Baliho sebagai Teropong Atas Kuasa dan Politik Dinasti di Sultra (Ekspedisi Kendari 4)

BALIHO menjadi pemandangan umum dan paling banyak ditemukan di seluruh kota-kota di Indonesia, termasuk Kendari. Jelang pemilu, baliho seakan menjadi satu-satunya cara untuk memperkenalkan diri serta kail untuk memancing simpati publik. Para politisi maupun calon politisi nampaknya menyadari betul bahwa di zaman ini popularitas adalah unsur yang paling penting demi memenangkan pemilu. Makanya, publik di negeri ini hanya dipertontonkan kedangkalan dan permukaan semata. Sementara kedalaman dan kejernihan adalah sesuatu yang harus dicari laksana mencari jarum di tengah jerami. Politisi ikut membodohi publik, tanpa mencerahkan. Dan baliho adalah instrumen untuk pembodohan.

Dalam perjalanan dari pelabuhan menuju rumah temanku di Kampus Unhalu, ribuan baliho bergambar calon anggota legislatif (caleg) bertebaran di pinggir jalan. Nampaknya, semua politisi negeri ini punya strategi yang sama: mengandalkan baliho, stiker, serta kalender sebagai satu-satunya cara bersosialisasi. Entah siapa yang memulai, namun baliho menjadi satu-satunya strategi kampanye dan memasarkan diri. Itu sudah jamak di kalangan para politisi maupun ilmuwan politik.

Namun, saat menyaksikan ribuan baliho itu, saya tiba-tiba berpikir lain. Barangkali, baliho bisa menjadi jendela untuk memahami bagaimana kebudayaan dan dinamika politik serta isu-isu yang mendominasi atmosfer politik di satu kawasan. Dengan amatan yang detail pada gambar maupun pesan di situ, maka kita serasa memandang melalui teropong dan melihat secara utuh bagaimana politik dan kebudayaan bekerja secara operasional di benak orang-orang. Baliho menyiratkan pesan dan gambar yang merupakan refleksi atas apa yang terjadi di suatu tempat sehingga direpresentasikan dalam baliho. Artinya, baliho adalah medium representasi dari suatu genangan isu budaya yang mempengaruhi dan dipengaruhi cara pikir masyarakat.

Apa yang tampak dalam baliho di Kendari? Secara sepintas, pemandangan di baliho itu tak jauh beda dengan kota lain. Hampir semuanya, menampilkan potret diri dalam beragam ekspresi dan atribut. Ada yang mengenakan peci, memperlihatkan janggut, hingga pesan-pesan politik. Namun, saya mencatat beberapa hal yang cukup menarik untuk didiskusikan. Saya Cuma bisa merangkum dua hal yang menjadi warna politik di Kendari.

Pertama, banyak baliho yang pesannya biasa saja, namun sang caleg memajang namanya besar-besar demi menampilkan dirinya sebagai bagian dari trah bangsawan Tolaki. Pada masa Orde Baru, isu etnis seperti Tolaki sudah lama punah, namun kembali mekar ketika tatanan politik digeser pada penguatan massa. Ini adalah isu primordialisme yang kian kuat mendominasi politik lokal. Beberapa nama trah atau dinasti yang sempat saya catat adalah Silondae, Abunawas, Porosi, Pedansi, Konggoasa, ataupun Tamburaka. Pada masa silam, dinasti tersebut dulunya mendominasi iklim politik. Nama-nama itu mengisyaratkan kekuatan masa lalu yang punya sejarah emas dan hendak dibangkitkan kembali. Mungkin, cara berpolitik orang Tolaki lebih ke arah oligarki. Mereka berpolitik dalam dinasti, kelompok, ataupun klan. Kekuasaan diwariskan secara turun-temurun melalui dinasti tersebut. Anggota dinasti itu merasa bahwa merekalah yang berhak menduduki posisi penting di politik. Seolah kekuasaan terlahir dan hanya berputar di kalangan mereka. Saya terkejut melihat bahwa anggota dinasti itu cukup banyak yang tampil ke panggung politik. Bahkan, mereka juga mengajak istri, anak, serta menantu, kemudian melekatkan namanya dengan nama dinasti besar tersebut. Namun, saya sendiri tidak terlalu yakin kalau mereka punya massa yang besar. Buktinya, Nur Alam yang tidak berasal dari trah bangsawan, bisa menjadi Gubernur Sultra. Pemilu yang kelak akan menjawabnya.

Kedua, Kendari adalah sebuah kota yang cair dan menjadi ajang kontestasi beragam etnis. Meskipun orang Tolaki adalah bangsa asli yang lahir di situ sejak ribuan tahun lalu, namun politik adalah arena yang membenturkan mereka dengan beragam kekuatan lainnya. Saat ini, peta politik Sultra terbagi dalam geopolitik yang membagi wilayah itu menjadi dua yaitu daratan dan kepulauan. Daratan adalah wilayah Kendari, Kolaka (yang notabene berada di daratan Pulau Sulawesi). Sedangkan kepulauan adalah mereka yang berdomisili di Buton, Muna, serta pulau-pulau lainnya. Gesekan di antara dua kekuatan ini selalu terjadi dan melibatkan begitu banyak kekuatan lainnya.

Fakta bahwa etnis Muna berjumlah sekitar 40 persen dari total penduduk Kendari adalah fakta yang mengejutkan. Ditunjang dengan etos kerja yang tinggi, etnis Muna menjadi kekuatan besar laksana air bah dan memiliki posisi tawar yang tinggi dalam dinamika kekuatan politik di wilayah itu. Apalagi jika digabung dengan Buton, maka orang kepulauan punya kekuatan besar untuk membalikkan situasi. Apalagi, sejarah kursi Gubernur Sultra lebih banyak dipegang oleh orang kepulauan ketimbang daratan.

Apa hal yang bisa dilihat di sini? Bagiku, etnis Tolaki berada dalam posisi terjepit di antara berbagai kekuatan lainnya, termasuk pendatang yaitu Bugis Makassar. Etnis Bugis-Makassar adalah pendatang yang sukses menguasai wilayah ekonomi di Sultra. Orang Tolaki atau orang Kendari dalam posisi terjepit. Ketika Bugis menguasai sektor ekonomi, Muna menguasai dunia politik, maka kontestasi politik di wilayah itu menjadi sukar diprediksi. Jika hari ini Nur Alam jadi gubernur dan orang daratan berkuasa, maka tentulah peta politik di masa depan tidak selalu demikian.(*)


1 komentar:

Anonim mengatakan...

Mas, orang2 Tolaki waktu Masa Orde Baru mendominasi politik lokal saja atau negara mas?
Lalu, apa hubungannya etnis tolaki dengan dinasti Silondae, Abunawas, Porosi, Pedansi, Konggoasa, ataupun Tamburaka?
Terima kasih

-maba-

Posting Komentar