Baris-Berbaris, Resistensi, dan Wacana Tanding

MATA Tika (8) berkaca-kaca. Gadis kecil yang duduk di kelas 4 SD 2 Ngangana Umala di Kota Bau-Bau, sedari pagi sudah sembab. Tepat ketika matahari berada di ubun-ubun, ia hanya duduk saja di depan rumahnya berdinding bambu sambil menunduk. Ada apakah gerangan? Ternyata, ia sedang bersedih karena tak bisa ikut baris-berbaris sebagaimana anak kecil seusianya.

Minggu lalu saya menyaksikan mata Tika yang sembab. Kebetulan, saya tinggal di sebelah rumahnya, sehingga bisa mengetahui apa kesedihan yang sedang melandanya. Ia harus menahan keinginannya ikut di ajang baris-berbaris karena semua siswa yang ikut diwajibkan untuk membayar biaya pakaian. Ayahnya yang berprofesi sebagai tukang batu, tak kuasa membayar biaya tersebut. Tika hanya bisa sembab.


Kemarin, saya menyaksikan baris-berbaris tersebut. Selama tiga hari di Kota Bau-Bau, mulai tanggal 11-13 Agustus, beberapa ruas jalan di kota kecil ini ditutup karena dilalui para peserta berbaris. Acara baris-berbaris ini diikuti tidak hanya oleh siswa SD, SMP maupun SMA. Namun, acara ini juga diikuti oleh semua organisasi baik karang taruna, dharma wanita, majelis taklim, karyawan instansi, hingga berbagai organisasi profesi. Saya memperkirakan sekitar separuh penduduk Bau-Bau ikut acara ini. Bayangkan saja, dalam sehari jumlah yang berbaris sangat banyak. Sejak acara dimulai pada pukul 08.00 wita, hingga pukul 14.00 wita, acara belum berakhir, saking banyaknya peserta berbaris. Dan pada hari ke-3, jumlah peserta berbaris kian membeludak. Jika dalam satu barisan, jumlah pesertanya hingga sekitar 30 orang, maka bayangkanlah berapa peserta berbaris jika terdapat sekitar 3.000 barisan. Jumlah yang fantastis.

Para peserta berbaris rata-rata mengenakan pakaian yang unik dan mencolok mata. Untuk pakaian tersebut, mereka mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Di sekolah Tika, siswa yang ikut berbaris harus mengeluarkan biaya sebesar Rp 35.000 (sebuah biaya yang tidak disanggupi Tika). Jumlah itu tidak seberapa jika seberapa jika dibandingkan dengan biaya yang dibebankan siswa sekolah lain. SD 2 Bau-Bau yang terletak di kawasan perkotaan, mematok biaya sekitar Rp 400.000. Jumlah yang cukup besar hanya untuk acara berbaris yang dijalani cuma sekitar tiga jam lebih.

Pengeluaran untuk Dharma Wanita atau Majelis Taklim bisa jauh lebih besar. Maklumlah, kadang mereka membeli busana muslim yang lengkap mulai dari aksesori jilbab hingga kain panjang yang seragam. Jika harga pakaian itu bisa Rp 500.000, maka mereka akan mengeluarkan uang sampai segitu. Itu belum termasuk biaya sepatu baru, topi atau jilbab, serta kadang-kadang selendang. Intinya adalah baris-berbaris adalah aktivitas yang banyak menghabiskan uang.

Awalnya, saya tak habis pikir, Ngapain harus mengeluarkan duit yang sebegitu besar untuk sesuatu yang “tak jelas”? Hanya demi berjalan kaki berpanas-panas di tengah kota, kemudian menghormat di depan wali kota? Saya sering menanyakan hal itu. Saat menyaksikan acara tersebut, saya sempat mendengar dialog seorang guru –yang mengiringi siswanya yang berbaris—dengan warga. “Ini demi nasionalisme. Cuma setahun sekali acara ini digelar. Makanya kita harus semangat sebagai bentuk kecintaan kepada bangsa ini,” kata guru tersebut dengan yakin.

