Nujuman tentang Karebosi


KAREBOSI hari ini bukan lagi lapangan yang penuh aktivitas warga Makassar. Bukan lagi oase tempat hidup banyak orang dan saling berbagi. Karebosi hari ini adalah sebuah lapangan hijau yang tertata rapi dan di bawahnya ada mal megah. Pemkot Makassar bersikukuh bahwa yang mereka lakukan adalah penataan, yang dalam bahasa kerennya adalah revitalisasi. Mereka mengabaikan fakta bahwa begitu banyaknya masyarakat yang merasa memiliki dan menjadikan lapangan itu sebagai tempat memulai dan menghabiskan hari.

Semalam, saya ngobrol lepas dengan beberapa teman tentang lapangan Karebosi. Kami tak banyak membahas kontroversi pembangunan mal di Karebosi. Toh, mal itu sudah lama berdiri, menjadi simbol dari ketidakpedulian pemerintah pada suara warga. Semalam, saya dan teman-teman bercerita tentang hal-hal yang mistik tentang lapangan itu. Yang menarik adalah teman saya Nasri Abduh mengatakan bahwa dirinya banyak mendengar nujuman atau ramalan tentang Karebosi hari ini. “Saya banyak mendengar orang-orang yang mimpi tentang Karebosi. Katanya, Karebosi akan runtuh. Mal akan binasa dan porak-poranda. Akan ada banjir darah di sana,“ katanya.

Istilah banjir darah itu muncul dikarenakan mal itu akan runtuh pada saat ribuan warga sedang berbelanja di sana. Mereka diperkirakan akan menjadi korban dari runtuhnya mal yang terletak di dasar lapangan Karebosi tersebut. Entah benar apa tidak, kata Nasri, mimpi ini tidak cuma diceritakan oleh satu orang. Ia banyak mendengar cerita yang sama tentang Karebosi yang akan runtuh. Ketika saya tanya berapa orang yang pernah menuturkan mimpi itu secara langsung kepadanya, Nasri makin semangat. “Yang jelas, mereka yang cerita tentang mimpi itu, tidak punya hubungan langsung dengan mereka yang selama ini menolak mal di Karebosi. Makanya saya percaya,“ kata Nasri dengan sorot mata penuh keyakinan.

Saya melihat semua nujuman tersebut secara berbeda. Dalam kisah itu, sesungguhnya ada semacam resistensi atau perlawanan terhadap tindakan yang dilakukan pemerintah. Ada hasrat perlawanan atau ketidakpercayaan pada pemerintah yang diartikulasikan secara diam-diam melalui semua nujuman tersebut. Kita tak boleh gegabah dan langsung menyalahkan masyarakat yang masih percaya pada mistik semacam itu. Justru melalui kisah-kisah itu, masyarakat mengekspresikan pandangannya terhadap mal di Karebosi sekaligus membangun demarkasi atau larangan mengunjungi mal tersebut. Artinya, nujuman tentang Karebosi itu bisa dipandang sebagai jendela kebudayaan yang bisa menjelaskan banyak hal bagi kita. Saya kira ini sangat menarik jika direkomendasikan pada para peneliti untuk mencari tahu apa yang sesungguhnya terjadi di sana.(*)



0 komentar:

Posting Komentar