Kampung Korea di Pulau Buton


INDONESIA adalah negeri yang amat kaya dengan berbagai tradisi dan kebudayaan. Kita tak sanggup mengenali satu per satu dari ribuan kebudayaan yang hidup dan berdenyut di negeri ini. Namun, tahukah kita bahwa sebuah etnis kecil di Pulau Buton punya nama yang sangat harum di negeri Korea Selatan? Tahukah kita bahwa bangsa Korea begitu peduli dengan keberadaan satu etnis di Tanah Air kita?

Yup. Nama etnis tersebut adalah etnis Cia-Cia. Satu etnis besar yang ada di Kota Bau-Bau, yang terletak di Pulau Buton, Sulawesi Tenggara. Pada masa silam, etnis ini adalah bagian dari keragaman etnis di bawah pemerintahan Kesultanan Buton. Kini, etnis ini banyak menjadi buah bibir di Korea karena keberaniannya untuk mengadopsi huruf hangeul –huruf khas Korea– untuk menuturkan bahasa Cia-Cia. Pemerintah Kota Bau-Bau bekerja sama dengan Hunminjeongeum Research Institute –lembaga riset bahasa Korea– telah menyusun bahan ajar kurikulum muatan lokal mengenai bahasa Cia-Cia dengan huruf Korea. Huruf ini dipelajari di semua tingkatan pendidikan, mulai dari Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA). Bagi saya, ini jelas sangat menarik dan menunjukkan bagaimana respon dan adaptasi lokal terhadap globalisasi.

Dalam kunjungan saya ke pemukiman masyarakat Cia-Cia di Kecamatan Sorawolio di Kota Bau-Bau, saya menyaksikan plang jalan yang bertuliskan nama jalan yang ditulis dalam dua jenis huruf yakni huruf latin dan huruf Hangeul. Seorang kawan yang melihat plang jalan tersebut berseloroh bahwa ini adalah lokasi film drama-drama Korea. Saat singgah ke beberapa sekolah, saya diperlihatkan panduan belajar bahasa Cia-Cia dengan huruf Korea. Saya malah sempat bertemu dengan beberapa mahasiswa asal Korea yang sedang praktik mengajar di beberapa sekolah.

Sejak beberapa tahun terakhir ini, nama Cia-Cia sontak populer di Negeri Ginseng. Banyak jurnalis Korea dan Jepang yang khusus datang meliput di Bau-Bau. Beberapa media internasional ikut meliput antusiasme warga Cia-Cia yang mempelajar karakter huruf Korea. Di antara liputan media internasional tersebut, bisa dilihat Di SINI, DI SINI, DI SINI, dan DI SINI.

Saya sendiri mengkliping beberapa liputan media internasional. Dari berbagai liputan tersebut, terselip rasa optimisme sekaligus pesimis. Beberapa media, khsusunya yang terbit di Jepang, yang melihat itu sebagai lompatan besar dari ekspansi bangsa Korea secara perlahan-lahan di Bau-Bau. Ada semacam protes mengapa harus huruf Korea yang diperkenalkan. Tetapi, saya juga membaca beberapa liputan yang melihat kerjasama ini sebagai hal yang unik dan berwawasan jauh ke depan. Bagi orang Korea sendiri, kerjasama ini jelas hal yang memberikan rasa bangga kepada kebudayaannya sendiri. Fakta bahwa ada satu etnis yang jauh dari negerinya dan tiba-tiba mempelajari bahasanya secara intens menghadirkan kebanggan buat mereka. Pantas saja, liputan tentang Bau-Bau beberapa kali diputar di stasiun televisi Korea. Pantas pula jika banyak mahassiwa Korea yang ke Bau-Bau untuk mengajar bahasa.

Beberapa siswa, guru, masyarakat Cia-Cia, serta pihak Pemerintah Kota (Pemkot) Bau-Bau diundang langsung ke Korea. Bersama Walikota Bau-Bau Amirul Tamim, mereka mendemonstrasikan kemampuan menuliskan huruf Hanggeul untuk bahasa Cia-Cia. Bahkan, beberapa guru dari Korea didatangkan langsung ke Bau-Bau untuk mengajarkan huruf Haenggul. Mereka menyempurnakan kurikulum serta menjadi pembuka jalan bagi dibangunnya Pusat Kebudayaan Korea (Korean Center) yang rencananya akan dibangun dengan biaya Rp 1 miliar di Bau-Bau. Pemerintah Korea telah mendatangkan seorang arsitektur kenamaan untuk membuat bangunan besar yang memadukan arsitektur tradisional Korea dengan arsitektur istana Kesultanan Buton. Tak hanya itu, juga akan dibangun infrastruktur pendukung berupa resort center, kompeks perhotelan, serta masuknya perusahaan tambang asal Korea.

