Resistensi dalam Kajian Antropologi

Sejak akhir tahun 1980-an, tema resistensi atau perlawanan menjadi tema penting yang menarik bagi para antropolog. Tema ini menjadi trend sebab menelaah kasus-kasus yang gampang diamati serta bersifat empiris. Analisisnya banyak melihat hal-hal yang ada dalam keseharian masyarakat baik berupa kisah-kisah, tema pembicaraan, umpatan, serta puji-pujian dan perilaku lainnya, sehingga menjadi gayung bersambut dalam antropologi. Resistensi dianggap berciri kultural sebab muncul melalui ekspresi serta tindakan keseharian masyarakat.

Menurut hemat saya, isu resistensi sudah mulai mencuat sejak tahun 1960-an. Pada saat itu, mulai mencuat berbagai gugatan pada ilmu sosial yang dianggap menganut paradigma positivistik sehingga kerap mereduksi manusia dalam angka-angka dan kehilangan spirit untuk melakukan perubahan. Situasi tahun 1960-an adalah situasi ketika berbagai rezim totaliter sedang berjaya seperti Hitler di Jerman, Mussoulini di Italia, serta berbagai rezim lainnya di Afrika. Situasi ini kerap menjadi ancaman bagi sejumlah ilmu sosial sebab harus mereproduksi pengetahuan yang menguntungkan satu rezim. Pada saat inilah muncul ilmu sosial kritis yang tidak hanya melakukan kritikan pada ideologi, namun juga mengkritik konfigurasi sistem sosial yang represif.

Dalam khasanah antropologi, sesungguhnya telah mulai tampak benih-benih kritik internal atau refleksi yang bisa pula dilihat sebagai upaya resistensi pada arus-arus besar dalam antropologi. Kritik itu mencuat ketika Talal Asad mengeluarkan buku berjudul Anthropology as Colonial Encounter. Ia melihat realitas bahwa imajinasi para antropolog seakan-akan masih diharu-biru oleh imajinasi para penjelajah Eropa yang terobsesi menemukan masyarakat primitif untuk dianalisa dan ditekuk dalam satu kategori. Imaji tentang penaklukan, kekuasaan, serta menemukan masyarakat primitif dan eksotik telah membimbing antropolog pada bentuk etnografi dan pelukisan hingga daging dan sum-sum masyarakat tersebut. Muncul pula sejumlah pemikir seperti James Clifford (1986), serta Marcus (1998) yang berada dalam kubu yang sama dan mempersoalkan antropologi. Belakangan, Edward Said ikut membawa inspirasi bagi antropologi melalui pandangannya tentang orientalisme. Berbagai tulisan itu banyak menyajikan gagasan-gagasan resistensi serta mulai melihat masyarakat dengan cara berbeda dengan antropologi sebelumnya.

Di kalangan ilmuwan sosial, resistensi terkadang dimaksudkan dalam paradigma konflik, padahal memiliki bentuk yang berbeda. Resistensi galibnya menjadi titik tengah dari dinamika teori konflik Marxian dan teori konflik Non-Marxian. Jika konflik masih berkutat pada frame teoritis dalam melihat realitas, maka resistensi menekankan pada aspek empiris serta melakukan sensitizing atau dialog secara kreatif terhadap realitas sosial. Inilah yang kemudian menjadi titik tengah atau jalan keluar dari kecenderungan teori konflik yang lebih melihat persoalan dari atas sehingga sarat dengan adanya generalisasi.

Resistensi lebih menekankan pada aspek manusia. Ini menjadi pendekatan baru yang berjalan selaras dengan lahirnya berbagai studi etnografi baru (new etnography) yang mengalami pergeseran memandang manusia yaitu dari obyek ke subyek. Geertz (1973) mengatakan, antropolog tampaknya harus berada di tengah-tengah karena posisinya yang tidak melulu pemikiran teori, melainkan lapangan empiris yang langsung bersumber dari warga masyarakat yang nyata. Gagasan tentang resistensi berada pada posisi di tengah-tengah di antara pemikiran Marxisme dalam antropologi dan pemikiran antropologi simbolik yang lebih berorientasi pada kebudayaan atau yang memiliki sensitivitas budaya.

Resistensi bermaksud melakukan rekonsiliasi dari dua kutub pemikiran antropologi sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Jika jalan tengah ini diterima, maka isu materi yang ada pada kajia Marx bisa tercermin dalam kajian antropologi yang menganalisis berbagai peristiwa lokalitas. Studi resistensi dapat dilihat pada studi James Scott dan Anna L Tsing yang melihat persoalan pada tingkat lokal, negara, regional, dan global. Artinya, dinamika atau perubahan yang terjadi tidak semata disebabkan aspek materi sebagaimana yang diisyaratkan para penganut materialisme kebudayaan. Isu resistensi juga muncul dalam pemikiran sejumlah Marxis seperti Antonio Gramsci yang lebih melihat pada persoalan ideologi ketimbang material. Resistensi juga menyediakan ruang yang lebih luas bagi kajian-kajian yang inovatif dan menunjukkan bagaimana sumber daya lokal bisa menghadapi orang-orang yang berada pada struktur di tingkat global.(*)

3 komentar:

ateeyah mengatakan...

assalamualaikum

ateeyah mengatakan...

boleh tahu lebih banyak tentang teori resistensi (tokoh dan pemikirannya)???makasih banget..

Anonim mengatakan...

saya juga butuh banyak tentang teori resistensi dan pemikirannya untuk skripsi saya mas, :)

Posting Komentar