Sebuah Tanya yang Menghentak


“Kapan kita menikah” tanyanya. Sesaat aku termangu, tak punya jawaban. Lalu, aku menghembuskan napas dan terpekur. Mungkin sudah seribu kali ia menanyakan itu. Sudah seribu kali pula kuberikan jawaban yang sejelas-jelasnya. Namun, entah kenapa jawabanku tak pernah bisa memuaskannya. Selalu saja pertanyaan itu diulanginya. Aku mulai kesal. Entah, jawaban apa yang ditunggunya. Padahal, tanpa bertanyapun, ia sudah paham bagaimana keadaanku, berapa isi dompetku, berapa kas ATM-ku, berapa nilai motorku yang belum lunas cicilannya.

“Apa kamu tahu apa yang berkecamuk dalam hati ini?“ tanyaku.
“Ya.. saya tahu,”
“Lantas, kenapa harus tanyakan itu terus?”
“Saya hanya ingin manja,”
“Manja?? Apa kamu paham bahwa pertanyaan itu seperti sembilu tajam?“
“Iya. Tapi saya hanya ingin manja,”
katanya.

Ia sedang bermain-main. Tetapi kalimat-kalimatnya seperti sembilu yang mengiris-iris hati ini, kemudian kepingan hati kecil-kecil itu ditetesi perasan jeruk nipis. Sakit memang. Sudah berkali-kali aku katakan bahwa aku membutuhkan kesabarannya barang beberapa saat. Ibarat petani, aku tengah menunggu panen atas apa yang sebelumnya kutanam. Aku tengah harap-harap cemas menunggu sesuatu yang kelak menjadi modal bagi masa depan yang tengah kurajut dan kuanyam-anyam selama beberapa tahun. Namun, ia selalu menanyakan sesuatu yang perlahan menjadi teror bagiku. Sesuatu yang bisa memporak-porandakan bangunan yang kubangun. Sesuatu yang mulai menjadi horor buatku..

Andaikan nikah itu seperti permintaannya untuk dibelikan permen, mungkin aku langsung tersenyum bahagia. Andaikan nikah itu seperti rengekan manja minta dibelikan boneka Panda Poo, mungkin aku sudah lama memenuhinya. Sebab urusan membelikan permen dan mengantar belanja dan hal-hal yang menghabiskan uang lainnya, akulah jagonya. Aku sudah cukup teruji untuk urusan yang satu ini. Namun nikah bukanlah perkara yang sederhana seperti itu. Nikah adalah perkara seberapa mampu kita mengumpulkan semua pundi-pundi kekayaan kita kemudian dihabiskan dalam sehari-semalam. Semuanya demi duduk manis di singgasana, dan disalami bak raja sehari.

Mungkin karena ia perempuan, maka pertanyaan itu jadi tanpa beban. Sebagai perempuan, kodratnya adalah menunggu lelaki yang datang. Ia menyeleksi, menyortir, dan menentukan mana pria yang terbaik. Setelah itu, keluarga sang pria akan datang dan menegosiasikan berapa yang harus dibayarkan, sebesar apa pesta itu akan digelar. Ia menunggu siapa yang datang. Sementara aku sebagai lelaki yang harus berjibaku memenuhi semuanya. Aku harus “berkelahi“ demi mendapatkannya. Saat aku memutuskan menikahinya, ia langsung menjadi milik keluarganya yang bagai hakim memiliki otoritas untuk menentukan seberapa banyak beban yang harus kukeluarkan. Untuk itu, aku hanya bisa mengurut dada.

Aku tidak sedang bercanda atau mendramatisir keresahan ini. Beberapa tahun yang lalu, aku pernah menjadi peneliti lepas yang mengamati bagaimana pernikahan di kebudayaannya. Aku paham bahwa pernikahan itu bukan sekedar ruang yang memungkinkan pertemuan dua hati. Pernikahan di kebudayaannya punya makna yang lebih luas dari sekedar urusan melegitimasi cinta dua insan di hadapan Tuhan.

Pernikahan adalah arena yang mempertemukan dua keluarga besar, malah mempertemukan dua kampung. Makanya, pernikahan menjadi pesta yang melibatkan banyak orang. Mulai dari imam desa, hingga grup penyanyi elekton yang bayarannya bisa sampai Rp 6 juta untuk semalam. Pernikahan adalah industri besar yang menggerakkan laju perekonomian di satu kampung.

Tapi masalahnya, aku tak punya keluarga besar itu. Tak ada satupun pamanku yang sukses jadi orang besar yang mengangkat nama keluarga. Bapakku yang semestinya bisa meringankan beban itu sudah lama berpulang ke Rahmatullah. Aku memang masih punya ibu. Tetapi betapa jahatnya aku jika masih mengharapkan uluran tangan ibu yang saat ini berkalan dengan tertatih-tatih. Ibu juga berhak menikmati receh demi receh yang dikumpulkannya selama bertahun-tahun. Betapa kejamnya jika aku yang menghabiskan isi celengan ibu.

“Mengapa sampai kamu ngotot ingin cepat menikah?“ tanyaku.
“Sebab aku tak mau lagi pisah denganmu,“ katanya.
“Tapi kita kan selama ini tak pernah pisah. Jauh-jauh dari Jakarta, aku datang hanya untukmu. Hanya untuk menemanimu memandang bulan,“
“Tapi kakak akan pulang ketika malam larut. Aku ingin melihatmu ketika bangun tidur,“
“Kalau begitu, aku akan datang ke kosmu pada subuh-subuh biar bisa kau pandangi,“
“Mendingan nikah kalau gitu,”
“Tapi aku belum punya pekerjaan”
“Rezeki gampang dicari Kak. Yang susah adalah mencari ketulusan,“
“Ah... Itu terlalu abstrak. Duit nikahnya dari mana?“
“Terserah,“
katanya.

Seperti biasa, diskusi hari ini tak ada konklusi. Masih berputar-putar pada jawaban yang sama. Namun, hari ini aku agak stres dihujani pertanyaan itu. Setelah bertahun-tahun menjalin hubungan, aku sudah membayangkan akan tiba pada titik ini. Tapi, aku tidak menyangka akan secepat ini. Padahal, tadinya aku membayangkan keresahan ini akan menderaku sekitar dua tahun mendatang, saat umurnya beranjak menjadi 25 tahun.

“Gimana kalau kita silariang saja?” katanya. What? Silariang atau kawin lari tak masuk dalam perencanaanku. Tak terbersit dalam pikiranku untuk melakukan itu. Aku membayangkan aib yang akan mendera keluarganya. Membayangkan bagaimana murkanya keluarganya. Selanjutnya saya hidup dikejar-kejar ketakutan. Keluarganya tak akan pernah rela anaknya dibawa dengan cara demikian. Mereka akan berikrar bahwa aib itu harus dienyahkan. Aku tak mau membayangkan silariang. Sudah cukup berbagai stres dan trauma mendera tubuh ini.

Lantas, apa yang harus aku lakukan?

0 komentar:

Posting Komentar