Naga Hijau di Pulau Buton


HAMPIR semua atap rumah panggung dan gedung-gedung di Pulau Buton, bisa ditemukan pahatan nenas serta naga kecil di belakangnya. Nenas merupakan simbol Kesultanan Wolio yang punya sejarah yang panjang. Sedangkan Naga merupakan hewan mistis yang sedemikian populer dan bisa ditemukan di berbagai sudut kota. Bahkan di Pantai Kamali –yang terletak di Kota Bau-Bau--, terdapat patung naga berwarna hijau yang sangat besar, sebagaimana yang tampak pada gambar di atas.

Awalnya, saya mengira naga itu hanya populer di Bau-Bau saja. Namun, setelah saya berkunjung di ibukota Kabupaten Buton di Pasarwajo, ternyata naga itu juga terpasang di semua rumah. Saat singgah ke kantor bupati, naga juga terpasang di atap gedung. Dan di dalam gedung, terdapat dua lukisan naga yang sangat besar di dekat pintu masuk. Demikian juga di Kabupaten Wakatobi.

Berdasarkan wawancara saya dengan sejumlah orang, perihal naga ini dianggap sebagai link atau garis keterkaitan antara Buton dengan imperium Cina di masa lalu. Naga dikenal sebagai hewan mitis yang tidak pernah ada, namun seakan pernah hidup dalam folklor atau dongeng bangsa Cina. Keberadaan naga di Buton bisa tafsir bahwa di masa lalu, pernah terjadi kontak atau dialog dengan kebudayaan Cina melalui kehadiran sejumlah tokoh asal Cina di tanah Buton.

Misalnya adalah pria yang dikenal sebagai Dungku Changia. Tokoh ini sangat penting sebab punya andil besar pada terbentuknya Kerajaan Buton, sekitar 500 tahun silam. Menurut sejarawan lokal di Buton, tokoh ini merupakan salah seorang dari tiga laksamana Mongol yang datang ke Tanah Jawa untuk menghukum Raja Kertanegara, Raja Singosari yang terakhir. Dikisahkan bahwa pada masa itu, Kertenegara tidak mau tunduk pada kekuasaan Mongol dan melukai utusan Mongol bernama Meng Chi yang datang menghadap. Penghinaan ini dibalas Mongol dengan mengirimkan ribuan armada perang untuk menghukum Kertanegara, dan salah satu dari tiga laksamana yang memimpin armada itu adalah Dungku Changia atau Kau Shing.

Sayangnya, setiba di jawa, ternyata pemerintahan Kertanegara sudah berakhir sebab dikudeta oleh Jayakatwang dari Kediri. Seorang pria bernama Raden Wijaya berhasil memperalat bangsa Mongo, tersebut untuk menyerang Jayakatwang, kemudian ia juga berhasil memperdaya pasukan Mongol itu sehingga berhasil dikalahkan dengan cara yang licik. Ini adalah versi sejarah yang sangat populer di Indonesia. Namun, sejarah hanya mencatat bagaimana Raden Wijaya mendirikan Kerajaan Majapahit dan mendapatkan kejayaan di Nusantara. Sejarah tak punya cerita bagaimana selanjutnya nasib ketiga laksamana yang memimpin bala tentara Mongol tersebut.

Nah, orang Buton punya cerita bagaimana kelanjutan kisah tersebut. Bersama pengiringnya, Kau Shing melarikan diri dan tak hendak kembali ke Mongol. Dia lalu singgah ke Tanah Buton dan kemudian mengaku sebagai Dungku Cangia. Banyak sejarawan lokal yang menduga bahwa ikhwal naga ini berawal dari kehadiran Dungku Cangia di Tanah Buton.

Namun, itu hanyalah satu versi sejarah yang paling populer. Saya juga menemukan versi lain di sini. Naga populer bernama Lawero itu pernah hidup di Buton pada suatu masa. Kata sejarawan itu, Lawero tidak sama dengan naga, namun bentuknya mirip dengan naga. Lawero berbentuk seperti ular, namun punya surai atau semacam rumbai-rumbai di badannya. Hewan itu berukuran kecil seperti jari tangan, dan biasa ditemukan di pohon libo (saya tidak tahu apa nama latin pohon ini, namun waktu kecil buahnya sering saya jadikan roda untuk mobil-mobilan).

Lawero bisa berkok seperti ayam. Dulunya, Lawero bisa ditemukan di Buton, namun belakangan ini sudah lenyap. Menurut versi yang saya temukan, gambar Lawero yang paling mendekati kenyataan adalah patung yang dulunya dipasang di atap rumah anjungan Sulawesi Tenggara di Taman Mini Indonesia Indah di Jakarta. Sayangnya, pada masa Gubernur Laode Kaimuddin, rumah tersebut sudah dibongkar dan diganti dengan rumah adat lainnya. Menurut sejarawan yang saya wawancarai tersebut, replika yang sekarang ini paling mendekati kenyataan adalah patung Lawero di atap Kantor Bupati Buton di Pasarwajo. Sayangnya, bentuk hiasan di kepalanya berbentuk seperti jambul ayam. Padahal, sesungguhnya tidak demikian. Yah, itulah mitos. Selalu kontroversial.(*)


6 komentar:

Maha mengatakan...

hoohh..!!?? kok bs ada naga ya?
oo gitu ya sejarahnya
sy pernah denger kl di buton sultan hasanuddin itu perampok ya, bener ngga sih..?

Unknown mengatakan...

kalau boleh dijelaskan mengapa sampai patung naganya hanya setengah, setengah badan termasuk ekor naganya itu ada dimana..mhon dijeskan..trimaksih.

Unknown mengatakan...

Lawero masih ada di tanah toraja. Kalau di toraja namanya Ula'RAE

Unknown mengatakan...

Lawero masih ada di tanah toraja. Kalau di toraja namanya Ula'RAE

Unknown mengatakan...

Lawero masih ada di tanah toraja. Kalau di toraja namanya Ula'RAE

Anonim mengatakan...

Saya lg jln ke bau bau penasaran dng kisah nya

Posting Komentar