Semalam Bersama Haji Enal

SEMALAM saya bertemu rekanku sewaktu masih di harian Tribun Timur yaitu Zainal Dalle. Bagiku, Haji Enal --demikian ia disapa-- berbeda dengan sejumlah senior yang lainnya di harian itu.

Ia kebapakan dan mengayomi reporter sebagai saudaranya sendiri. Ia tidak sedang memapankan struktur hubungan kerja, namun sedang membangun hubungan emosional yang kukuh. Makanya, ia sangat memahami apa yang menjadi keinginan para bawahannya. Pribadinya hangat. Ia mudah akrab dengan siapa saja dengan gaya komunikasinya yang cair dan melebur dengan siapa saja. Saya bahagia pernah menjadi anak buahnya.

Enal adalah tipikal jurnalis dengan daya jelajah yang hebat. Ia punya daya tembus sumber yang mantap, serta kemampuan analisis yang sangat mumpuni. Pengetahuannya tentang isu-isu di balik layar politik adalah kelebihan yang jarang dimiliki oleh para jurnalis lainnya. Ketika mendengar ia keluar dari Tribun, saya termasuk orang yang paling menyayangkan kejadian itu. Koran itu sangat rugi melepaskan sosok seperti beliau yang punya insting serta penciuman berita yang handal hingga membuat koran itu melesat bak meteor dalam waku singkat.

Semalam saya bertemu dengannya dalam suasana yang menyenangkan. Kami bertemu di Kafe Cappo, bersama sahabatku Aswan, sesama mantan jurnalis Tribun. Kami saling tertawa ketika mengingat bagaimana kerasnya hidup di bawah deadline. Kami bernostalgia sekaligus saling membagi pengalaman masing-masing. Betapa menyenangkannya bertemu kawan-kawan yang melihat kita sebagai saudara. Tiba-tiba, kita merasa aman dan senang karena persamaan nasib dalam melawan waktu. Enal dan Aswan adalah dua orang terbaik yang pernah kutemui di Makassar.

Malam itu, saya diajak Enal dan Aswan keliling kota Makassar untuk melihat sudut-sudut kota yang menjadi sasaran kampanye para caleg. Kami banyak diskusi. Namun saya lebih banyak mendengarkan Enal. Saat menemani Enal bertemu anggota masyarakat, saya kembali kagum menyaksikannya. Ia kembali menunjukkan gaya khasnya yang menghargai siapapun yang diajaknya berbicara. Ia mengajak seorang supir yang tak bisa baca tulis sebagai sahabatnya di jalan. Sang sopir itu bekerja mati-matian membantunya, namun tetap tak kehilangan sense of humor ketika sesekali mencandai Enal. Di situlah saya melihat betapa luas dan tak bertepinya hati Haji Enal.(*)



0 komentar:

Posting Komentar