Saat Terjerat Romantisme Antropologika

HARI ini aku membaca buku karya Tania Murray Li berjudul Transforming the Indonesian Uplands: Marginality, Power, and Production. Buku ini membahas bagaimana transformasi terjadi di daerah pedalaman di beberapa tempat di Indonesia. Isinya adalah semacam bunga rampai, tetapi Tania Li menuliskan catatan yang menurutku cukup menarik sebab merupakan lesson learned atau theoretical insight posisi teoritiknya yang mewarnai percikan pemikiran yang tersaji dalam buku yang agak tebal ini.

Buku ini menyumbang khasanah penting menyangkut penelitian antropologis ataupun politik ekologi mengenai bagaimana masyarakat di pedalaman atau dataran tinggi di Jawa merespon perubahan khususnya menyangkut cara mereka mencari nafkah, serta relasi mereka dengan pasar serta negara, dua insitusi yang mestinya memberdayakan, namun ternyata meminggirkan mereka dalam ranah kehidupan sehari-hari.

Baru membaca beberapa tulisan, aku bisa merasakan kalimat-kalimat penuh kritik atas negara yang berlaku tak adil bagi warganya sendiri. Salah satu ciri khas Tania Li yang saya tahu adalah tulisannya selalu berisi hajaran atas struktur negara dan mekanisme pembangunan yang tidak memberikan ruang memadai bagi masyarakatnya untuki tumbuh dan berkembang. Tulisan-tulisan Tania Li berisikan gugatan atas nasib masyarakat. Nuansa yang pekat dalam tulisannya adalah nuansa advokasi atau pembelaan pada masyarakat. Inilah hal yang saya apresiasi dalam semua tulisannya.

Satu hal yang membuatku termenung saat membaca buku ini adalah kata pengantar dari Prof Amri Marzali, salah seorang dosenku di UI. Kata Amri, kerap kali seorang antropolog atau peneliti sosial terjebak dalam rimba raya perasaannya ketika melakukan riset. Ia terbelit oleh sulur-sulur perasaannya sendiri ketika mendefinisikan satu kenyataan sosial. Amri menyebut istilah “Romantisme Antropologika“ untuk menjelaskan sikap romantik yang menggebu-gebu pada seorang peneliti sehingga secara membabi-buta membela suatu masyarakat, tanpa menelusuri kenyataan itu lebih jauh dan mendalam.

Amri menceritakan pengalamannya ketika menguji seorang mahasiswa doktoral yang mati-matian membela masyarakat dan mengkritik habis Perum Perhutani. Saat ditanya, jika tertindas, kenapa masyarakat itu tidak pindah, sang mahasiswa langsung terdiam. Ternyata, ia banyak terpengaruh oleh aneka tulisan para peneliti asing tentang kenyataan yang ditelitinya sehingga ia menjadikan asumsi itu sebagai satu-satunya kebenaran.

Mungkin, Amri hanya sebatas meletakkan rambu-rambu saja untuk tidak selalu menganggap apa yang dikisahkan Tania Li sebagai satu-satunya kebenaran. Posisi seorang ilmuwan sosial dan juga seorang pembaca adaah posisi yang terbuka pada ragam gagasan-gagasan baru dan bersikap kritis untuk selalu mempertanyakan apa yang disebut kebenaran. Mungkin inilah rambu yang dipasang Amri sebelum menelusuri tulisan Tania Li dalam buku ini. Mudah-mudahan aku bisa segera menuntaskan buku ini.(*)

0 komentar:

Posting Komentar