Mengintip Nadine di Wakatobi


HARI ini, saya tersentak melihat foto Nadine Chandrawinata di Harian Kompas, Minggu (13/4). Mantan Putri Indonesia itu sungguh cantik dan selalu punya sesuatu yang memaksa mataku terus terpaku menatapnya. Nadine adalah magnet yang menarik seluruh imaji dan hasrat liarku. Namun, bukan alasan kecantikan itu yang membuat saya tersentak hari ini. Saya menyaksikan Nadine berpose dengan pakaian Kombo Wolio, baju adat bagi remaja putri di Pulau Buton. Ini bukanlah baju para bangsawan. Bukan pula baju yang digunakan saat menikah. Kombo Wolio adalah pakaian adat yang dikenakan remaja perempuan.

Dalam petualangan ke Wakatobi, Nadine mengenakan baju adat tersebut setelah sebelumnya ia dilantik sebagai Duta Wakatobi untuk mempromosikan keindahan pesona bawah laut ke penjuru dunia. Baginya, kawasan Wakatobi adalah kawasan bawah laut yang terindah di dunia. “Kalau bukan kita, siapa lagi? Saya sudah melihat banyak dasar laut di Indonesia dan Wakatobi ada di papan atasnya,” katanya sebagaimana dikutip Kompas. Hari itu, ia laksana bidadari yang turun dari khayangan. Ratusan warga Wakatobi berjubel untuk bisa berpose dengannya. Ia lelah, namun tak kuasa menahan luapan bahagia massa yang selama ini hanya bisa menyaksikannya berlenggok di layar kaca.

Meski hanya membaca berita dan mendengar kisahnya dari teman-teman di Wakatobi, saya sungguh bangga. Bayangkan saja, Nadine, sang Putri Indonesia itu, mengenakan pakaian adat dari sebuah bangsa yang selama ini tak pernah tercatat dalam sejarah dan memori kolektif orang Indonesia. Sebuah bangsa yang –meminjam istilah antropolog Marshal Sahlins—seakan-akan diabaikan dan sengaja diabaikan dalam pulau-pulau sejarah kontemporer. Sebuah bangsa yang hanya disebut sekedar sebagai catatan kaki yang tidak penting dari sejarah bangsa ini.

Ribuan pulau di gugusan Indonesia, ribuan daratan terbentang di sepanjang jazirah Nusantara. Namun, adakah yang mengingat bahwa salah satu di antaranya adalah gugusan kepulauan Wakatobi? Adakah yang mematri satu kenangan tentang Buton yang di dalamnya terdapat gugusan pulau-pulau menakjubkan termasuk Wakatobi? Memori kolektif orang Indonesia hanyalah diisi dengan catatan tentang kejayaan. Namun di Buton dan Wakatobi, tak banyak kisah selain dari kebersahajaan dan kearifan menantang samudera. Orang-orang Wakatobi punya kisah bagaimana gelora samudera menjadi bagian dari sesuatu yang mengisi hari-hari mereka.

Ini bukan Bugis atau Makassar yang sejak dulu sudah menjadi kebudayaan dominan dan ekspansif di kawasan timur. Ini adalah Wakatobi dan kebudayaan Buton yang sejak dulu punya kebersahajaan, namun menjelajah sebagai salah satu bagian dari bangsa di kitaran timur Nusantara. Bangsa Buton yang seakan terlahir untuk menaklukan laut dan berkelana di sepanjang batas lautan. Jika Bugis punya phinisi, maka mereka punya lambo dan sope-sope yang kemudian menjadi medium untuk nentang laut.

Kembali ke soal Nadine. Ada rasa bangga ketika melihatnya mengenakan baju adat tersebut. Belakangan ini, nama Wakatobi kian populer di kalangan turis dan mereka yang mencintai dunia bawah laut. Berdasarkan pengalamanku, nama Wakatobi seakan menjadi misteri yang eksotis dan menantang untuk dijelajahi. Salah seorang dosenku di UI, Dr Riga Adiwoso, termasuk orang yang sangat penasaran untuk menyaksikan langsung Wakatobi. Dalam salah satu perbincangan, ia mengungkapkan kepenasarannya untuk menyaksikan langsung indahnya pemandangan pantai Wakatobi kemudian menyelam dan menyaksikan pemandangan bawah laut Wakatobi yang tersohor itu.

Saat kutanya lebih jauh tentang sejauh mana pengetahuannya tentang Wakatobi, dosenku itu hanya bisa menggeleng. Ia tak banyak tahu selain dari eksotisme pantai serta bawah laut yang banyak dituturkan orang-orang. Bagiku, ini adalah fenomena yang menarik untuk didiskusikan. Ternyata, manusia modern selalu saja merindukan nuansa eksotisme serta suasana di mana alam masih terjaga dan tidak dirambah oleh mesin besar modernisasi.(*)

13 April 2008


10 komentar:

Anonim mengatakan...

