Gugatan untuk Goenawan Mohammad

SALAH satu novelis yang saya sukai ES Ito menulis tema yang menarik. Ia mengkritik tulisan budayawan kondang Goenawan Mohammad (GM) tentang pilihannya yang mendukung Boediono sebagai cawapres. Yang menarik adalah di tengah puja-puji para penulis terhadap kualitas tulisan GM, Ito justru mengkritik pedas cara GM menulis hingga pilihan politiknya.

Saya kira pilihan-pilihan Ito ini masih layak diperdebatkan. Tetapi, saya menangkap point penting yang saya senangi dari tulisannya. Ada emosi serta jiwa muda yang hendak berontak dari kemapanan berpikir. Mungkin saja Ito melihat GM sebagai kemapanan yang sudah saatnya digusur. Barangkali pula Ito melihat GM sudah lelah dan mulai tertatih-tatih berjalan. Sekian lama GM hanya bisa menulis dari pinggiran, kini tarikan politik telah membawanya ke kanan. Mungkinkah GM sudah lelah melihat sesuatu dari pinggir? Apakah ia tergoda dengan hasrat kuasa di ajang pemilihan presiden? Akan sangat bijak jika GM menulis pleidoi atas segala pilihan-pilihan politiknya.

Nah, inilah tulisan Ito yang menggugat GM itu. Selamat membaca...!!!

Tuan Goen, masih hidup dia rupanya. Walaupun uban tidak lagi sanggup diperam perawan, dia masih kuasa berjalan. Tuan Goen hidup dari kata dan mantera. Dia menyisipkan pesan mingguan, bagai khutbah manusia prasejarah pada zaman yang tidak lagi menghendakinya. Lihatlah Tuan Goen menapaki jalan, dari belukar Utan Kayu hingga rindangnya Salihara. Dia renta, tertatih dengan langkah terseok tetapi Tuan Goen percaya dia lah pengemban wahyu untuk menyelamatkan peradaban. Tetapi pada zaman ini, siapakah lagi yang mengerti dengan mantera Tuan Goen. Generasi kami, Tuan Goen, bukanlah pemamah biak mantera berbalut estetika. Dan kami tidak punya waktu melayani orang tua cengeng yang sepanjang hidupnya bermimpi menjadi Albert Camus.

Kami bukanlah pelayan mimpi-mimpimu Tuan Goen. Tiap minggu kau bisa menggoda kami dengan rayuan gombal catatan pinggirmu, tetapi kau tahu Tuan Goen, karena kami terlahir durhaka maka mudah bagi kami memisahkan dusta dari kata. Lagipula, bukankah tulisanmu lebih banyak kutipan mantra asingnya daripada mantra mu sendiri. Tuan Goen tidak mendapat tempat di generasi kita, lalu dia beralih pada penguasa. Tertatih mendaki tangga istana, Tuan Goen mendapati dirinya dilarikan kereta. Di Bandung sana, Tuan Goen berikrar akan melanggengkan kekuasaaan dengan warna-warni Amerika. Ohh Tuan Goen, sudah pikun dia rupanya, ini Indonesia bukan negara bagian Amerika. Mari ucapkan mantera generasi kita; sudahlah Bro, secara lo udah tuwir gitu loch…

Di Bandung sana, Tuan Goen gagah menyampaikan orasi budaya. Dia memulai orasi dengan pekik merdeka tetapi panggungnya dihiasi triwarna merah putih biru. Dia mengungkit Soekarno untuk menyanjung Boediono. Tuan Goen memberi garansi kepada kita, bahwa Boediono dan tentu saja SBY layak untuk dipilih sebab dia bukan politisi juga bukan pemain sinetron. Dan yang lebih penting sepanjang hidupnya, Boediono dihidupi oleh negara bukan lewat bisnis yang menjadi haram dalam panggung itu. Bagi Tuan Goen yang katanya sering berjuang untuk menghilangkan Islamophobia bangsa barat, mengumpulkan kekayaan dari pajak atas jasa pada negara jauh lebih mulia daripada berniaga. Tuan Goen dan anak-anak salah asuhannya tentu, sebagaimana Boediono, sangat percaya pada tangan tidak terlihat yang bisa melakukan intervensi terhadap pasar. Masyarakat sipil perlu diperkuat dengan melemahkan fungsi negara. Wajar bila pengidap sipilis semakin meningkat.

Tetapi pernahkah Tuan Goen berpikir, dalam konsep kami masyarakat awam, di pasar-pasar rakyat tangan tidak terlihat itu wujudnya sangat jelas yaitu copet. Itulah jenis manusia yang selalu menerima curiga, sebab senantiasa mengambil sesuatu yang bukan hak nya. Tuan Goen, apakah tangan tidak terlihat yang Tuan suka itu tiada beda dengan tangan tidak terlihat yang kami mengerti? Bukankah, tangan tidak terlihat itu yang membuat jurang antara yang miskin dan kaya semakin besar. Bukankah, tangan tidak terlihat itu yang membuat genera
si kami mulai bosan dengan ketidakadilan. Bah, lupa aku, Tuan Goen tentu tidak akan sanggup menjawabnya, sebab dalam referensi Albert Camus, pertanyaan ini belum pernah muncul. Begitulah di Bandung sana, Pak Tua Goen tidak ingin menerima takdir usia senja.

