu gerak dan kejernihan memandang bahwa tetap saja ada yang disebut dosa, dan tetap saja ada yang disebut kebenaran. 

Dengan kesadaran utuh bahwa profesinya itu adalah dosa, ia sudah bertransformasi menjadi sosok yang sedang menggelapkan diri, namun tetap melihat setitik cahaya di seberang sana. Ia jauh lebih baik dari saya yang hingga kini tersesat di jalur gelap, tanpa melihat setitik cahayapun di seberang sana. Tanpa menjemakan pengetahuan itu ke ranah praktis.

Saya tak mau sok moralis. Namun, pepatah ”don’t judge the book from the cover” seakan menari-nari di depan mata saya. Mungkin selama ini saya terlampau rendah memandang perempuan seperti Ningsih. Padahal, di balik realitas itu, terdapat sosok yang tengah berjuang keras memberi kehidupan bagi tubuh kecil di seberang lautan sana. 

Di balik tubuh yang cantik itu, terselip sosok yang gigih mempertahankan keyakinannya, meskipun ia sendiri menyadari paradoks hidup tentang benar-salah atas apa yang dilakoninya. Malam ini, ia menjadi embun atas hati saya yang kering-kerontang. Malam ini ia menjadi guru yang mengatasi dahaga saya atas pencarian akan kebenaran.

Saya lalu memandang Ningsih dengan tersenyum. Ia lalu mengenggam jari saya dan merebahkan kepalanya ke pundak ini. Baunya harum menyengat. Saya kembali menahan napas dan memandang ke tengah-tengah bar itu. Saya melihat Max sedang berciuman di satu sudut. 

Ups....!! kembali saya alihkan pandangan saya.




20 komentar:

Anonim mengatakan...

assalam, kak... keren skali tulisan ta.. tapi kayaknya setting cerita dgn fotonya ndk relevan deh, hahaha... di Tempat yg di tunjukkan foto ta itu, ndk ada yg namanya ningsih, hahaha... n ndk ada tempat joget2 nya....

hahaha...
ayoooo.... ka yusran jie....

suka ku baca2 blog ta kak..

Yusran Darmawan mengatakan...

hehehe... ini siapa?

Anonim mengatakan...

ayo lah kak... jangan sampe jurnalisme investigasi terkontaminasi dengan imajinasi.. dan dramatisasi....

tempat itu bernama VB, sebuah tempat dengan jaringan hotel an travel yg saling menunjang, letaknya hampir di ujung jalan nusantara, izin kegiatannya adalah panti pijat n penjualan minuman keras... 3 gadis yg tampak jelas di foto itu ber inisial W, K, D....

hahaha...

Yusran Darmawan mengatakan...

hehehe... jawab dulu dong. ini siapa?

Anonim mengatakan...

saya punya jaringan lengkap alur gadis2 psk di sulsel... agen, mafia, calo2 pemda...

bgm ??? tertarik pak yus ??

Yusran Darmawan mengatakan...

kayaknya kita mesti investigasi sama-sama. saya lagi berusaha cari tahu alur kedatangan gadis-gadis. kayaknya yang di sulsel kebanyakan dari jawa timur yaa

Anonim mengatakan...

hahaha..
'jawa timur' itu hanya untuk konsumsi pub dan diskotek kelas menegah...
cewek2 yg mangkal di diskotek (club) ato hotel2 bintang lima stok nya mulai dari sulut/sulteng, jabar/jateng.. sampe uzbek/china....

mau info lebih lanjut ???

oh iya kak, salah satu 'agen' besar cewek2 psk itu adalah abang2 kita alumni unhas...

Yusran Darmawan mengatakan...

oh ya...... bisa kenalin saya dengan senior itu? saya penasaran untuk tahu lebih jauh...

Anonim mengatakan...

sebenarnya qta kenal baik ji kak, tapi konteks perkenalan ta ndk pada hal2 seperti ini,

info gratis..
di samping loby, depan resto jepang di clarion, tiap malam minggu n ladies night, klo beruntung qta ktemu disana...

Yusran Darmawan mengatakan...

kalo kita saling kenal, kenapa nda terus terang saja? saya senang kalo ada teman yang bisa kasi info

Bauanuddin A. Gani mengatakan...

Saya tak mau memandang ke arah dada itu, tp koq tahu klu dadanya membusung putih???? hehehehehe...Aneh benar itu gadisx mas, setiap abis layani tamux trus mo shlt dia mandi wajib gak ya?????

Anonim mengatakan...

kayaknya tokoh dalam tulisan diatas terbalik. hrsnya yang max itu saya dan saya max. atau kemungkinan lain. saya dan max itu adalah saya sendiri.

alminjawad mengatakan...

hahahaa..., bang anonymous ini ada2 aja, jangan gitu bang Yus jadi nda enak.

Samani Hudson mengatakan...

si ibunya cewek pelacur juga tak kalah memanjat doa. di rumah nya, di setiap malam, ia tahajud dan berdoa supaya anak perempuanya selamat dan pulang dapat duit.

Tuwe al-baghdadi mengatakan...

ceritane mantep mas brow,
aku jadi terharu membacanya,....
Hehe.

Anonim mengatakan...

Dimanapun di dunia ini pasti ada dua sisi...
Tak ada satu pun kebenaran yang mutlak kecuali kebenarannya..

Sesuatu berawal dari kesucian...lalu berbuat salah...lalu beruusaha kembali suci lagi...seperti halnya Adam dan Hawa yang suci lalu kemudian mereka berbuat salah hingga mereka pun diturunkan ke bumi....dan akhirnya kita pun bisa membaca tulisan ini ^_^.

Bismillah....ada jalan...

Unknown mengatakan...

walo ini crita agak aneh tp sy tiba2 terpikir bahwa tidak peduli pelacur , pencuri , ato siapapun jg,shalat tetap wajib bagi org islam , sebgmn juga kewajiban2 lainnya,bahkan seorng perempuan yg mjd placur tetap punya kewajibannya u memakai mnutup aurat/jilbab ... perkara amalannya akan tertolak ataukah diterima itu adl urusan Allah , yg jelas kewajiban setiap muslim/ah tetap berlaku padanya , sedangkan perbuatan2 tidak akan mengugurkan kewajiban ...

Anonim mengatakan...

"Celakalah orang yang shalat"
Anda tahu apa artinya itu? Anda tau apa pembahasan ayat setelah itu?
Bahkan telah gamblang di jelaskan pada manusia tentang bantahan berbuat baik namun ditolak oleh tuhan. Sebagaimana kayu bakar dilalap api ia hanya akan jadi abu, atu sukur" ia cuma akan jadi arang.

Unknown mengatakan...

Saya mauu

Anonim mengatakan...

itu benar terjadi di pengalaman saya. gadis bo rajin salat. hehe

Posting Komentar