Prof Fedyani Versus “Pak Afid”


RISALAH ilmu pengetahuan menempatkan nama Socrates sebagai tokoh yang pertama meretas berbagai pertanyaan filosofis dan kemudian memicu dialog filsafat. Sayangnya, Socrates tidak pernah mencatat sendiri semua kegelisahannya dalam memandang dunia sebab dituliskan oleh muridnya yang sangat masyhur yaitu Plato. Tak heran jika banyak filsuf yang menilai kalau dialog Socrates dengan Plato tidak lain dari dialog antara Plato dengan dirinya sendiri. Dialog dua sisi antara Plato dan “Plato”.

Saya tidak hendak berbincang banyak tentang dialog dua “Plato”. Hari ini, Jumat (29/11), Prof Achmad Fedyani Saifuddin (Pak Afid) seakan mengikuti jejak-jejak yang pernah ditorehkan Plato. Pak Afid menunjukkan lembaran-lembaran Bab I dari buku yang sedang ditulisnya dan berjudul “Dialog Imajiner tentang Teori-teori Antropologi”. Buku ini akan berisikan dialog antara dua sisi dalam diri Pak Afid yang berisi bahasan atau tinjauan atas teori-teori antropologi kontemporer.

Kata Pak Afid, format buku itu adalah berupa dialog atau perdebatan antara dua sosok yang keduanya adalah dirinya sendiri. Ia akan menulis dengan gaya bahasa yang agak novelik dan berisikan dialog. “Nanti akan ada dialog tentang teori. Misalnya pada bab awal, ada seorang yang menyapa ’Selamat Pagi Profesor’. Kemudian, saya sendiri yang akan menjawabnya. Jadi, saya punya otoritas untuk menuliskan dialog antara dua sisi diri saya dalam memandang teori,“ katanya saat kuliah Organisasi Sosial: Struktur dan Proses.

Mendengar rencana Pak Afid, saya hanya bisa terkagum-kagum. Memang, sejak awal kuliah, ia selalu saja hadir dengan gagasan yang orisinil, kreatif dan cerdas. Ia selalu ingin mempertegas posisi antropologi dan tidak rela bila ilmu ini seakan dilecehkan dan dipandang sebelah mata. Ia punya “nasionalisme“ antropologi dan ingin menunjukkan pada dunia bahwa antropologi tidak sekedar pelukisan secara mendalam bangsa-bangsa barbar, namun memiliki kemampuan untuk menjelajah dan mengupas realitas sosial hingga titik terdalam. Pak Afid adalah sosok yang demikian mencintai ilmu antropologi.

Rencananya, buku ini tidak hanya diterbitkan dalam bahasa Indonesia, namun juga bahasa Inggris. Artinya, buku ini akan dikonsumsi oleh publik antropolog dunia dan menjadi catatan pencapaian orang Indonesia yang selama ini “berkubang“ dalam rimba teori antropologi. “Saya kira, sudah saatnya kita harus mempublikasikan karya kita ke dunia internasional. 

Cukup lama, kita ditafsirkan oleh bangsa lain dan hanya menjadi konsumen teoritis yang sebenarnya kian membesarkan nama antropolog asing. Dengan cara ini, karya kita tidak hanya beredar di jurusan antropologi di UI saja,“ katanya sambil tersenyum dan memperlihatkan sebundel kertas yang berisikan Bab I buku tersebut. Di luar itu, Pak Afid hendak memotivasi para antropolog muda untuk terus berkarya dan tidak berhenti pada penilaian sinis masyarakat yang memandang sebelah mata ilmu ini.

Kontroversial

Hal yang mengejutkan adalah buku ini akan membahas beberapa soal yang akan menjadi kontroversial. Pada Bab VI, ia akan memaparkan gagasan bahwa pengajaran antropologi di tingkat sarjana (S1), sudah saatnya ditinjau ulang atau dibubarkan. “Saya sudah lama mengamati perkembangan dunia antropologi di Indonesia. 

        Saya kira, antropologi tidak memadai jika hanya diakomodasi di tingkat S1 saja. Sebaiknya di tingkat S1 haruslah dibubarkan dan biarkan ilmu ini hanya ada pada tingkat graduate atau pascasarjana saja. Mahasiswa antropologi di tingkat S1 hanya menjadi “tukang” penelitian saja. Kemampuan mereka sangat terbatas untuk mengenali dan memahami masalah. Kalau boleh jujur, selama ini tak pernah ada penyelesaian yang sifatnya total dari antropologi sendiri,” katanya.

Baginya, antropologi adalah sains yang semestinya merasuk ke mana-mana. Harus bisa menjadi ruh yang meresap dalam berbagai bidang ilmu agar menempatkan manusia sebagai subyek yang berbicara dan tidak ditaklukan. Untuk itu, antropologi harus memancarkan aura ke semua disiplin ilmu lainnya. “Posisi ilmu ini adalah memancarkan aura dan kompleks pengetahuan yang kemudian menjadi jiwa. Antropologi harus menjadi visi,” ujarnya. 

Pak Afid mengakui, selama ini ia banyak berinteraksi dengan para doktor dari berbagai disiplin ilmu sehingga memberikan banyak inspirasi tentang pentingnya menempatkan antropologi sebagai jiwa dari beragam ilmu. Ia tidak menampik kalau nantinya ide ini akan menjadi kontroversi sekaligus “berita buruk” bagi banyak dosen. “Semua orang dari berbagai disiplin ilmu, ketika masuk antropologi akan memiliki visi kemanusiaan yang sangat kuat. Makanya, saya siap berbeda pendapat dengan banyak antropolog yang tidak sesuai dengan ide ini,” ujarnya.(*)

Kamis, 29 November 2007

Pukul 21.25 WIB (saat sedang nongkrong di kamar)


0 komentar:

Posting Komentar