Bertemu Tiga Orang Jepang


MINGGU ini saya tiga kali bertemu orang Jepang. Yang pertama adalah antropolog yang sedang meneliti budaya siri di Sulsel. Namanya Iwata, namun teman-teman di Divisi Humaniora, Pusat Kajian Penelitian (PKP) Unhas, memanggilnya dengan sapaan Iwata San. Kata San adalah kata yang diletakkan di belakang nama seseorang di Jepang. Ia mahasiswa pascasarjana antropologi di satu universitas di Kyoto, sebuah kota yang dulunya menjadi pusat imperium Kekaisaran Jepang.

Saat bertemu dengannya, ia terlihat sangat senang, sebab mengenal beberapa orang antropolog UI yang pernah ke Jepang. Ia menanyakan kabar dosenku Prof Sulistiyowati, Prof Yunita Winarno, dan Dave, seorang alumnus UI yang baru saja menyelesaikan pendidikan doktoral di Kyoto. Sebaliknya, ia juga mengabarkan keadaan Hiroko Yamaguchi, seorang antropolog Jepang yang pernah meneliti di Buton, beberapa tahun lalu. Kami berbincang cukup akrab. Saya juga menanyakan apa kesimpulannya setelah keliling Sulsel untuk meneliti budaya siri’. Ia agak hati-hati menjawab karena dikiranya saya punya banyak pengetahuan tentang hal yang hendak ditelitinya. Akhirnya, ia menjawab singkat. Siri adalah konsep yang amat abstrak. Ia masih berupaya mencari tahu.

Orang Jepang kedua yang saya temui adalah Kenta. Wajahnya sangat tampan dan rambut lurus ala anak muda Jepang. Ia mengingatkan saya pada Kotaro Minami, sosok yang bisa berubah menjadi Ksatria Baja Hitam (Kamen Rider). Ia bekerja sebagai project officer di Toyota Foundation, Jepang. Ketika datang di PKP Unhas, ia menjelaskan seluk-beluk pengajuan proposal riset ke lembaganya. Toyota Foundation menyiapkan dana yang cukup banyak untuk riset di Indonesia.

Namun, beberapa kali ia menegaskan bahwa riset yang dibantu adalah riset yang sesuai dengan visi Toyota Foundation yaitu revitalisasi budaya lokal yang bisa membawa dampak bagi masyarakat sekitarnya. Anehnya, ketika saya dan teman-teman hendak mengantarnya pulang, ia menolak menaiki mobil yang kami sediakan. Usut punya usut, ternyata mobil itu adalah Honda dan bukannya Toyota. Sebegitu setianya seorang karyawan Toyota, sampai-sampai hanya mau naik mobil Toyota saja, meskipun jauh dari negerinya.

Orang Jepang ketiga yang saya temui adalah Mr Matsui. Teman-teman di Penerbit buku Ininnawa memanggilnya Pak Matsui. Ia seorang antropolog yang bekerja di JICA, sebuah lembaga nirlaba yang dimiliki oleh pemerintah Jepang. Saya bertemu Matsui di Mall Makassar Town Square, dalam acara bedah buku Assikalabinaeng, Kitab persetubuhan Orang Bugis. Pertemuannya terjadi secara tidak sengaja. Ketika menghadiahkan buku Menyibak Kabut di Keraton Buton pada seorang teman, tiba-tiba saja Matsui datang dan membuka-buka buku itu.

Raut wajahnya sangat penasaran sekaligus senang melihatnya. Ia lalu bertanya, apakah buku itu bisa ditemukan di beberapa buku di kota Makassar. Saya menjawab bahwa buku itu hanya dipajang di Toko Buku Gramedia di Kendari. Ia heran dan bertanya mengapa tidak dijual di Makassar. Saya katakana kalau buku itu dicetak terbatas dan hanya beredar di Sultra. Melihat antusiasnya yang besar, saya bermaksud menghadiahkannya satu buku. Ternyata ia menolaknya dan mengatakan bahwa ia ingin membelinya, berapapun harga yang saya minta. Sementara, saya menolak menjualnya sebab buku itu benar-benar saya niatkan untuk diberikan. Namun ia tetap tak mau diberi, kecuali dibelinya. Ia juga mengatakan dalam waktu dekat ini akan ke Kendari. Akhirnya, setelah lama berbincang, saya persilakan ia untuk membeli saja di Gramedia Kendari. Ia langsung mengangguk. Rasanya agak aneh juga memahami orang Jepang. Mau dikasih nggak mau, kecuali beli….(*)




0 komentar:

Posting Komentar