Filsafat Perang dalam Film Red Cliff 2


SAYA menempatkan film Red Cliff 2 karya sutradara John Woo sebagai salah satu film laga yang hebat. Meski film ini dipecah menjadi dua episode karena saking panjangnya, tetap saja tidak mengurangi antusiasku untuk menontonnya. Saat berada di Makassar, saya memutuskan untuk nonton karena penasaran dengan lanjutan kisahnya.

Film ini berlatar Cina kuno, pada periode konflik antara kekaisaran yang korup dengan para bangsawan yang mengepalai kerajaan-kerajaan kecil di wilayah Cina. Ketika konflik kian membuncah, maka peperangan menjadi bahasa terakhir yang sama-sama dikumandangkan. Perang seolah menjadi jalan satu-satunya untuk menegakkan ego serta menunjukkan supremasi. Soal nyawa yang setiap saat melayang, seakan menjadi tidak penting lagi. Meskipun pasukan berpatahan dan gugur satu per satu, semuanya seakan tidak ada harganya

Cina adalah negeri yang terobsesi dengan persatuan. Apapun akan ditegakkan demi persatuan, meskipun harus dibayar dengan harga yang mahal yaitu peperangan di kalangan sesama saudara. Obsesi persatuan itu sudah ada sejak masa kekaisaran hingga kini. Makanya, ketika beberapa hari lalu saya membaca berita The Strait Times bahwa Cina masih tak rela lepasnya Taiwan, maka itu adalah refleksi dari obsesi persatuan yang berurat-akar dalam sejarah bangsa Cina sejak masa silam.

Nampaknya, film Red Cliff 2 hendak memotret kecamuk konflik dalam peperangan tersebut. Ketika persaudaraan tidak bisa bertaut dan diakomodasi dalam etika bernegara yaitu kesediaan menerima fakta bahwa hanya ada satu orang yang layak menjadi kaisar, maka peperangan menjadi jalan keluar. Masalah kian mencuat ketika tindakan seorang kaisar melanggar hak asasi orang lain. Tangan besi sang kaisar untuk menegakkan persatuan dan wibawa kekaisaran adalah ancaman bagi keluarga bangsawan lainnya dan menjadi sinyal yang memantik perang.

Film Red Cliff 2 adalah kisah tentang peperangan berlangsung laksana air bah yang menjebol sebuah bendungan. Ribuan pasukan saling berhadap-hadapan, mengatur siasat, serta taktik apa yang akan ditempuh demi mengalahkan yang lain. Dalam perang kolosal semacam itu, posisi individu menjadi angka-angka. Orang berbicara berapa banyak pasukan, berapa banyak korban, serta bagaimana menghadapi pasukan yang banyak itu. Manusia menjelma ke dalam angka statistik yang sesungguhnya tak adil.

Saya cukup menikmati film ini yang seakan hendak mengajarkan bahwa sebuah strategi ulung sangatlah penting untuk memenangkan perang. Fim ini bisa dipandang tafsir dramaturgi Erving Goffman; bahwa seperti halnya sebuah panggung, maka perang bersenjata adalah panggung depan saja. Di balik itu, ada siasat, serta sejumlah aktor dengan berbagai latar belakang yang saling berkontestasi. Kehebatan di arena perang hanyalah tampakan luar dari kecerdasan sejumlah aktor di balik layar yang menggerakkan pasukan laksana menggerakkan bidak catur.

Di balik arena peperangan itu, sesungguhnya ada ketenangan serta kejernihan memandang kekuatan sendiri, kekuatan lawan, hingga bagaimana mengubah keadaan terpojok menjadi kemenangan. Di situ juga ada sikap heroik seorang pemimpin yang selalu membakar semangat anggota pasukan sehingga semuanya seia-sekata dengan semangat melambung tinggi untuk menetak lawan dan membawa pulang kemenangan.

Ketenangan dan kejernihan itulah yang menjadi senjata paling pamungkas. Saya kira, ajaran ini dipengaruhi maestro strategi perang Sun Tzu yang menulis buku klasik The Art of War. Kehebatan Sun Tzu karena melihat perang bukan sebagai adu otot dan strategi. Perang adalah arena kontestasi strategi. Kemenangan hanyalah buah dari strategi yang matang dan terukur di medan laga.

Pandangan khas Sun Tzu ini tidak cuma diaplikasikan di medan pertempuran saja, namun merambah ke berbagai aspek dalam hidup, termasuk bisnis. Hidup adalah arena peperangan terus-menerus dengan yang lain sehingga pemenangnya adalah mereka yang bisa membaca dirinya dengan baik, membaca orang lain, serta membaca tanda-tanda semesta. Sun Tzu menyebut perang adalah seni kehidupan, bukannya sains. Makanya, sebagaimana lazimnya seni, hidup juga bukan soal memang-kalah, namun seberapa pandai kita dalam menyiasati dinamika serta pergolakan tantangan yang kita hadapi secara terus-menerus. Seberapa peka kita dalam membaca posisi kita di semesta raya.(*)


Makassar, 27 Januari 2008



0 komentar:

Posting Komentar