Saya Rindu Rumah yang Sebenar-Benarnya

TADI saya sudah mendapat kepastian kapan menjalani ujian. Insya Allah, Desember ini saya akan menuntaskan kerja kerasku di kampus UI. Jelang ujian ini, pikiran saya sudah mulai memikirkan hendak ke mana langkah kaki ini bergerak. Barangkali sudah saatnya saya kembali ke rumah. Saya laksana burung yang jauh mengangkasa dan sudah rindu untuk pulang. Saya laksana elang yang mulai lelah memandang buruan hingga ke sudut-sudut hutan dan tiba-tiba saja disergap rindu untuk membagikan makanannya pada mulut elang kecil yang menciap-ciap.

Saya ingin pulang dan mencari ketenangan di rumah. Bagiku, rumah memiliki dua pengertian. Pertama, rumah yang lebih bermakna materi berupa bentuk fisik. Rumah adalah satu tempat kembali ketika tubuh lelah dan hendak dilabuhkan. Rumah adalah tempat bernaung dari segala panas, hujan dan petir. Rumah adalah tempat kita memulai dan mengakhiri hari. Ini adalah pengertian yang pertama.

Sedangkan pengertian kedua adalah rumah tempat jiwa kembali. Rumah yang tsebenar-benarnya dan idak sekadar bentuk fisik, melainkan tempat jiwa menemukan genangan bahagia. Saya rindu dengan rumah yang selalu membasahi hatiku dengan setetes embun pencerahan. Sebuah suasana ketika batinku selalu basah dengan keharuan dan kebahagiaan yang membumbung tinggi. Saya rindu dengan saat-saat kecil yang penuh makna. Saat ketika bangun pagi dan menemukan semua orang yang kita kasihi hidup di rumah yang sama. Saat ketika kita lelah dan semua semesta di sekeliling kita tiba-tiba menawarkan kesejukan untuk membasuh lelah kita.

Rasa-rasanya sudah terlalu jauh kaki ini bergerak. Saya ingin jadi manusia biasa sebagaimana orang lain. Saya ingin menciptkana semesta rumah yang selalu memberikan ketenangan itu. Saya ingin hidup bersama keluarga yang berlimpah kasih. Mereka yang selalu siap menerimaku meskipun saya sedang patah. Hidup ala pengelana seperti saat ini sudah melelahkan bagiku. Pikiranku terlalu banyak mengembara pada ranah yang tak jelas. Mulai dari memikirkan bangsa, memikirkan teori-teori sosial yang jelimet (yang hingga kini tak juga kupahami maknanya), hingga memikirkan kapan perubahan bisa mekar di negeri ini.

Mungkin saya agak melankolis hari ini. Tapi itulah pusaran pertanyaan yang terus mengiang di benakku. Barangkali sudah waktunya untuk kembali dan menata hidup.


Depok, 27 November 2008
Pukul 17.29 WIB


1 komentar:

Unknown mengatakan...

kembali ke rumah dan menata hidup bagi sobatmu ini adalah keputusan terbaik. Entah sampai kapan itu 'barang' dipake pipis. ditukar dengan selang mungkin akan lebih lancar. Yus, Rumah dalam konsepsi nalarmu bagiku tepat. Tetapi 'rumah' yang sebenarnya adalah tempat yang engkau bangun sendiri bersama keluargamu kelak. Engkau akan merasakan 'rumah' sebagai surga jikalau ada telapak kaki sang Ibu yang kelak akan melahirkan generasimu. Yusran Junior Sang Perenung dan Pencipta frase yang indah kami tunggu. Semoga kuliahmu baik-baik saja. Sobatmu ini berharap engkau tetap dalam lindungan Allah SWT

Posting Komentar