Jalani Tes Interview


DUA hari yang lalu, aku menjalani test interview untuk mendapatkan fellowship dari Voice Of America, sebuah jaringan radio milik pemerintah Amerika Serikat (AS). Jika aku lulus, maka akan ada kesempatan ke AS selama enam bulan. Awalnya aku terkejut juga sebab tidak menyangka akan masuk dalam daftar mereka yang akan diwawancarai. Apalagi, aku memasukkan formulir ke VOA sudah cukup lama yaitu akhir Juli lalu. Saat itu, aku bersikap nothing to loose saja. Ternyata, aku masuk daftar mereka yang diwawancarai.

Aku akan ceritakan prosesnya secara detail. Saat berada di kampus dan ngobrol di kantin bersama teman-teman, aku mendapatkan telepon dari nomor 021-30002272. Seorang wanita mengatakan ini telepon dari VOA dan minta waktu untuk wawancara bahasa Inggris denganku. Aku agak tidak siap dan langsung mengatakan saat ini sedang kuliah. Aku minta waktu tiga jam lagi. Ia bersedia menunggu.

Sejatinya, aku merasa tidak percaya diri dan tidak tahu harus ngomong apa. Selanjutnya, aku kembali menemui teman-temanku di kantin. Aku bercerita kalau barusan ditelepon seseorang dari VOA untuk mewawancaraiku, namun aku tidak percaya diri. Tiba-tiba, semua temanku langsung protes. “Yus, kalau ada wawancara seperti itu, sebaiknya kamu ’tabrak saja’. Dalam interview, banyak orang yang english-nya biasa saja. Biasanya pihak pemberi fellowship hanya mau tahu sejauh mana wawasan kita. Cukup satu atau dua pertanyaan, dia sudah dapat gambaran sejauh mana pencapaian kita,“ kata Jaya, temanku yang pernah kerja di Conservation International dan beberapa kali ke luar negeri.

Lain lagi dengan temanku Mas Heri yang bekerja sebagai peneliti LIPI. “Saya juga beberapa kali diwawancarai seperti itu. Tabrak saja. Susah kok mengharapkan english kita kayak bule. Bagaimanapun, kita semua berasal dari daerah seperti Jawa, Sunda, Ambon, atau Makassar. Kan agak susah juga mengharapkan english yang begitu sempurna. Intinya adalah sampaikan ide dan gagasanmu. Itu sudah cukup,“ katanya. Demikian pula Pak Purwadi, mahasiswa program doktor. Katanya, ia pernah diwawancarai saat hendak ke Jerman dan dia cuma bisa jawab sekenanya saja. Prinsipnya adalah sampaikan sesuatu secara apa adanya dan mereka akan memberikan respon.

Mendengar tuturan mereka yang begitu bersemangat, aku langsung bersemangat. Barangkali, semua peluang dan kesempatan harus dicoba. Aku dapat satu peluang, mestinya aku harus “bertarung“ demi memenangkan peluang tersebut. Langsung saja aku menuju wartel kampus dan menelepon nomor tadi. Ternyata, sang pewawancara sedang makan siang dan aku disuruh menunggu 15 menit dan nanti mereka yang akan menelepon.

Kembali ke kantin bersama teman-teman, aku ikut berbincang beberapa persoalan. Tiba-tiba, kembali aku ditelepon VOA. Wanita yang sebelumnya menelepon minta waktu untuk wawancara. Ia lalu menjelaskan bahwa namaku masuk dalam daftar dari mereka yang akan diinterview. Selanjutnya, ia menjelaskan bahwa yang akan meng-interview dalam bahasa Inggris adalah temannya yang bernama Barbara. Aku mengiyakan. Saat Barbara berbicara dalam bahasa Inggris, aku memahami dengan baik semua perkataannya. Ia menjelaskan jika aku lulus, maka akan tinggal di Washington selama enam bulan, kemudian akan diterjunkan dalam berbagai liputan VOA di Amerika Serikat (AS).

Selanjutnya, ia bertanya apa rencanaku jika telah mengikuti program ini. Dalam bahasa Inggris aku menjawab akan balik ke Indonesia dan bergabung di beberapa lembaga yang punya concern pada ide-ide demokrasi, hak asasi manusia (HAM). Aku akan mensosialisasikan beberapa gagasan atau ide yang kudapatkan di AS untuk meneropong beberapa persoalan yang terjadi di Indonesia. Aku menjawab sekenanya saja. Selanjutnya, ia bertanya beberapa hal dan aku berusaha menjawab semuanya. Ternyata, ia merespon dengan sangat baik semua jawaban pertanyaan tersebut. Dia bilang, nanti hasilnya akan diumumkan pada akhir bulan November nanti.

Usai wawancara, ia berharap agar aku bisa sukses dan lulus. Aku bahagia juga mendengarnya. Setelah itu, aku gabung dengan teman-teman dan menceritakan pengalamanku. Mereka sangat senang. Sampai-sampai Jaya mengatakan,“Wah, saya sudah mencium bau Amerika nih.“ Meski tahu mereka cuma sekedar memuji saja, aku senang sekali. Perasaanku demikian bahagia dan seakan-akan melambung tinggi ke angkasa. Rasa senang ini membuat langkahku serasa ringan seakan-akan tidak menjejak tanah. Barangkali, ini menjadi kesempatan emas bagiku untuk melebarkan sayap dan melihat negeri lain. Semoga aku bisa lulus seleksi.(*)


2 komentar:

Anonim mengatakan...

Good luck man!

Tia Rahma mengatakan...

Kudoaakan semoga kau berhasil de' kalau adami beritanya tolong hubungi saya nah ?

Posting Komentar