Kutuk-Mengutuk sebagai Budaya Kita


SETIAP kali ada peristiwa bom, maka saat itu juga pemerintah kita sibuk mengutuk sana-sini. Mulai dari mengutuk para pelaku pengeboman, mengutuk intelijen yang tidak bisa mendeteksi bom, hingga mengutuk polisi yang selalu saja terlambat datang. Kemarin, saya nonton televisi. Muncul presiden yang kembali mengutuk para pengebom yang sadis.

Tak hanya pemerintah. Masyarakat juga sibuk mengutuk sana-sini. Mulai dari mengutuk pemerintah yang lamban, mengutuk siapapun pelaku pengeboman, hingga mengutuk kepala negara yang bisanya cuma mengutuk. Ini negeri yang warga dan pemerintahnya sibuk mengutuk sesuatu yang tidak jelas.

Saya menganggap tindakan mengutuk ini sah-sah saja untuk menyatakan ekspresi. Yang sesalkan adalah ketika terjadi kutuk-mengutuk, kita tidak diberikan penjelasan yang tegas: apa yang sebenarnya terjadi dan sejauh mana upaya yang telah ditempuh pemerintah untuk menyelesaikan apa yang dikutuk tersebut. Kita bisanya hanya mengutuk, tanpa bekerja apa-apa. Kita hanya bisa memaki-maki, tanpa mencari tahu apa yang sebenarnya dimaki dan apa yang seyogyanya harus dilakukan demi mengatasi apa yang dimaki-maki tersebut.

Jangan-jangan, kutuk-mengutuk ini adalah bagian dari budaya kita. Jika budaya dipahami sebagai sesuatu yang bersifat kolektif dan ditransmisikan dari generasi ke generasi, kita adalah generasi yang menerima tradisi kutuk-mengutuk sebagai warisan. Kita menemukan tradisi mengutuk ini dalam berbagai ujaran masa silam, termasuk dongeng yang populer di masyarakat. Dalam kisah Malin Kundang, endingnya adalah situasi ketika seorang ibu kemudian mengutuk anaknya yang durhaka. Ketika sang ibu mengutuk, langit langsung membuka dan titah Tuhan langsung bekerja.

Nah, berbagai kisah tentang kutukan tersebut sampai pada kita sebagai generasi kekinian. Jika kisah-kisah tersebut bermaksud menjelaskan tentang nilai ideal, maka kita hanya mengambil aspek kutuknya saja, tanpa melihat lebih jauh pesannya.

Saya menduga tindakan mengutuk sesuatu hanya sebagai strategi untuk mencuat di tengah era banjir berita seperti ini. Dengan cara mengutuk keras sesuatu, kita semakin dikenal sebab punya pendirian tegas. padahal, di balik kutuk-mrngutuk tersebut, kita tidak melakukan apa-apa.

Rata Penuh Apa yang Harus Dilakukan?
Saatnya kita berhenti mengutuk sesuatu. Bolehlah kalau itu dikemukakan demi memanaskan semangat untuk berbuat sesuatu. Kita harus terbiasa menyelesaikan satu masalah secara runtut, kemudian menemukan solusi yang tepat untuk menyelesaikan masalah.


BELUM SELESAI

0 komentar:

Posting Komentar