Diary, Dumbledore, dan Riset Sosial Baru


MENULIS diary adalah aktivitas menuliskan ulang semua pengalaman kita ke dalam bahasa tertulis. Menulis diary adalah proses untuk memindahkan semua pengalaman kita ke dalam bahasa tulisan yang tak lekang oleh waktu. Bagi kebanyakan orang, menulis diary adalah hal yang sepele, namun pernahkah kita berpikir betapa berharganya aktivitas ini? Pernahkah kita berpikir bahwa aktivitas menulis diary adalah langkah pertama yang wajib dilakukan seorang peneliti ketika berada di lapangan penelitian?

Minggu ini, saya baca sebuah jurnal internasional terbaru yang bercerita tentang penelitian kualitatif yang dilakukan dengan cara menulis diary. Saya baru paham bahwa ternyata diary adalah timbunan harta karun yang sesungguhnya berkisah banyak hal tentang diri kita yang selama ini tidak kita tampakkan pada orang lain. Diary adalah rekaman utuh yang menuturkan banyak hal tentang diri kita, kegelisahan kita, hingga kesan yang tersisa laksana jejak-jejak yang tertoreh di benak kita.

Diary begitu penting, karena saat menulisnya, kita menulis dengan hati. Saat menulis diary, kita menjelma menjadi diri kita sendiri, tanpa harus peduli bagaimana kesan orang ketika membaca tulisan itu. Kebanyakan diary ditulis dalam suasana yang sangat pribadi, kadang-kadang penuh kerahasiaan sebab kita tak ingin orang lain tahu bahwa kita membicarakan pengalaman secara personal melalui diary. Makanya, sebuah diary jelas jauh lebih penting ketimbang sebuah riset utuh yang terkadang tidak dikerjakan dengan sepenuh hati, sebab merupakan pesanan lembaga tertentu.

Mungkin kita tak terlalu peduli dengan kenyataan ini. Namun, menulis diary adalah proses yang sama pentingnya dengan semua pengalaman yang pernah kita alami. Jika pengalaman adalah peristiwa yang kemudian direkam oleh pikiran, maka sebuah diary adalah proses mengabadikan pengalaman tersebut hingga abadi dan tak akan lekang oleh waktu. Ketika kita membaca diary yang kita tulis di masa lampau, maka kita seolah sedang terjun bebas ke dalam sebuah dunia pengalaman tertentu yang pernah kita jalani.

Demikian pula ketika kita membaca diary orang lain. Maka kita seolah terjun bebas ke dalam labirin pengalaman orang tersebut, melihat masalah dengan cara pandangnya, kemudian belajar memaknai suatu masalah dengan cara pandang teman kita sendiri. Kita belajar untuk memahami sesuatu, bukan untuk menjelaskannya dengan cara kita sendiri, melainkan denmgan cara orang lain. Dengan kata lain, diary adalah mesin waktu yang melontarkan kita pada suatu masa.

Saya ingat dalam serial Harry Potter, ada adegan ketika Albus Dumbledore menarik benang-benang pemikirannya dengan tongkat sihir, kemudian melepaskannya dalam suatu baskom yang disebut pensieve. Dumbledore mengatakan bahwa dirinya sedang mengawetkan pikirannya yang sangat terbatas untuk mengingat banyak detail. Suatu ketika, Harry terjatuh dalam baskom itu, dan dirinya kemudian melihat berbagai kejadian yang menimpa Dumbledore. Saat itu, Harry melihat sebuah kejadian dengan cara pandang Albus Dumbledore.

Berbeda dengan kisah itu, kita tak perlu meminjam tongkat sihir Dumbledore untuk mengbadikan ingatan kita. Yang kita butuhkan hanyalah memaksimalkan jemari kita untuk mencatat diary demi mengabadikan kenyataan itu. Tongkat sihir itu ada dalam diri kita sebagaimana yang saya lakukan saat ini, yaitu mengabadikan kesan saya atas sesuatu. Kira-kira demikian.(*)


0 komentar:

Posting Komentar