TERLAMPAU banyak saya menemukan mahasiswa yang memilih jalan pintas, ketimbang berpayah-payah menyelesaikan sesuatu. Selama beberapa minggu ini, saya banyak bertemu teman yang malas menyelesaikan tugas akhir. Mereka lalu menyerahkan tugas itu kepada orang lain dengan iming-iming tertentu, bisa berupa uang atau yang lainnya.
Kita memang berada di satu zaman di mana hasil akhir menjadi segala-galanya. Para mahasiswa itu enggan berlelah-lelah dalam satu proses yang membakar mereka dalam kawah candradimuka. Mereka hanya mau hasil, tanpa susah payah. Mereka seakan menolak pepatah "bersusah-susah dahulu, bersenang-senang kemudian." Pepatah itu berubah menjadi "Ngapain bersusah-susah, bersenang-senanglah setiap saat." Mungkin inilah ciri zaman hari ini.
Saat masih domisili di Jakarta, saya sering diceritakan tentang "Mafia Rawamangun." Mereka adalah sekumpulan mahasiswa Universitas Negeri Jakarta (UNJ) dan Universitas Indonesia (UI) yang mengerjakan tesis-tesis atau skripsi pesanan. Tak peduli apa jurusan anda, cukup memberikan tema yang hendak ditulis. Dalam waktu tertentu, tema yang diinginkan itu sudah jadi skripsi atau tesis. Di tengah iklim kampus yang tidak terlalu ketat, praktik seperti ini menjadi hal yang seolah lazim saja.
Praktik jalan pintas ini tidak hanya dilakukan teman-teman yang kuliah di tingkat S1, namun juga dilakukan mereka yang kuliah di Pascasarjana. Padahal, menurut saya, tugas akhir itu mestinya diperlakukan sebagai medium untuk menerapkan semua pengetahuan yang dipelajari di bangku perkuliahan. Tugas akhir itu adalah wadah untuk menguji kembali sejauh mana relevansi konsep-konsep, teori, serta metodologi di dalam satu penelitian lapangan. Mestinya para mahasiswa harus tertantang untuk mengerjakannya, sebab kualitas tugas akhir adalah cerminan dari sejauh mana keseriusan menggeluti dunia ilmiah semasa di bangku perkuliahan.
Tapi, apalah artinya semua hal-hal ideal seperti itu ketika mahasiswa lebih suka menjadi plagiator atau menggunakan jasa skripsi. Pada akhirnya, pendidikan adalah proses semu yang tidak mendewasakan. Pendidikan menjadi instrumen yang mencerminkan dunia sosial kita yakni mental jalan pintas dan menerabas sana-sini, tanpa mau bersusah payah. Wah...
0 komentar:
Posting Komentar