Suatu Hari di Tepi Telaga...

HARI ini aku kembali ke Makassar. Ada kepingan hati yang memanggil-manggil langkah kecilku. Ada sosok yang meminta untuk bertemu. Sosok yang melengkapi sisi lain hatiku yang tumbuh berpasangan bak kecambah. Di Makassar, ada cinta yang memanggil dan membuatku sontak lemas dan merindukan pertemuan dengannya.

Kau dan aku adalah dua tubuh, satu jiwa. Kau adalah sosok yang pada masa silam pernah bersatu jiwa denganku. Jiwa kita pernah sama-sama berpusar dalam energi Sang Pencipta, sebelum akhirnya ditiupkan dalam tubuh yang berbeda. Jiwa kita ibarat dua sisi koin yang saling melengkapi hingga dalam setiap penciptaan kembali, jiwa kita selalu mencari ruang untuk bertaut.

Buddha pernah bilang, manusia adalah energi yang selalu mengalami proses penciptaan. Ketika tubuh manusia bersatu dengan tanah, tidak lantas menjadi akhir bagi jiwa sebab jiwa akan selalu mencari wadah baru untuk tumbuh. Bersetuju dengan Buddha, aku sering berkhayal bahwa pada penciptaan sebelumnya, diriku adalah seorang samurai perkasa dan kau adalah gadis berkimono dengan pipi yang bersemu merah. Kita bertemu dalam satu perjumpaan di dekat telaga dalam satu proses yang amat ajaib. Hati kita langsung bertaut. Aku meninggalkan pedangku hanyut di telaga demi rumah kecil di tepi telaga itu yang kita bangun sama-sama.

Atau mungkin pula dalam kehidupan sebelumnya diriku adalah penyair yang hidup di tepi sungai Yang Tze di Cina, dan kau adalah seorang sosok yang tiba-tiba membuat semua kembang hatiku luruh berguguran. Kau meruntuhkan semua gerbang kata yang kususun untuk mengabadikan gunung Thay San dan Sungai Yang Tze yang berkelok-kelok di hatiku. Kau adalah aksara yang memenuhi semua kanvas lukisan kehidupan yang kusiapkan sebagai tanda bagi semesta yang melingkupiku. Kau adalah samudera yang memenuhi seluruh alam imajinasiku dan memenuhi semua sketsa yang kususun di tepi sungai itu.

Kita tumbuh dalam berbagai episode sejarah dan tidak peduli pada semua peperangan besar yang membuat nestapa manusia. Kita tumbuh di tepi telaga itu dan tidak mau terlibat dalam hiruk-pikuk pertempuran dan bau anyir darah di sana-sini. Hidup bersamamu adalah hidup di tengah pusat universum semesta. Kau adalah angkasa yang menjadi akhir dari semua perjalananku. Bersamamu, aku merasa betah tinggal di tepi telaga itu. Bersamamu adalah bersama semesta yang menyediakan jawab atas semua pencarian dan penjelajahanku.

Berratus-ratus tahun kau dan aku berreinkarnasi kembali. Kita terpisah lama, hingga suatu hari aku menemuimu di satu sudut kampus. Dan secara ajaib, peristiwa masa silam itu kembali melintas dalam benakku. Kita terlontar kembali ke masa kini, tidak dalam wujud samurai dan penyair. Kita sudah tidak bersama-sama di tepi telaga itu lagi. Aku sendiri sudah lupa di mana sungai tempat pedangku berlabuh. Kaupun tidak lagi berkimono merah.

Tapi, bisakah kita mengulangi episode ketika cinta kita tumbuh di tepi telaga itu?

3 komentar:

darmawati alimuddin mengatakan...

romantisnya kak yusran...:)

Anonim mengatakan...

suka sih.tp msh suka yg tlisan ttg engkau adlh grbang tak brujungku mngnal dunia

Arsal Amiruddin mengatakan...

prikitiiiiiiiiiuwwwwwwwwww

Posting Komentar