Bukuku Akan Segera Terbit


SAYA akan mencatat hari ini sebagai hari yang terpenting dalam sejarah hidupku. Hari ini, proposal yang saya ajukan bersama teman-teman Respect untuk menerbitkan buku berjudul Menyibak Kabut di Keraton Buton, akhirnya disetujui. Setelah lama proses lobi, negosiasi, serta debat yang alot, akhirnya buku kami akan segera diterbitkan.

Jumlah duit yang dikucurkan Pemkot Bau-Bau tidak seberapa besar. Namun bukan uang yang kami cari. Sejak awal penerbitan buku ini, kami tidak berpikir materi yang kelak kami raup sebagai imbalan atas lahirnya sebuah karya tentang daerah ini. Kami berharap karya ini bisa menjadi salah satu bentuk pencapaian intelektualitas kami. Suatu bentuk prestasi yang kami torehkan dan belum pernah dilakukan generasi sebelum kami. Mungkin pernyataan ini agak angkuh, namun kamilah yang pertama memulai tradisi membuat buku di Tanah Buton.

Karya ini lahir karena didasari semangat dari generasi muda untuk menuliskan sendiri segala hal yang menyangkut tanah kelahirannya. Tulisan ini punya nilai tersendiri sebab dituliskan oleh putra asli Buton yang didalamnya berisi memori, refleksi, catatan atas kesaksian serta harapan terhadap daerahnya. Buku ini mengusung misi idealis yaitu menulis dan mencatat dengan semua pengetahuan lokal yang kami miliki demi menjerat setiap refleksi atas tanah kami. Kami bersemangat menulis sebab kami didera kekhawatiran melihat begitu banyaknya publikasi tentang Buton yang dihasilkan ilmuwan asing. Sebenarnya ini tidak masalah sebab mengangkat citra daerah ini. Namun sayangnya, banyak tulisan tersebut yang dibuat dengan hasrat kolonial yaitu menafsir Buton tidak dengan cara pandang Buton, melainkan dengan cara pandang orang luar yang sangat otoritatif.

Memang, sebelumnya ada beberapa buku tentang Buton. Misalnya karya JW Schoorl tentang Masyarakat dan Kebudayaan Buton, kemudian kamus Wolio Dictionary karya J Anceaux, serta Naval of the Perahu karya Southon. Ada juga buku karya Abdul Rahim Yunus yang judulnya Perkembangan Tasawuf di Tanah Buton. Semua karya tersebut diterbitkan di luar negeri yaitu Belanda dan dihasilkan oleh penulis yang bukan berasal dari Tanah Buton. Jika Schoorl dan Ancheaux berasal dari Belanda, maka Southon berasal dari Australia. Sedangkan Rahim Yunus sendiri berasal dari Sulawesi Selatan.

Beberapa penulis lokal sempat juga meramaikan khasanah karya tentang Buton seperti Laode Zaenu, Mulku Zahari, Budi Wahidin, hingga LA Muchir. Namun karya mereka tidak diterbitkan secara profesional dan tidak juga disebarkan secara luas. Karya mereka hanya dicetak secara stensilan dan hanya diedarkan di Buton saja. Mereka tidak mengedit dan mencetak karyanya dengan kualitas yang bagus, kemudian mendaftarkannya di Perpustakaan Nasional. Karya itu hanya beredar secara lokal dan tidak menyentuh banyak orang.

Namun karyaku bersama teman-teman akan sangat berbeda. Kami akan mencetaknya dengan kualitas yang sangat bagus pada satu percetakan di Jakarta. Kemudian, akan diberi kata pengantar oleh seorang profesor sejarah di Universitas Indonesia (UI). Tak hanya itu, sebagai penutup karya ini, akan ada catatan kritis dari seorang peneliti LIPI. Kesemua hal ini, menyebabkan kami kian semangat untuk menuntaskan karya ini. Kami sedang mencatat sejarah baru bagi dunia perbukuan dan pustaka di Tanah Buton. Kami berharap karya ini menjadi gerbong bagi lahirnya banyak karya-karya yang lain. Karya ini bisa menjadi pelecut lahirnya semangat besar pada diri kami untuk berbuat sesuatu yang lebih baik. Bisa menjadi kupu-kupu harapan yang kelak akan menerbangkan kami menggapai langit gagasan.(*)

24 Mei 2008

Pukul 13.17 wita



2 komentar:

Anonim mengatakan...

luar biasa. menulis sejarah berarti juga memulai kontroversi yg tiada akhir, tp boleh jg sih utk org buton, moga-moga ga "pemkot minded". hehehe...

Maha mengatakan...

bukunya udh terbit blom?bs dapat dmn?
orang tuaku dr buton, cm saya lahir dan besar di tanah jawa, pengen tau banyak ttg buton

Posting Komentar