Melihat Kapal Dungku Changia (Ekspedisi Pasarwajo-Wabula 4)


DUNGKU Changia adalah laksamana Mongol yang hendak menaklukan Raja Kertanegara di Singasari. Bersama dua laksaman lainnya, pria yang bernama asli Kau Ching ini datang ke Nusantara mengemban tugas dari Kaisar Kubilai Khan, sang Kaisar Langit untuk menghukum keangkuhan Raja Kertanegara yang sempat melukai utusan Mongol beberapa tahun sebelumnya.

Dengan bala tentara ribuan orang, Kau Ching siap menghunus pedang demi menunjukkan pada Singasari bahwa Mongol adalah kekaisaran yang sungguh perkasa dan sudah digariskan dari Thian yang agung. Sayangnya, saat tiba di perairan Nusantara, ternyata Kertanegara sudah tewas. Singasari tinggal puing setelah dikudeta Raja Jayakatwang dari Kediri. Kemudian pasukan Mongol itu diperdaya Raden Wijaya untuk menghancurkan pasukan Jayakatwang, setelah itu pasukan Mongol itu diumpas secara licik oleh Raden Wijaya yang kemudian mendirikan Majapahit. Pasukan Mongol kocar-kacir menyelamatkan diri.

Itu adalah versi sejarah resmi nasional kita. Namun adakah kelanjutan kisah tersebut? Sejarah kita tak punya catatan. Namun orang Buton punya cerita bagaimana kelanjutannya. Laksamana Kau Ching itu melarikan diri dan perahunya terdampar di sebelah selatan Pulau Buton. Kisah terdamparnya perahu tersebut, menjadi cerita yang tersebar di seantero kampung. Kau Ching lalu diangkat sebagai raja dan mengganti namanya menjadi Dungku Changia. Ia menikah dengan warga setempat. Makanya, banyak warga setempat yang berkulit putih sehingga kampung itu disebut Wabula atau putih. Ketika mendengar seorang putri Cina bernama Wa Kha Kha menjadi Raja Buton, Dungku Changia lalu ke Keraton Wolio dan menjadikan dirinya sebagai abdi setia.

Perahu yang pernah digunakannya tersebut, hingga kini masih disimpan oleh warga. Perahu yang dinamakan La Kambai Bunga dipajang di Desa Wasuemba, yang berdampingan dengan Wabula. Menurut cerita warga setempat, saat ditemukan, perahu itu tinggal kerangka. Baru-baru ini, beberapa warga berinisiatif untuk memugar perahu itu, kemudian dicat sehingga nampak baru. Kini, perahu itu terlihat cantik seperti perahu baru.

Menyaksikan perahu itu, batin saya sempat memprotes. Mestinya, kerangka yang berusia ratusan tahun itu dibiarkan tetap utuh agar menjadi saksi perjalanan perahu membelah lautan demi mengantarkan Dungku Changia. Menyaksikan kerangka perahu yang nyaris hancur itu, tentunya mendatangkan getar tersendiri sebab kita menyadari di balik kayu yang keropos itu, sesungguhnya ada cerita besar pergulatan melawan nasib. Kita bisa memahami keteguhan Kau Ching yang diombang-ambingkan gelombang demi menemukan negeri yang bisa menerimanya kelak. Kayu yang keropos dan lapuk adalah simbol perjuangan melawan ketuaan yang hendak menelan bulat-bulat.

Tindakan warga yang membangun ulang dan mencat sepeti perahu baru adalah tindakan yang keliru. Justru ketika perahu itu tampak baru, maka dia akan kehilangan getar itu. Saya hanya bisa menyaksikan saja. Meski nampak baru, warga tetap memperlakukan perahu itu sebagai perahu keramat. Banyak mitos yang diceritakan tentang perahu. Misalnya, meski bocor namun saat berada di atas air, maka akan mengapung. Banyaknya mitos itu, membuat warga selalu menggelar ritual setiap tahunnya. Mereka menyembelih kambing, sambil menggelar ritual adat yang dipimpin oleh seorang Parabela. Dalam kebudayaan Buton, parabela adalah jabatan yang dberikan Kesultanan Buton kepada pemimpin kampung yang juga menjadi pemimpin dalam semua upacara adat. Hingga kini, masih ada parabela di Wabula. Sayangnya, saya tak punya banyak waktu untuk ketemu Parabela itu. Saya harus segera pulang. Dan setelah memotret beberapa sisi perahu, saya langsung tancap gas pulang ke Bau-Bau.(*)


20 AGustus 2008

1 komentar:

Anonim mengatakan...

mungkin tindakan memugar tidak bisa disalahkan sepenuhnya bang, mengingat daerah wabula dapat dibilang daerah yang paling ujung dimana tidak seperti di kota-kota besar yang terdapat museum sehingga barang-barang yang umurnya ratusan tahun bisa awet tersimpan, hanya dengan cara itulah mereka bisa melestarikan titipan budaya yang merupakan bagian dari sejarah indonesia yang hilang, andai saja semua orang membaca tulisan abang, dapat lebih kaya wawasannya mengenai khasanah budaya bangsa.

Posting Komentar