Yus,
di antara wanci dan kaledupa, ada gunung api bawah laut, "Pasi Eroka" namanya, menurut para nelayan, terkadang, secara magis, di saat2 tertentu, berwarna terang menyala.
Terus di Pulau Kaledupa, ada tanah lapang kecil bernama "Kahedupa"; daerah ini selalu bersih, tak ada dedaunan yg berani gugur di sekitarny; barangkali gravitasi bumi berkurang disini. entah
tapi yg menarik ternyata, kalo orang kaledupa ingin bom ikan, pasti mereka pergi ke wilayah Pulau Tomia, demikian sebaliknya.
Orang Binongko lain lagi; menurut mereka parang yg dipakai Patimura utk lawan Belanda adlh parangnya yg dibuat di Binongko.

Anonim mengatakan...

Ha..ha.. jawa, makassar, bugis, merupakan representasi paling sempurna atas indonesia, BUTON atau Waktobi ? Au.Ahh.. Gelap

Unknown mengatakan...

bukanya saya bangga karena sy org wakatobi.emang seh jk dibanding jawa,makassar,bugis sdh jelas n sempurna.disini gw cuman mw blng kalo qt g perlu sombong,atau membanggakan daerah masing2.karena hal yg beginilah yg selalu menimbulan perasaan buta hati dan buta segala-galanya termasuk mata untuk melihat!
thank's

Anonim mengatakan...

Buat mrfuc, apa sih yang dimaksud dengan membuka mata untuk melihat itu? apakah membuka mata itu identik dengan sikap merasa silau dan terpesona dengan kebudayaan lain? Anda tidak harus berpikir seperti itu. Kebudayaan harus dimaknai sebagaimana tafsiran si pemilik kebudayaan. Meminjam istilah metodologi, ini disebut sikap emik dalam melihat budaya. Bagaimanapun, kebudayaan tak harus selalu dilihat dari artefak danpencapaian hal yang artifisial, kebudayaan harus dimaknai dan diinterpretasi. Thanks.... Wandy.

Anonim mengatakan...

buat mrfuck. kenapa pula bugis dan makassar dikatakan sempurna? Apa sih defenisi sempurna itu?

Anonim mengatakan...

Tulisan yang bagus! Saya salut sama mas Yusran. maaf aku kesasar nih, ingin tau aja perkembangan wakatobi(my kampung). Memang setiap daerah punya nilai khas tersendiri, itulah karunia yang Allah anugrahkan buat kita, sudah sepatutnya kita bersyukur.

Anonim mengatakan...

Aku JUARDDIN, aku dilahirkan di pulau kaledupa WAKATOBI. Aku salut dengan mas yang telah menulis dan menuturkan tentang keindahan pulau WAKATOBI terutama pulau HOGA.Aku teringat akan masa kecilku dulu yang menghabiskan waktu di pulau yang sekarang digandrungi oleh para wisatawan domestik dan manca negara. Sebelum di tetapkan pulau hoga sebagai Zona Wisata Bahari kami, aku sudah lama meninkmati keindahan dan kejernihan serta kemewahan karang yang ada di pulau hoga. Banyak kenangan yang aku torehkan di sana sebelum aku meninggalkan pulau tercintaku pada tahun 1992 untuk menempuh pendidikan dan mengejar masa depan.
Buat mas yusran klo ingin sharing atau dosen u mau tau lebih jauh tentang daerah Wakatobi terutama pulau kaledupa dan hoga silahkan hubungi aku di 081 342 98 3456 atau di dedypro@yahoo.co.id
KLo mas yusran ingin ke Pulau Hoga n Kaledupa hubungi saja karena kebetulan juga orang tua aku punya penginapan di pulau hoga n klo ingin ke kaledupa silahkan aja ke rumah. thanks

Wakatobiku mengatakan...

Subhanallah...Suatu anugerah yang sangat menakjubkan. Terima Kasih Ya Allah..

wakatobitourism mengatakan...

"Ini bukan Bugis atau Makassar yang sejak dulu sudah menjadi kebudayaan dominan dan ekspansif di kawasan timur. Ini adalah Wakatobi dan kebudayaan Buton yang sejak dulu punya kebersahajaan, namun menjelajah sebagai salah satu bagian dari bangsa di kitaran timur Nusantara. Bangsa Buton yang seakan terlahir untuk menaklukan laut dan berkelana di sepanjang batas lautan. Jika Bugis punya phinisi, maka mereka punya lambo dan sope-sope yang kemudian menjadi medium untuk nentang laut"
luar biasa untuk memberikan spirit pembangunan maritim di jazirah Buton.

Unknown mengatakan...

liburan nadine ke wakatobi


http://www.marketingkita.com/2017/08/customer-record-card-dalam-ilmu-marketing.html

Posting Komentar