Berebut Klaim Atas Hutan


BERSAMA sahabatku Gonjess, aku menghadiri acara buka puasa yang diadakan Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa) di Pendopo Kemang, Jakarta, kemarin. Acaranya dihadiri puluhan peneliti dan aktivis lembaga swadaya kmasyarakat (LSM) yang bergerak di bidang lingkungan dan reforma agraria. Acara ini tak hanya sekadar buka puasa, melainkan bedah buku yang berjudul Peta Tumpang Tindih Pemanfaatan Sumber Daya Alam. Buku ini berisikan analisis tentang konflik kehutanan antara negara dan rakyat, yang berpangkal pada persoalan klaim kepemilikan. Konflik di kawasan hutan bisa bermula dari ketidakjelasan pengaturan dan pengelolaan hutan serta sumber daya alam (SDA) lainnya. Hutan dipetak-petak dan dibagi berdasarkan pembagian sektoral serta dilegitimasi oleh undang-undang. Tak hanya konflik terjadi antar instansi negara, konflik juga memercik antara negara dan rakyat. Betapa tidak, hutan dan tanah adalah bagian dari kekayaan yang dimiliki rakyat sejak lama dan jejaknya bisa dilacak hingga masa awal manusia menghuni sebuah tempat. Kepemilikian itu disahkan secara adat, yang merupakan model pengaturan hutan sesuai dengan landasan aspek kultural sebuah komunitas. Namun, sejak hadirnya institusi negara modern, hutan menjadi resource yang kemudian diklaim oleh negara. Tiba-tiba saja, negara menjadi satu-satunya institusi yang menegaskan kepemilikan atas hutan dan membuat setumpuk aturan. Hak dan akses masyarakat atas hutan seakan dijauhkan sehingga rakyat hanya menjadi penonton belaka, tanpa ada sedikit ruang untuk menegosiasikan hak yang dimilikinya secara turun-temurun.

Bagian penting dari buku ini adalah adanya peta yang disusun di setiap kabupaten. Aku terkejut, peta itu sangatlah lengkap dan menunjukkan secara detail gambaran sebuah kabupaten beserta etnis, kampung, hingga klaim penguasaan atas hutan. Membaca peta ini, bisa memberikan gambaran yang sangat kuat, betapa hutan telah dikapling-kapling oleh pemerintah, institusi swasta, dan tidak memberikan tempat sejengkal pun bagi masyarakat lokal. Yang terjadi kemudian, masyarakat hanya bisa gigit jari dan menyaksikan wilayah adat itu dikapling oleh negara.

Aku tak hendak berpanjang-panjang menjelaskan persoalan ini. Buku ini sangatlah menarik untuk dibedah. Membaca buku ini, aku serasa membaca ulang buku karya Nancy Peluso yang berjudul Rich Forest, Poor People. Rasanya sangat menarik jika kedua buku ini kuperbandingkan demi mengetahui titik simpul serta kekuatan masing-masing buku. Bagiku, karya Peluso, menjadi catatan etnografi yang sangat lengkap dan kaya dalam hal menelusuri sejauh mana tingkat kerusakan hutan dan lingkungan di Jawa. Dengan mengangkat tema atau gagasan yang agak provokatif, Peluso menyoroti tentang bagaimana dinamika antara rakyat dan negara dalam konteks perebutan akses atas sumber daya hutan. Menurutnya, dinamika itu memiliki jejak sejarah yang panjang dan tidak bisa dipotret hanya dengan melihat waktu kekinian atau sinkronik, namun harus dilihat sebagai sebuah rangkaian panjang dan berkesinambungan atau memiliki alur panjang dalam sejarah atau diakronik.

Lewat buku ini, Peluso berbicara tentang paradoks pembangunan kehutanan. Manfaat ekonomi dan ekologi yang demikian besar dapat dihasilkan dari hutan, telah mampu mengangkat derajat sebagian elite politik dan elite ekonomi, bahkan berkontribusi pada devisa dan neraca pembayaran negara. Akan tetapi, manfaat besar seperti itu sama sekali tidak mampu dinikmati lapisan terpenting masyarakat lokal, bahkan justru sering menimbulkan bencana karena buruknya setting kebijakan, regulasi, dan kelembagaan pendukung pembangunan kehutanan. Ini kemudian menimbulkan lingkaran kemiskinan sehingga memicu resistensi atau perlawanan yang dilakukan dalam berbagai strategi kultural.

Baik karya Peluso maupun yang dibuat tim HuMa ini, sama-sama menyajikan data yang sedemikian kaya. Ini menggambarkan intensitas serta ketekunan dari penulisnya dalam menghasilkan hasil riset yang demikian kaya. Analisisnya lebih banyak didasari oleh analisis Marxian yang kental dan menempatkan materi atau aspek ekonomi sebagai basic structur (struktur dasar) yang ada di masyarakat. Aspek ekonomi ini menjadi titik awal dari menjalarnya konflik yang sedemikian luas. Dalam pahaman Marxian, konflik ini akan selalu ada dalam sejarah sebab merupakan bagian dari hukum perkembangan sejarah (materialisme historis). Lebih dari itu, dua buku ini menyajikan analisis yang tidak banyak disentuh dalam Marxisme ortodoks yang lebih banyak menjelaskan konflik akibat faktor ekonomi antara borjuis dan proletar. Buku ini menyajikan analisis atas konflik antara negara (state) selaku pemilik otoritas ketika berhadapan dengan rakyat. Dalam berbagai literatur Marxisme, aspek negara tidak begitu banyak dibahas, namun di kalangan para Neo Marxis seperti Antonio Gramsci, Louis Althusser, dan Michel Foucault, analisis tentang negara ini banyak dipakai dalam menganalisis berbagai realitas kontemporer.


0 komentar:

Posting Komentar