Warga Cia-Cia sendiri melihat itu dengan penuh kebanggaan. Beberapa warga telah dikirim ke Korea untuk memperdalam pengetahuan bahasa. Belum lama berselang, dalam acara pertemuan akbar yang dihadiri sekitar 5.000 warga Korea di Jakarta, masyarakat Cia-Cia ikut diundang untuk mementaskan tarian Buton. Saat itu pula, seorang diva pop Korea yakni Jang Yun Jeong Park atau lebih akrab disapa Jang Yun Jeong dinobatkan sebagai Putri Cia-Cia yang akan mempromosikan Cia-Cia dan Bau-Bau ke negeri ginseng tersebut.

Awal Kerjasama

Bagaimanakah kisah awal diperkenalkannya huruf Korea? Menurut banyak pihak, pada tahun 2005, Pemkot Bau-Bau bekerjasama dengan Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa) menggelar Simposium Internasional Pernaskahan Nusantara. Dalam simposium ini, seorang pemakalah asal Korea Prof Chun Thay Hyun tertarik dengan paparan tentang keragaman bahasa dan adat istiadat di wilayah eks Kesultanan Buton. Ia lalu menyempatkan waktu untuk penelitian selama beberapa waktu. Ia lalu memilih Cia-Cia dikarenakan wilayah ini belum memiliki alfabet sendiri, serta adanya kesamaan pelafalan dan struktur bahasa dengan Korea.

Dalam wawancara dengan Korean Times, Prof Chun Thay Hyun –pengajar di Seoul National University– mengatakan upaya ini tidak untuk melakukan Koreanisasi atas kebudayaan Buton. Upayanya adalah mempertahankan bahasa-bahasa yang hidup di Kesultanan Buton melalui alfabet korea. “In Indonesia, ethnic minority communities are losing their own spoken languages. We realized that the Korean alphabet could actually help preserve these endangered local languages.” Sementara bagi Pemerintah Kota Bau-Bau, langkah ini jelas akan memberikan efek kerjasama yang luas di masa mendatang. Dengan kerjasama itu, Cia-Cia akan dikenal oleh dunia luar dan kelak akan memberikan manfaat berupa kerjasama di bidang investasi dan kebudayaan.

Bekerjasama dengan sejumlah lembaga kebudayaan yang disponsori bangsawan tradisional Korea, Chun lalu mengundang pihak Pemkot Bau-Bau dan sejumlah masyarakat Cia-Cia untuk berkunjung ke Korea. Dalam kunjungan tersebut, disepakati kerjasama berupa uji coba karakter huruf Hanggeul untuk melafalkan bahasa Cia-Cia sejak tahun 2007. Dalam kunjungan itu, juga dipekati kerjasama antara Walikota Bau-Bau dengan Walikota Seoul dan Busan, dua kota utama di Korea Selatan.

Kini, selangkah lagi Korean Center akan berdiri di Bau-Bau. Sebagai seorang warga yang berdiam di pulau ini, saya melihatnya dengan optimis sekaligus cemas. Mungkin kelak Bau-Bau akan menjadi kota yang dikenal di mancanegara dan hilir-mudik banyak orang korea berseliweran di daerah ini. Tapi, saya juga khawatir kelak kebudayaan Buton akan tinggal nama. Kebudayaan Buton hanya menjadi catatan kaki dari pencapaian emas jejak kebudayaan Korea yang merambah jauh hingga ke sini.

Bagaimanakah tanggapan anda?

Pulau Buton, 27 Februari 2010

4 komentar:

nunu mengatakan...

meski hal yang akan dilakukan itu adalah demi kepentingan masyarakat buton.. namun kita tidak boleh melupakan dan meninggalkn semua kebudayaan yg telah diwariskan dn ditanamkn oleh leluhur kita di tanah buton ini..oke !

tp tetap saja perasaan bangga terlahir sebagai anak buton semakin terpupuk saja... hahayyy

Anonim mengatakan...

Saya berharap identitas mereka, orang Bau-bau sebagai orang Butaon, sebagai orang Indonesia tidak akan terkikis secara pelan-pelan oleh budaya Korea meskipun saya sangat menyukai Korea...

Anonim mengatakan...

andaikata bahasa cia-cia sudah musnah pasti tidak pakai tulisan korea

Fluttter mengatakan...

Thank you for the article!

Posting Komentar