Sastra yang Lembut Menyapa

BAGAIMANAKAH kriteria menilai sebuah karya sastra? Apakah parameter untuk menyebut suatu karya sastra lebih baik dari karya sastra yang lainnya? Barusan saya merekomendasikan cerpen atau karya sastra yang saya anggap bagus pada seorang teman. Tapi, setelah teman membaca cerpen itu, ia merasa datar-datar saja. Ia tidak tertarik dengan cerpen yang saya perlihatkan. Katanya, cerpen itu seperti sampah yang layak dibuang ke dalam tong. Busyet!

Makanya, saya jadi bertanya-tanya tentang kriteria bagus atau tidak dalam sastra. Sebab sayapun kadang berpikir sebagaimana teman tersebut. Sebuah cerpen yang ditulis pengarang besar dan dianggap bagus banyak orang, setelah saya baca, ternyata tidak menyentuh sama sekali. Saya tidak tertarik dan tiba-tiba mencuat pertanyaan, kenapa sih banyak yang memuji cerpen tersebut? Ataukah saya yang dangkal dan berselera rendah?

Ini sama dengan lukisan. Sebuah lukisan yang dibuat seperti cakar ayam oleh pelukis sekaliber Affandi, tiba-tiba dipuji setinggi langit oleh banyak orang. Padahal, apanya yang menarik? Saya serasa melihat lukisan cakar ayam yang dibuat orang yang baru mau belajar melukis. Tak ada sisi menariknya sama sekali. Lantas, kenapa sampai dipuji-puji?

Mungkin (meski saya sendiri tidak begitu yakin), sastra dan seni memang sebuah wilayah tinggi, dan tidak sembarang orang bisa mendakinya. Pada titik ini, sastra atau seni adalah wilayah subyektif yang sangat bergantung pada sejauh mana daya nalar atau kemampuan seseorang menyerap sastra. Ada hubungan yang sifatnya dialektis antara sebuah karya dan seorang individu. Novel pop semacam Laskar Pelangi sekalipun membutuhkan daya nalar dan pengalaman seseorang untuk memahami, kemudian mencerna, dan proses berikutnya adalah hadir inspirasi. Artinya, sebuah karya sastra yang baik, selalu membutuhkan individu yang memiliki proksimitas sama untuk memahami dan larut dalam karya tersebut.

Saya tidak hendak mengatakan bahwa hanya individu tertentu yang punya kecakapan untuk memaknai sebuah karya. Tidak seperti itu. Disebabkan seni dan sastra adalah wilayah subyektif, maka setiap orang punya defenisi yang berbeda-beda tentang apa saja kriteria bagus atau jelek. Bagi saya, sebuah karya yang bagus adalah karya yang ketika kita membacanya, kita tersentuh. Batin kita seolah disapa dan sekian detik berikutnya, kita lebur dalam karya tersebut. Kriteria ini membuka pintu yang lebar bagi subyektivitas individu. Dalam bahasa antropologi, kriteria itu haruslah down to earth atau bersifat emik yang dikonstruksi oleh seorang individu.

Saya dan anda, hanya menggemari jenis-jenis tulisan atau karya tertentu. Saya bisa merasa larut atau sedih ketika membaca syair kabanti yang ditulis orang Buton pada masa silam, tapi belum tentu dengan anda. Boleh jadi, anda baru tersentuh ketika membaca puisi karya Rendra atau Sapardi Joko Damono. Atau mungkin, seorang kawan kita yang lain, lebih menggemari syair lagu dari Metallica atau Nirvana. Tak ada yang salah di sini. Sebab syair –apapun itu—bisa menggugah dan menyentuh batin seseorang.

Artinya, defenisi bagus dan tidak bagus dalam sebuah karya sastra adalah konstruksi seseorang atas sesuatu. Siapapun bisa merumuskan defenisi sendiri tentang mana yang bagus dan tidak bagus. Seperti halnya saya sendiri, yang merumuskan defenisi bahwa sebuah karya sastra dikatakan bagus apabila bisa menyentuh hati saya dengan lembut dan sekian detik berikutnya saya merenung, merefleksikan syair tersebut dalam batin, menghayatinya dalam rasa, dan tiba-tiba saja membuat mata ini lebih terang dalam melihat kenyataan. Demikian.(*)

0 komentar:

Posting Komentar