Diskusi tentang Antropologi Pengetahuan

DI zaman seperti ini, bisakah kita bicara tentang antropologi pengetahuan? Ketika para sosiolog bicara tentang sosiologi pengetahuan, tentang pengetahuan yang seakan tak lepas dari konteks sosial, maka bagaimana menjelaskan pengetahuan yang sifatnya individual dalam diri seseorang?

Para sosiolog seperti Karl Mannheim banyak menjelaskan tentang proses-proses sosial yang kemudian memberi warna pada corak berpikir individual. Namun, cara berpikir itu seolah menempatkan individu sebagai taklukan dari masyarakat. Individu ibarat tabula rasa yang dibentuk oleh suatu masyarakat. Ibarat kanvas yang digambari sesuka hati oleh masyarakat. Seolah individu senantiasa berpikir seragam, serta bertindak karena dipandu oleh nilai-nilai yang sifatnya sosial. Lantas, bagaimana menjelaskan tentang pengetahuan yang menyimpang dari kecenderungan umum?

Saya ingin mendiskusikan sebuah istilah yang tidak populer di ranah antropologi yaitu antropologi pengetahuan. Entah kenapa, istilah antropologi pengetahuan bukanlah istilah yang baku dan populer sebagaimana istilah antropologi kesehatan, antropologi ekologi, atau antropologi biologi. Akan tetapi, istilah ini mulai mencuat ketika munculnya pemahaman bahwa proses-proses berpikir manusia dalam interaksinya dengan semesta.

Dari bacaan yang tidak terlalu banyak, saya pertama menemukan banyak uraian tentang proses berpikir ini dari buku karya Celia Loew yang judulnya Wild Profusion: Biodiversity Concervation in an Indonesian Archipelago. Meski Celia tidak secara spesifik menyebut antropologi pengetahuan, namun ia menguraikan secara holistik bagaimana proses-proses berpikir penduduk suku Bajo dan dibandingkan dengan cara berpikir manusia –yang menyebut dirinya modern. Dengan mengutip uraian Imannuel Kant tentang tahap-tahap perkembangan rasio mulai dari empiris hingga rasio kritis, selanjutnya Celia mengurai bagaimana proses berpikir semacam itu juga muncul dalam masyarakat Bajo.

Barangkali Imannuel Kant adalah pemikir yang harus diurai pandangannya demi menyibak antropologi pengetahuan. Pemikiran Kant yang dikategorikan sebagai pintu utama mazhab kritis dalam ilmu sosial bisa menjadi pijakan epistemologis untuk memperkuat bangunan pemikiran tentang antropologi pengetahuan. Tatkala Kant membahas kritik atas fundasi pengetahuan modern, maka sesungguhnya kritik itu bisa ditempatkan sebagai pijar awal dari posisi antropologi pengetahuan.

Seperti halnya Kant, Celia Loew juga menolak konsep rasionalitas yang hanya mengacu pada proses metode ilmiah sebagaimana termaktub dalam paradigma positivistik. Ia menawarkan suatu rasionalitas bentuk lain yang lebih arif dalam memandang bagaimana konsep berpikir orang-orang Bajo di Togean. Meski tak menyebut kata antropologi pengetahuan, namun saya kira uraian Celia hendak menjelaskan bagaimana proses-proses berpikir manusia yang ada pada satu komunitas kecil.

Nah, secara spesifik istilah antropologi pengetahuan saya temukan dalam etnografi karya Thomas Gibson yang terbit tahun 2005 dan berjudul The Sun Pursued the Moon: Symbolic Knowledge and Traditional Authority among the Makassar. Judul bab 2 buku itu adalah Menuju Pengetahuan Antropologi Simbolik menjadi judul yang menarik dan merepresentasikan posisi teoritis Gibson. Menurutnya, pengetahuan tidak sekedar satu ruang dalam pikiran sebagai data yang dperoleh dari panca indra maupun rasio. Pengetahuan bisa saja melekat di dalam jaringan relasi sosial, praktik-praktik berwujud, perkakas, bahan-bahan baku, dan pengetahuan implisit tentang dunia alamiah. Ia hendak mengatakan bahwa pengetahuan bisa melekat dalam beragam kenderaan simbolik (mengingatkan kata Geertz tentang symbol is vehicle of meaning), dan hanya sebahagian yang terbahasakan.

“Saya percaya bahwa terdapat sebuah hierarki jenis pengetahuan, dari pengetahuan praktis sehari-hari yang implisit hingga pengetahuan ideologis eksplisit yang dipakai oleh agen-agen secara sadar untuk mencapai tujuan-tujuan individual. Di antara dua ekstrem ini, ada lapisan pengetahuan yang cukup luas yang saya namai pengetahuan simbolik,” katanya.

Tiga lapis pengetahuan yaitu pengetahuan praktis, pengetahuan ideologis, dan pengetahuan simblik adalah gagasan besar Gibons ketika menjelaskan bagaimana warga Makassar berupaya mempertahankan ritual sejak masa silam, dan bagaimana pengetahuan itu bernegosiasi dengan kehadiran VOC yang hendak mempertahankan ritual. Seiring dengan nasionalisme Indonesia, VOC mempertahankan ritual itu sebagai strategi untuk tetap merebut dukungan dari kelompok tradisional atas VOC.

BELUM SELESAI.....



1 komentar:

analisa tulisanku mengatakan...

antropologi pada dasarnya membicarakan pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat yang dituangkan dalam sebuah etnografi sebagaimana antropologi berkaitan dengan ilmu-ilmu lain dalam menyelesaikan sebuah permasalahan terutama masalah pedesaan hanya saja antropologi di zaman sekarang kurang menunjukkan keeksistensiannya dibandingkan dengan sosiologi sehingga kurang berguna untuk itu diperlukan sebuah karya yang lebih banyak lagi dan sebuah pagelaran yang lebih besar dalam ranah antropologi ini.

Posting Komentar