Energi yang Mendefinisikan Kita


SELAMA beberapa bulan ini, Makassar adalah kota yang menyebalkan. Hampir setiap hari, listrik selalu padam. Kadang sampai tiga kali sehari, seperti jadwal orang makan obat. Saya berani memastikan bahwa hampir semua penduduk Makassar kesal dengan situasi ini. Koran-koran hampir tiap hari menurunkan berita bernada protes atas apa yang terjadi. Sementara PLN selalu berkilah bahwa banyak hal yang menyebabkan listrik selalu padam.

Susahnya adalah kita tidak bisa memprediksi kapan listrik akan padam di kompleks kita. PLN semaunya saja memadamkan listrik. Mestinya ada pemberitahuan dari PLN, mana saja dan jam berapa saja listrik akan dipadamkan di satu kompleks. Andaikan ada pemberitahuan, maka kita bisa mengantisipasinya dengan baik, dan segera menyelesaikan apa yang mestinya dikerjakan saat listrik menyala.

Selama beberapa minggu ini, saya sering memikirkan betapa tergantungnya kita semua dengan listrik. Kita adalah generasi yang terlanjur menggantungkan hidup pada listrik sebagai sumber energi. Hampir semua rumah, selalu memajang aneka peralatan yang dialiri listrik. Saat berjalan ke mana-mana, kita selalu menenteng perangkat yang mengandalkan listrik, seperti telepon genggam, atau laptop. Tanpa listrik, tiba-tiba kita tak bisa bergerak. Kita tidak bisa melakukan banyak hal. Dan untuk itu, kita siap melampiaskan kekesalan kita agar listrik segera menyala.

Mungkin, saatnya kita harus waspada akan bahaya krisis listrik yang lebih luas di masa mendatang. Kita banyak tergantung pada teknologi yang semata-mata tergantung pada alam untuk mengatasi pasokan listrik. Sementara, tabiat alam semesta sudah tidak sama dengan dulu. Iklim di alam kita sudah tidak bisa diprediksi sebagaimana dulu ketika para petani merencanakan kapan waktu tanam. Semuanya karena ulah manusia yang memperlakukan alam dengan penuh keserakahan. Makanya, alam memberikan reaksi dengan iklim yang mudah berubah dan sukar diprediksi.

Sementara kita terlanjur menggantungkan hidup pada listrik sebagai sumber energi. Di abad modern seperti sekarang, kota-kota sudah menjelma jadi mesin besar raksasa yang sekrup-sekrupnya digerakkan oleh energi. Tanpa energi, kota seakan mati dan kehilangan daya. Dulu, nenek moyang kita hidup tanpa banyak bergantung pada listrik. Tapi itu kan dulu. Kita terlanjur tercemar dan belepotan dengan berbagai pranata modern hingga melekat menjadi bagian dari diri kita. Rutinitas yang tinggi serta intensitas kerja menyebabkan alat-alat modern itu seolah mendefinisikan diri kita. Tanpa alat-alat modern itu, kita jadi lumpuh, tak berdaya.

Kembali ke zaman tradisional juga bukanlah solusi. Hampir tak mungkin untuk menggantikan mobil sedan dengan kereta kuda. Demikian pula untuk menggantikan keberadaan pesawat dengan unta untuk menempuh perjalanan jauh. Modernitas memaksa kita untuk berlari dengan cepat, sefisien mungkin, serta menaklukan ruang dan waktu. Kita tak siap kembali pada zaman nenek moyang kita dulu menjalani hidup. Kita bergantung pada energi, dan energi itu menaklukan hidup kita.

Yup. Energi menjadi sesuatu yang tidak hanya menggerakkan kota, namun juga menggerakkan orbit kehidupan kita. Dalam buku Political Ecology yang ditulis Paul Robbins, disebutkan bahwa konflik besar di masa mendatang disebabkan karena konflik energi. Sebegitu tergantungnya kita pada energi, sehingga mudah berkelahi dengan sesama kita hanya karena soal energi. Mungkin, kita bisa memahami bagaimana konflik Timur Tengah, serta peran Amerika Serikat di situ. Semuanya karena konflik energi.

Dan kita juga paham betapa cerdasnya bangsa Iran yang memperkaya nuklir. Dengan cara memperkaya nuklir, mereka hendak menaklukan masa depan dan tidak mau menjadi taklukan bangsa barat, yang secara diam-diam memperkaya nuklir. Mereka menyadari bahwa satu gram uranium bisa memasok listrik untuk satu kota besar. Betapa efisien dan hebatnya listrik yang mengandalkan tenaga nuklir. Dan bisa pula kita prediksi bagaimana nasib bangsa ini ke depan dalam hal energi. Kita tak punya teknologi. Mungkin negeri ini akan semakin tergantung pada bangsa lain. Akan menjadi bangsa yang hanya bisa mengharap belas kasihan semata.(*)

0 komentar:

Posting Komentar