Politik adalah sebuah tugas. Tanpa diminta, Tuan Goen menuliskan pembelaannya, kenapa dia memihak. Sang Albert Camus wanna be ini seperti biasa merangkai kata dari beragam kutipan yang panjangnya melebihi gagasannya sendiri. Sederhana bukan, sama sederhananya dengan merangkai meja belajar olympic, bahan dan sekrup sudah tersedia kau tinggal menyatukannya. Lantas kau memuji kerja kau yang tidak seberapa itu sebagai sebuah prakarya pribadi. Tuan Goen tidak usah berkecil hati, kau punya tulisan masih ciamik punya. Bagai rokok, nikmatnya masih melebihi kadar Tar dan Nikotin. Tetapi inilah hukum rokok Tuan Goen, kita menikmatinya tetapi kemudian kita lupa gunanya untuk apa. Kau menulis, Politik adalah tugas merambah jalan di belukar membuka celah agar keadilan itu datang. Terkadang tangan jadi kotor, hati jadi keras - dan itu menyebabkan rasa sedih tersendiri. Aku menghisap mantera mu dalam-dalam Tuan Goen, tetapi nafasku sesak. Paru-paru ku memberontak sementara jantung menginginkan revolusi.

Di usia senjamu, kau masih jumawa berkehendak membuka jalan yang tidak kami butuhkan. Kau tahu politik itu kotor Tuan Goen, kau memasukinya lewat rusuk penguasa, ah betapa tambah kotornya kau ini. Kau menyebut nama Munir, berharap keadilan pada penguasa yang tidak kunjung mampu menyelesaikannya. Kau, yang menganggap dirimu intelektual publik, menolak untuk ongkang-ongkang kaki bermatabatkan mahligai. Tetapi Pak Tua, kenapa baru sekarang kau berani berkata, justru pada saat kau menyokong penguasa. Kenapa dulunya mahligai mu itu susah sekali digapai pada saat banyak sekali hal yang tidak sesuai. Tuan Goen yang bercita-cita menjadi martir kebebasan di Indonesia justru di usia senja terpenjara oleh kepikunannya sendiri.


Tuan Goen, sudahlah, aku lihat kau sudah lelah. Tiada guna lagi kau berulah. Mantera-mantera mu tidak lagi bisa mengobati sakitnya generasi kami. Tidak usah pula tubuh rentamu itu kau paksakan untuk memikirkan masa depan kami. Masa-masa dimana kau sudah tidak ada lagi dan kami tidak tahu, akankah kami mengenangmu sebagai seseorang, atau hanya sebuah bidak biasa dalam panggung kampanye presiden Amerika di Bandung sana. Pak Tua Goen, saatnya undur diri, bagi kami kau tiada guna lagi. Perawan-perawan generasi kami tidak lagi tersihir oleh mantera mu. Mereka suka yang praktis Pak Tua, bukan yang rethoris. Kau sudah berbuat, kami tidak akan menghapus jejakmu. Masalah penilaian serahkan kepada masa depan.

Pak Tua Goen sudahlah, kau tidak akan pernah lagi bisa mencatat dari pinggiran.


2 komentar:

Anonim mengatakan...

makasih blog ini telah membantu saya menemukan tulisan e.s. ito untuk GM itu. saya tidak menyangka, tulisannya sesarkastis ini. alangkah lebih canggih andaikan ito tidak (hanya?) ber-sarkasme, tapi menilai GM seperti cara GM biasanya menilai atau mengkritik orang. misalnya dengan mempersoalkan pilihan politik GM dengan argumen, telaah, perbandingan atau semacamnya....

tapi GM. ia agaknya memang suka beretorika.

GM pernah menyangkal komentar Ignas Kleden bahwa tulisannya itu sengaja dipuitis-puitiskan. tapi komentar Kleden itu agaknya memang tidak salah. GM, meski dengan amatan yang--tidak bisa tidak diakui--hampir selalu jeli, cermat, kreatif (GM memang pernah mengatakan "saya butuh memikirkan apa yg kira2 belum diamati orang"..), menurut saya memang sering terkesan "sengaja mempuitis-puitiskan" dalam tulisannya.

dan ia agaknya memang seorang pendukung liberalisme ekonomi. gejalanya:

1) pandangan2 GM yang cenderung eksistensialis; lebih menekankan individu (dan memepersoalkan kebebasannya) daripada bicara soal massa, masjarakat. konsekuensianya; dikedepankannya kebebasan individu (termasuk ekonomi) daripada tata-masyarakat oleh negara. (ini semua entah karena GM memnag pendukung kebebasan individu atau cuma karena ia hendak membenarkan liberalisme ekonomi dengan cara itu)

2) beberapakali ia menynggung John Maynard Keynes, pemikir kontemporer ekonomi pasar sosial itu, dengan agak, menurut saya, (untuntuk meminjam istilahnya itu:) mencemooh.

mungkin masih banyak fakta lain gejalanya.

sayang saja tulisan ini sarkatis.. dari situ ia terlihat tidak fair. dan jika alasannya adalah untuk tidak hipokrit, maka apakah kejujuran harus berbuah sarkasme?

Anonim mengatakan...

Dalam hal kritik terhadap pemikiran GM, dari segi telaah maupun bahasa, saya kira belum ada yang bisa menandingi Martin Suryajaya. Salah satunya di http://indoprogress.com/logika/?p=437

Posting Komentar