Mamaku dan Sepi yang Mencekam

SETIAP kali saya meninggalkan Buton, maka saya selalu dilanda rasa sedih. Saya sedih ketika menyadari kenyataan bahwa mamaku akan kembali sendirian dan menjalani hari-hari, tanpa ada anaknya di sisinya. Sudah cukup sering saya datang dan kemudian meninggalkan pulau ini. Namun keberangkatanku kali ini agak berbeda dengan sebelumnya. Sehari sebelumnya, saya sempat bertengkar dengan mama hanya karena hal-hal sepele. Mungkin saya salah saat itu.

Namun, saya hanya ingin memberitahukan satu hal bahwa ada saatnya di mana saya harus memikirkan masa depanku. Ada saat di mana saya harus memikirkan hendak kerja apa. Saya bosan menjadi pengangguran yang dihidupinya. Saya ingin berbuat sesuatu. Sesuatu yang kelak akan sangat penting buat diriku dan keluarga kecil yang kelak akan saya bangun. Namun mamaku tampaknya lebih senang jika saya berada di kampung. Saya dalam dilema.

Setiap kali mengingat mamaku, selalu ada rasa sedih yang merayap di hatiku. Mungkin saya agak melankolis. Namun beberapa tahun ini saya merasakan ada gelora cinta yang dahsyat dalam diriku kepadanya. Saya menyayangi perempuan luar biasa itu. Saya selalu ingin membantunya berjalan menantang hari, memberikannya rasa percaya diri bahwa ada anaknya yang punya pendidikan tinggi dan menemaninya menghadapi semua masalah yang bertubi-tubi menderanya. Langkahnya memang tertatih-tatih sebagaimana rapuhnya rasa percaya dirinya. Mungkin karena itu, ia membutuhkanku sebagai penopang dan tongkatnya agar tidak jatuh.

Sudah dua tahun ini saya selalu pulang kampung dan menemani mamaku dalam berbagai kegiatan, mulai dari pulang ke Ereke sampai mengantarnya tiap hari ke pasar. Saat ia berjalan ke pasar, saya akan selalu berjalan di sisinya, kemudian ia akan memegang tanganku agar tidak jatuh. Saya menjelma menjadi kaki, tangan, serta matanya untuk melihat sesuatu. Saya bangga karena ia mebutuhkanku. Saya bahagia mendampinginya. Malah, saya ingin meneriakkan kepada dunia bahwa saya menyayangi mamaku dan akan melindunginya menghadapi apapun.

Kepada seorang teman, saya pernah mengatakan bahwa saya ingin menjaga mamaku agar kelak menjadi pintu bagiku untuk masuk surga. Mungkin ini agak klise. Tetapi dalam novel Ayat-Ayat Cinta digambarkan bahwa surga adalah rumah yang memiliki banyak pintu dan setiap orang bisa memilih pintu yang mana, apakah pintu buat mereka yang menjalankan salat, pintu buat yang membayar zakat, ataukah pintu mereka yang menjaga amalnya. Saya tak ambisius. Saya hanya ingin mengincar satu pintu yaitu pintu buat mereka yang menyayangi orangtuanya.

Selama dua tahun ini, saya belajar untuk tidak egois. Saya tahu betul bahwa yang dibutuhkan mamaku saat ini bukanlah uang. Ia sudah cukup berkelimpahan. Yang dibutuhkannya hanyalah seseorang yang bersedia menemaninya bercerita, membiarkannya berceloteh tentang hal-hal sepele. Untuk itu, saya siap menemaninya.

Kini, saya terpaksa harus berangkat meninggalkannya. Ada tuntutan masa depan yang harus saya tunaikan. Sehari setelah saya meninggalkan Bau-Bau, ia tiba-tiba meneleponku. Kalimatnya serak. Suaranya parau dan sesunggukan. “Saya sadar bahwa hanya kamu yang selalu pulang dan menghamba untuk saya. Kayaknya kamu akan pergi jauh dari saya dalam waktu lama. Olaimo anangku kaasi...“ Saat itu, saya tak bisa berkata apa-apa. Saya rasa mamaku tak sedang sedih dengan kepergianku. Ia sedih dengan dirinya yang kembali dicekam sepi.(*)


1 komentar:

Anonim mengatakan...

ibu pernah mengusirku minggat dari rumah
tetapi menangis ketika aku susah
ibu tak bisa memejamkan mata
bila adikku tak bisa tidur karena lapar
ibuku memberi pelajaran keadilan
ibu akan marah besar
bila saya merebut hak orang lain
dengan kasih sayang
ketabahan ibuku
mengubah rasa sayur murah
jadi sedap

ibu menangis ketika aku mendapat susah
ibu menangis ketika aku bahagia

ibu adalah hati yang rela menerima
selalu disakiti oleh anak-anaknya
penuh maaf dan ampun
kasih sayang ibu
adalah kilau sinar kegaiban tuhan
membangkitkan haru insan

dengan kebajikan ibu mengenalkan aku kepada Tuhan

Posting Komentar