Saya tak percaya dengan penuturan guru itu. Bagiku, wacana nasionalisme dalam baris-berbaris di kampung seperti Bau-Bau adalah wacana usang. Orang tak pernah tahu apakah makna nasionalisme. Indonesia tidak lebih dari sebuah imajinasi yang diajarkan di sekolah dan disakralkan dalam sebuah upacara bendera. Indonesia tak lebih dari ingatan-ingatan tentang negeri berbendera merah putih dan kita hanyalah sekrup kecil yang menjadi bagian dari mesin besar bernama negara. Kita tak punya nasionalisme sebagaimana rumusan Goenawan Mohamad yaitu “perasaan yang menggumpal dan bergejolak dalam diri ketika melihat bendera merah putih dinaikkan, rasa hati yang haru tak bertepi ketika mendengarkan lagu kebangsaan Indonesia Raya dikumandangkan.”

Lantas, jika nasionalisme adalah sebuah konsep yang abstrak di kepala, apakah makna baris berbaris? Saya lebih melihatnya sebagai sebuah pesta besar di mana semua warga bisa terlibat di dalamnya. Bagi warga Bau-Bau, berbaris adalah kegiatan di mana kita berdandan sebaik mungkin, secantik mungkin, kemudian berjalan secara rapi dan berirama di tengah kota. Jalanan raya yang dilalui oleh pserta berbaris ibarat sebuah catwalk yang sangat panjang, di mana kita berjalan teratur melewatinya dan disaksikan ribuan pasang mata warga yang menyaksikannya. Berbaris adalah sebuah pesta besar di mana semua orang tua ingin menyaksikan anaknya berdandan kemudian disaksikan secara bersama-sama. Ada pujian, ada tepuk tangan, serta jari yang menunjuk bangga seraya berkata,”Itu anakku.”

Yang menarik bagiku adalah pakaian yang dikenakan kelompok pemuda maupun karang taruna. Pakaian mereka sangat unik dan bercirikan generasi muda perkotaan yang gaya dan trendy. Jika banyak barisan yang berpakaian seragam, maka mereka berpakaian kreasi yang unik-unik. Misalnya baju kaos yang dipadu dengan dasi serta kaca mata hitam, atau pakaian remaja putri yang seksi berupa rok mini dipadu stoking yang kemudian menampakkan kakinya yang mulus. Malah, banyak barisan yang rambut semua pesertanya diberi warna-warni yang mencolok. Gaya mereka juga unik. Jika banyak barisan yang berbaris kaku dan menatap lurus ke depan, maka gaya anak muda itu sangatlah dinamis. Mereka tak mau kaku. Jika ada yang menyapa di jalan, mereka balas menyapa. Jika barisan berhenti, mereka tak mau berdiri diam kayak patung, namun berdiri dengan santai, malah sesekali berbincang dengan temannya di sekeliling.

Seminggu sebelum acara berbaris, hampir setiap jengkal di jalan raya, ada saja yang sedang latihan berbaris. Para peserta sibuk latihan kemudian berdiskusi hendak mengenakan kostum seperti apa. Saya jadi ingat Festival Fashion Jember yang diklaim sebagai festival mode yang terbesar di negeri ini. Festival itu hampir mirip dengan festival yang ada di Brasil. Semacam arak-arakan mode di mana semua orang menampilkan desain terbarunya. Di ajang ini, banyak warga yang berdandan dan memamerkan koleksi terbarunya di rute jalan raya yang sangat panjang. Mereka berlenggak-lenggok seperti peragawati yang hadir dengan pakaian yang indah. Mereka bergembira dengan pakaian kreasinya tersebut.

Lantas, apakah baris-berbaris di Bau-Bau sama persis dengan festival di Jember? Menurutku tidak sama persis, namun banyak bagian yang mirip. Baris-berbaris itu menympan dua makna bagi warga. Pertama, sebagai sebuah pesta besar di mana semua orang ingin berpartisipasi dan disaksikan. Kedua adalah sebagai arena menampilkan identitas. Sebagaimana halnya dandanan anak muda yang unik-unik itu, mereka sedang menampilkan identitas diri mereka. Mereka seakan berteriak “inilah aku.” Jika dianalisis lebih jauh, kesertaan warga di ajang berbaris ini, maka mereka sesungguhnya sedang melakukan resistensi (perlawanan) kultural terhadap negara. Mereka sedang membangun wacana tanding tersendiri yang berada di luar mainstream negara. Jika negara punya wacana nasionalisme, maka warga punya wacana lain yaitu tampil di catwalk, serta arena unjuk identitas.(*)

Pulau Buton, 13 Agustus 2008

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Masih ada juga makna berbaris yang lain odhe. Saya sempat kenalan dengan cewe manis waktu nonton itu acara.

Posting Komentar